Kapan waktu yang tepat memiliki keinginan mempunyai anak?

Judul tulisan di atas mungkin membuat orang bertanya, karena pada umumnya setelah menikah sebagian besar dari pasangan menikah keinginannya adalah segera mempunyai anak. Betulkah demikian? Ternyata tak semuanya berpikiran seperti itu, karena banyak juga yang menunda punya anak, bahkan mungkin ada yang tak ingin punya anak.

Waktu untuk memiliki anak berbeda antara pasangan yang satu dengan lainnya. Dari obrolan dengan teman, sesama antar jemput, terungkap bahwa dulu dia juga menganggap kalaupun tak punya anak tak menjadi masalah, karena begitu banyaknya anak yang terlantar di Indonesia ini, dan dia bersama pasangannya bisa mengadopsi salah satu dari mereka.

a.Kesepakatan berdua

Kesepakatan harus dibuat oleh masing-masing pasangan, kapan sebaiknya telah siap mempunyai anak. Kadang keinginan mempunyai anak harus ditunda karena salah satu pasangan harus meneruskan kuliah dulu, atau ada tugas-tugas lain yang mendesak untuk dilakukan dalam beberapa waktu kedepan. Kesepakatan ini perlu, karena jangan ada salah satu yang merasa terpaksa.

Contoh:

Salah seorang teman pernah cerita, setelah menikah, karena masih dipengaruhi suasana bulan madu, pulang kantor suami mengajak pergi menonton, makan dan akhir pekan kadang keluar kota, untuk menikmati kebebasan dan kebahagiaan sebagai pasangan pengantin baru. Sebulan setelah pernikahan sang isteri telah positif hamil. Suami begitu bangga dan mencintai isterinya, sehingga jika akhir pekan dia mengajak isterinya untuk dikenalkan kepada lingkungan teman-temannya. Isteri, karena mencintai suami, tak bisa menolak, walau merasa lelah sekali, apalagi dia juga bekerja di luar rumah, pada akhirnya isteri pasangan tadi mengalami keguguran pada bulan ketiga kehamilan. Keguguran ini belum tentu disebabkan karena kelelahan fisik, namun kelelahan ini dapat pula memicu terjadinya keguguran apalagi jika kondisi kandungan dan janinnya lemah.

Kedua pasangan menyadari, dan akhirnya membuat kesepakatan, kapan isteri dan suami siap untuk mulai memikirkan anak. Hal ini juga perlu dipikirkan saat untuk memutuskan menambah anak kedua, ketiga dan sebagainya. Sulitnya mencari pembantu, dan semakin banyak yang berasal dari keluarga kecil, perencanaan untuk mempunyai anak memang harus dipikirkan benar-benar. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, saat saya hamil, kemudian melahirkan, benar-benar hanya berdua dengan suami. Kondisi ini yang membuat mau tak mau harus melakukan keluarga berencana.

b.Kedua calon orangtua telah siap untuk menerima peran baru

Mempunyai anak, kedua pasangan akan mendapat peran baru. Peran baru ini bisa sangat melelahkan, apalagi jika tidak disikapi sejak awal. Mengurus anak yang masih bayi, mau tak mau menguras energi, sehingga komunikasi antar suami isteri bisa terganggu. Apalagi jika pekerjaan suami lagi sibuk-sibuknya, terpaksa membawa pekerjaan kantor ke rumah, dan saat malam hari sang bayi rewel karena kepanasan. Suami hendaknya juga tak tergantung pada pelayanan isteri, yang dulu setiap makan ditunggu isteri, maka sekarang karena sang bayi rewel, suami harus bersedia makan sendiri, bahkan bila memungkinkan membantu isteri menenangkan anaknya.

Hal ini akan makin rumit jika isteri sendiri tak siap, maka punya bayi akan sangat melelahkan. Akibatnya isteri sangat sensitif, mudah menangis dan marah, yang dapat mengganggu hubungan suami isteri. Namun bila keduanya telah siap mental, maka peran baru sebagai ayah dan ibu sangat menyenangkan. Ayah dapat ikut bercanda dengan bayinya, dan situasi menjadi menyenangkan.

c.Anak mempunyai hak untuk hidup bahagia.

Keinginan mempunyai anak adalah dari orangtua, oleh karena itu orangtua harus bertanggung jawab untuk membahagiakan anaknya. Orangtua harus juga siap secara finansial, untuk menjamin kelangsungan hidup anak dan untuk keperluan pendidikannya sampai anak mandiri. Keputusan menambah anak juga harus dipikirkan masak-masak, sampai seberapa jauh anak yang mampu diberi pendidikan sampai siap mandiri, agar kualitas pendidikan dan ketrampilan anak terjamin. Jangan sampai anak pertama mendapatkan beban untuk ikut membantu orangtua membiayai adik-adiknya, yang berakibat nanti si anak tertua tak mempunyai kemampuan untuk mendidik anaknya sendiri. Akibatnya terjadi lingkaran yang saling tergantung, yang membuat kesulitan secara terus menerus pada keluarga tersebut.

26 pemikiran pada “Kapan waktu yang tepat memiliki keinginan mempunyai anak?

  1. Kalau untuk anak kedua, bilakah masa itu tiba? Jarak ideal dengan yang pertama kira-kira berapa tahunya bu?
    Untuk anak pertama, alhamdulillah aku merasa telah memilih waktu yang tepat 🙂

    Bodronoyo,
    Sebetulnya ini juga tergantung pada keluarga tersebut. Jika menikah saat akhir 20 an dan awal 30an, tentunya harus segera punya anak, dan sebaiknya pada umur 35 tahun adalah terakhir punya anak, walaupun kemajuan ilmu kesehatan memungkinkan mempunyai anak pada umur sampai 42 tahun, tetapi risikonya lebih tinggi.

    Saya dulu berpikir agar jarak antara anak kesatu dan kedua tak terlalu jauh, sehingga anak punya teman main, tapi jika terlalu dekat maka kasihan anak pertamanya, terutama untuk orang yang sibuk kerja seperti saya. Saya menikah pada “sangat cukup umur”, karena asyik bekerja…..kalau nggak ingat umur mungkin menunda terus. Jadi ya hanya berani dua, kasihan kalau anak masih kecil, orangtua udah pensiun….pas saya MPP, kedua anak saya pas selesai kuliah.

    Saya ingat orangtua saya, hanya berani punya anak 3, karena jika ayah pensiun, minimal anak pertama sudah bekerja, sehingga bisa membantu adik-adiknya. Ternyata, ketiga anak bisa lulus sebelum ayah pensiun.

  2. saya sih dari awal nikah hajar aja terus
    kalo jadi ya bersyukur, kalo belom ya hajar lagi hihihi
    tapi tetep dng perencanaan

    Edy,
    Memang udah nikah, bukannya masih bujangan?
    Kalau dari awal nikah udah hajar terus…berarti sejak awal menikah udah ada planning untuk langsung punya anak.

  3. saya melihat kecenderungan, justru keluarga dengan ekonomi yang lumayan mapan malah memiliki perencanaan yang baik soal anak. sayangnya malah keluarga dengan ekonomi yang pas-pasan seringkali anaknya malah banyak.

    ItikKecil,
    Bukan masalah ekonomi saya kira, tapi karena kita terbiasa banyak kerabat, yang selalu siap menolong jika ada kesulitan, baik dalam membantu kekurangan uang, atau membantu menolong momong anak. Ini yang paling penting…kalau seperti saya, bagaimana mungkin mengharapkan pertolongan, karena semua harus berdiri di atas kaki sendiri…inilah yang membuat segala sesuatu harus dipikirkan jauh hari.

  4. Wah … lama saya tak kesini …
    (ketinggalan banyak posting saya …)

    Menarik sekali tulisan Ibu …
    Dan agak heran juga … ada pasangan yang menunda punya keturunan ya … hmmm …

    Tetapi pengalaman pribadi … kami hanya mengalir saja … ketika anak 1 dan 2 … namun ketika anak ke 3 terus terang saya agak menjarangkan jaraknya dengan yang ke 2

    nh18,
    Banyak kok yang seperti itu. Saya dan suami termasuk yang planningnya ketat, memperhitungkan segala risiko, maklum benar-benar mandiri, sehingga segala sesuatu harus dipikirkan matang-matang.

    Jadi saat ketemu reuni, semua mempunyai anak yang umurnya sepantaran, baik yang mereka lulus langsung menikah (anaknya ditunda karena mempersiapkan ekonomi dulu), ada yang memang menikahnya lambat, tapi langsung pengin punya anak. Sayapun sejak awal menikah, langsung mengunjungi dokter kandungan, karena segera ingin mempunyai anak, karena saya juga pada batas umur yang rawan….walau kenyataannya sempat keguguran. Banyaknya anak juga dipikirkan, agar tak membebani anak sulung…rasanya kok menjadi orangtua tak bertanggung jawab, jika membebani anak sulung untuk membantu adiknya…walau kondisi di negara kita hal ini umum.

  5. Ya, memang kesepakatan berdua lebih banyak perannya. Tapi memang dengan pertimbangan kesiapan psikologi (peran dan tanggung jawab) dan juga dengan kesiapan ekonomi.

    Kesepakatan itu tergantung perencanaan. Jadi sebelum punya anak sudah ada perencanaan awal, mulai dari apakah harus berhenti kerja, siapa yang merawat, apakah bisa mempersiapkan asuransi, dll. Karena terkadang kalau nggak dipersiapkan, pas punya anak jadi bingung dan berselisih karena masalah itu.

    @ Bodronoyo :

    Kalau untuk anak kedua, bilakah masa itu tiba? Jarak ideal dengan yang pertama kira-kira berapa tahunya bu?

    Dari pengalaman jadi konselor perkawinan & keluarga (padahal saya belum menikah, lho..) 🙂 dan dari sharing dengan beberapa keluarga, memang seharusnya jarak antara anak pertama dan kedua jangan terlalu jauh.

    Pembentukan identitas seorang anak itu awalnya sekitar usia 2 tahun. Dan kalau kelamaan jadi “anak tunggal” maka si anak bisa merasa dirinya jadi “jagoan” di rumah. Idealnya jangan lebih dari 5 tahun. Karena si sulung bisa punya teman bermain. 🙂

    Pyrrho,
    Benar, saya juga didorong oleh dokter kandungan untuk segera hamil lagi saat si sulung umur 1,5 tahun (selisih si sulung dan adiknya 2 tahun sembilan bulan). Tapi dokter tsb tak berhasil mendorong untuk punya anak ketiga…karena saya ngeri biayanya (biaya pendidikan mahal kan), waktu yang harus saya curahkan untuk memberi perhatian, karena untuk punya dua anak saja, perhatiannya benar-benar tercurah…dan tak sempat ngapa-ngapain saat mereka masih kecil. Saat remaja lain lagi…..jadi bagi saya angka yang cocok adalah dua, mudah2an anakku tetap bisa memahami ibu kalau ada waktu yang dirasa kurang untuk memperhatikan mereka dibanding dengan teman2nya yang ibunya di rumah.

  6. Hm..jarak anak pertama dg kedua msh jd diskusi jg dgn si Mas. 2 tahun ideal ga ya u ttp perhatian ke si sulung,tp jg ngurus new baby *waks,yg 1 ini aja lum mbrojol! Hihi*
    Kalo 4 tahun, kejauhan,krn usia si Mas dah jelang 36. Yah, moga ga selisih 3 thn * takut biaya masuk sekolahnya bareng,hehe*

    Dilla,
    Dapat dilihat komentar Pyrrho di atas, saya sepakat dengan pendapatnya. Jarak tak terlalu jauh, tapi juga tak terlalu dekat, mungkin sekitar 2-3 tahun ya. Pikirkan juga usia orangtua, agar saat pensiun (kan usia pensiun dosen bisa sampai 65 th dan kalau Prof bisa 70 tahun), anak-anak sudah selesai pendidikannya semua, sehingga jangan memberi beban kakak sulungnya untuk membiayai adiknya…ini menjadi tak adil bagi si sulung. Saya berusaha agar tak ada yang dirugikan, termasuk harus membiayai orangtua ….syukurlah saya punya penghasilan sendiri, dan mudah2an sehat, sehingga uang pensiun masih cukup untuk hidup sederhana.

  7. gama

    salam kenal ibu! saya setuju sekali dengan tulsan ini, mungkin inilah hakikatnya sebuah keluarga ‘berencana’ itu.

    jika nanti sudah menikah, mungkin ibu bisa jadi salah seorang yang bisa kami minta sarannya.

    terimakasih.

    Gama,
    Salam kenal juga. Thanks telah mampir.
    Tulisan saya sekedar sharing, ada juga yang berpendapat lain…..yang penting kesepakatan masing-masing pasangan, karena yang nyaman pada pasangan yang satu belum tentu cocok buat pasangan lainnya.

  8. wah…..artikel tingkat atas ni bu….hiks..g mudeng…

    Cewektulen,
    Ahh..yang bener? Prinsipnya segala sesuatu harus melalui pertimbangan masak, agar nyaman bagi masing-masing pasangan yang telah menikah.

  9. adipati kademangan

    Kapan punya anak ? kalo saya sih saya pake kesempatan buat pacaran dulu (pacaran setelah nikah kan boleh toh bu) baru kemudian berencana memikirkan momongan.
    jarak itu juga atas kesepakatan berdua. kalo terlalu dekat, kasihan orang tua (ibu biasanya) tambah repot mengurus anaknya yang masih kecil. kalo terlalu jauuhhh … ya itu tadi, tergantung umur ibu dan kematangan si mbarep

    Adipati Kademangan,
    Berarti udah punya rencana. Masalah pacaran sebelum atau sesudah nikah menurut saya tergantung orangnya masing-masing, kalau saya yang penting mengetahui latar belakangnya, cara pandangnya, tujuan hidupnya…dan bagaimana si Dia menganggap pasangannya…sebagai partner atau apa? Maklum, kesalahan memilih berakibat pada kebahagiaan anak-anak yang akan dilahirkan….prinsip saya, menikah harus menjadi lebih bahagia dibanding hidup sendiri.

  10. he he..saya sih dulu nggak pakai sepakat sepakat..
    lho kok tau tau jadi..he he

    Mas Iman,
    Hehehe…atau saya yang kebanyakan analisa kali ya…apa-apa dianalisa dulu.
    Mau menikahpun saya mempertimbangkan dari segala segi…..entahlah, mungkin karena kebiasaan.

  11. memang benar, bu, setiap pasangan beda2 keinginannya dalam hal keturunan. namun, bagi saya pribadi, begitu menikah kok ingin cepet2 mempunyai anak sebagai bukti bahwa saya siap untuk menerima peran baru sekaligus bisa menjadi penguat identitas di tengah2 lingkungan bahwa saya pria *halah* normal, hehehehe 😆 ada budaya di sekitar tempat saya tinggal bahwa pasangan suami-istri yang tdk segera memiliki keturunan dinilai sbg pasangan yng belum berjodoh. wah, entah bener entah tidak, saya sendiri juga ndak tahu, bu.

    Pak Sawali,
    Memang yang menyebalkan adalah pandangan lingkungan, terutama jika di kota kecil, rasanya tak ada pertanyaan lain, selain kapan punya anak?
    Tapi karena saya hidup di Jakarta, dengan segala kesulitan yang dihadapi, saya cuma senyum aja kalau ada pertanyaan seperti itu, walau dalam hati sebel juga. Kebetulan suami juga orangnya santai, jadi ya ga masalah.

  12. Kalau saya sih langsung hajar bleh saja… Soalnya saya ngga mau melahirkan di atas usia 30. Lebih banyak resikonya.

    Ratna,
    Risiko melahirkan di atas 30 tahun memang lebih tinggi, tapi dengan semakin majunya ilmu kedokteran dan ketrampilan dokternya, banyak kok yang melahirkan di atas 30 tahun…tapi memang umumnya berhenti pada umur 35 tahun. Dokter kandungan saya masih nguber-uber saat umurku 35 tahun, karena isterinya melahirkan anak bungsu saat umurnya 37 tahun. Temen-temenku ada yang melahirkan umur 42 tahun (ada 3 cewek)….dan saat itu jabatannya Deputy General Manager….dan beliau ini akhirnya menjadi salah satu Direktur bank besar di Indonesia.

    Mungkin lingkungan temanku seperti itu…jadi akhirnya tak aneh melihat perempuan, menjadi bos, memimpin rapat dengan anak buah sebagian besar laki-laki…dengan perut membesar.

  13. saya pernah ditegur sama Eyang : jangan cuma mau senang-senang saja, ambillah juga tanggungjawab itu
    beda mungkin ya antara generasi saya dg Eyang dimana lapangan kerja masih terbentang luas

    Tomy,
    Saya tak terlalu jelas maksud eyang…agar segera punya anak?
    Orangtua pada umumnya kawatir kalau anak atau cucunya tak segera punya anak…jadi pertanyaannya memang seperti itu. Tapi tinggal kita menyikapinya….kalau memang sudah mantap ekonomi, karirnya dan siap mental, kenapa tidak?

  14. liswari

    Aku mau punya 5 anak…:-p hamil umur 28, 30, 32, 34, 36 hehehe rame deh rumahnya nanti :-p… makanya harus jadi orang kaya nih biar kuat ngebiayain nya hihihi …. *Pek.. ayo kerja yg giat!!!

    Lis,
    Kenapa nggak kesebelasan sekalian? Aku cuma ingin membuktkan aja….benarkah…hehehe

  15. berhubung saya dah lewat 30, kayaknya saya harus segera nambah nih **malu-malu**
    si kecil saya baru 1,7 tahun

    Iway,
    Bagi bapak sebetulnya umur berapapun masih memungkinkan menambah anak, cuma masih layakkah? Kasihan juga kalau anak belum selesai kuliah tapi ayah atau ibu keburu pensiun. Saya juga termasuk injury time, anak saya lulus, pas saya memasuki usia pensiun….justru karena itu saya menulis tentang hal ini…karena ternyata anakku stres juga, dia merasa didesak oleh waktu memikirkan ibu mau pensiun.

  16. Puspa

    Jadi ingat dulu awal nikah, saya juga mau menunda punya anak at least 1 tahun. Tapi gagal, gara2 kasihan ama suami 😀 tiap ketemu teman kantor dia selalu diledekin. Apalagi ketemu temen2 kuliahnya dulu… habis dia dicerca… Dia sih senyum2 aja, tapi kok saya jadi kasian ya…
    hi hi hi jadinya cuman berhasil menunda 6 bulan. Tapi gak nyesel kok punya anak cepet2, ngebayangin ntar klo dia udah gede kita masih bisa hang out sama mereka… wah asiiiikkkk…

    Puspa,
    Menunda punya anak sesudah menikah umumnya dilakukan secara alami, karena pada umumnya dokter tak mau melakukan KB bagi pasangan yang belum punya anak. Punya anak semasa ibu masih muda juga menguntungkan, karena nantinya bisa dekat dengan anaknya, jalan-jalan bareng. Kalau saya masalahnya memang berbeda, saya keliling dulu, jalan-jalan dulu, karir dulu, baru menikah….jadi ya harus langsung punya anak biar ga terlalu tua.

    Walaupun demikian saya masih bisa kok, ketawa-ketawa bareng anak, jalan-jalan sama anak, walau bedanya dengan si bungsu 34 tahun.

  17. salam kenal bu.. (saya tau blog ibu dari ade bayu)
    berarti ndak masalah ya, merencanakan ngga punya anak dulu? saya khawatir kualat kalau ‘nolak’ punya anak :p.

    sbg info, saya blm menikah, tapi berencana menikah dlm satu thn ke depan. sementara saya masih sangat takut untuk mendidik anak ^^’

    hehe,jadi konsultasi pribadi nih bu.. terimakasih sebelumnya 🙂

    Fitrimutiara,
    Temennya Ade? Berarti masih muda ya…..sebetulnya kuncinya pada kesiapan pasangan, jangan sampai si anak yang jadi korban. Mungkin yang penting kesiapan menikah dulu, baru nanti dipikirkan berdua mau kapan punya momongan…mau meneruskan kuliah dulu, mau kursus dulu, atau ada beberapa perusahaan yang menyarankan jangan punya anak dulu sebelum selesai training (karena saat training, akan sering dipindahkan, dan ditugaskan kemana-mana yang berisiko bagi yang kandungannya tak kuat).

  18. sosro

    Yth.Bu Edratna, sy punya temen nikah ( laki batak dan cewek cina) di usia 30 tahunan di negri Belanda berdua sepakat tidak usah punya anak. sampai sekarang usia sekitar 57 tahun. dan sampai sekrng betul2 tdk punya anak. dan setiap tahun beliau berdua pulang ke Indonesia selama 2 bulan, jalan2, ketemu keluarga di sby dan sumatra. Saya lihat dari luar enjoy banget beliau berdua. tapi ga tahu ya dalam hati kecilnya. yang jelas anak sangat diinginkan/didambakan oleh orang2 yang menikah.

    Sosro,
    Menurut saya tak masalah, saya punya saudara sepupu menikah dengan bule, kerjanya kalau libur jalan-jalan keliling dunia, dan kelihatannya tak berpikir punya anak. Menurut saya itu hak masing-masing, karena kalau ingin, pasti dia adopsi atau berusaha melalui berbagai alternatif (teman saya banyak yang adopsi, atau proses pakai bayi tabung dll). Kebahagiaan kan tak harus dikaitkan dengan ada tidaknya anak, tapi bagaimana kita menikamti kebahagiaan tsb. Memang agak sulit jika tinggal di Indonesia, apalagi kota kecil…begitu tahu lulus S1, pertanyaannya kapan menikah? terus nanti kenapa belum punya anak? Pengin kaya dulu ya? Saya dulu pernah juga hampir emosi atas pertanyaan yang sok tahu ini, tapi akhirnya bisa menahan diri…dan bagi cewek, nggak enaknya mereka juga sok menasehati, padahal risikonya bukan pada mereka.

  19. Menurutku kalo sudah umur 20 th sudah bisa punya anak. Biar nanti kalo anak umur 20th kitanya umur 40th. Bisa jalan-jalan & ngomongnya selevel gitu. Jika dimintai bantuan utk momong cucu masih OK.

    Aku dulu juga menimbang-nimbang seperti yg ibu katakan. Semua pakai pertimbangan masak-masak. Kenyataanya: tidak seperti yg diharapkan.

    Sekarang aku punya idea yg 180° dr idea ibu & idea aku dulu :
    a. aku bikin anak ke-2 tanpa persetujuan bapaknya, lagi pula kami belum nikah. Setelah kehamilan 2 bulan baru dia aku beritahu. Aku pun menolak utk dinikahi dan diakui anaknya. Tetapi dia dengan sabar mendampingiku hingga kini.
    b. Tak perlu kedua belah pihak orang tua siap. Karena aku merasa sudah dewasa dan bisa mengurusi hidupku ini.
    c. anak wajib bahagia. Finansial yang kuat tidak selalu menjamin kebahagiaan anak. Ini relatif sekali. Saya bisa lulus Univ. bukan karena biaya orang tua, melainkan biaya diri sendiri. Sewaktu masih single ekonomiku kuat sekali, hamil anak I juga begitu. Sayang jalan tidak mulus seperti rencana. Ekonomiku jatuh, tapi aku tak takut utk hamil yg ke-2. Sekarang anak ke-2 berumur 15 bulan dan keadaan ekonomi semakin membaik dan aku berharap begitu seterusnya. Ini harapanku lho, tidak tahu kenyataannya. Aku selalu bilang ke anak-anak, “Apapun keadaan kita Mami selalu akan di samping kalian, jangan takut akan masa depan. Hidup ini bagaikan kita berlibur dgn naik sepeda : kadang kita di atas gunung bisa lihat semua pemandangan, tapi kita harus turun ke danau/ke laut utk berenang/mencari air, lalu kita naik lagi harus dikayuh kuat-kuat jika tidak kuat anak-anak harus turun bantuin ibu dorong sepeda.” Banyak philosophi yg aku ajarkan. Jika terjadi apa-apa dengan diriku ditengah perjalanan kehidupan anak-anakku akan selalu rukun dan saling membantu untuk mencapai keberhasilan.

    Hidup ini begini kadang + kadang – dibawa enaknya saja. Hehehe…

    Juliach,
    Memang tipe orang berbeda-beda, justru disitulah menariknya. Ada yang berani mengambil risiko, ada yang risiko moderate, atau bahkan tak berani ambil risiko. Ada juga orang yang melakukan segalanya dengan perencanaan matang (ini termasuk saya), ada yang menjalani kehidupan dengan lebih santai. Justru itulah bagaimana memilih pasangan yang cocok, juga harus disesuaikan dengan sifat kita. Kalau yang satunya menggunakan analisis, terprogram, lengkap dengan plan A-B-C dst nya…sedangkan lainnya easy going….maka keduanya harus memahami benar, dan bagaimana mengaturnya, agar sifat yang berbeda ini jangan jadi bumerang.

  20. selain kesepakatan suami istri juga ada faktor penentu yaitu kehendak Tuhan..
    maaf lo bu..slm kenal dan numpang nampang.

    Windy3001,
    Betul….bukankah diujung usaha selalu ada nasib?
    Tapi kita tetap berusaha kan, tidak menyerahkan sepenuhnya dengan doa?
    Salam kenal juga

  21. elgafitri

    makasih bu.. iya nih, masih harus banyak mempersiapkan diri dulu^^’ jadi mikir satu2 dulu aja y.

    sering ngeliat k narpen di kampus, cuma ngga pernah nyapa. belum pernah kenalan resmi sih, jadi malu kalo tiba2 sok kenal 😀

    Elgafitri,
    Satu angkatan dengan Ade? Berarti seharusnya kenal……tapi anak Elektro memang banyak sih…

  22. Saya lahir ketika ayah berumur 40 dan ibu berumur 30, ketika ayah pensiun saya baru tingkat satu. Untuknya emak punya perencanaan keuangan yang matang sehingga biaya pun tidak masalah. Kakak saya yang beda 5 tahun sudah terlebih dahulu bekerja. Sekarang bapak ibu sudah pensiun, biaya kuliah di LN semua saya tanggung sendiri.

    Resi Bismo,
    Terus terang saya sedih kalau melihat orangtua yang membebankan biaya anak-anaknya kepada anak yang tertua, akibatnya anak tertua tak bisa mengembangkan dirinya, serta keluarganya sendiri terlantar. Keluargamu termasuk planningnya bagus, walaupun ayah udah pensiun, karena ibu pengelolaan keuangannya baik, maka semuanya bisa terpenuhi.

    Sebetulnya disinilah inti dari keluarga berencana, berapapun anak yang dilahirkan, orangtua harus bertanggung jawab dapat membiayai sekolah dan memberikan perhatian agar anak-anaknya berkembang baik, sampai anak mandiri. Dan orangtuapun harus bisa mengelola keuangannya, agar nantinya tak menjadi beban anak-anaknya saat telah menjadi tua…karena anak-anaknya juga disibukkan membiayai keluarga kecilnya. Jika ini bisa direncanakan sejak awal, maka akan muncul keluarga bahagia dan sejahtera.

Tinggalkan komentar