10 Things about Jakarta

Membaca tulisannya Arman disini, kok jadi pengin juga menuliskan kesanku tentang kota Jakarta. Kota Jakarta memang kota yang mengasyikkan, menyenangkan, menyeramkan (jika sedang ada demo, kawatir jadi rusuh), menyebalkan (jika sedang macet)…pokoknya segala ada deh. Dari yang baik-baik, sampai yang menyebalkan. Dan saya ingin menulis kesan dan pengalaman saya tentang kota Jakarta, mumpung Jakarta sedang ber ulang tahun,  diawali sejak pertama kali saya menjadi anggotanya.

Lanjutkan membaca “10 Things about Jakarta”

Makan-makan untuk acara perpisahan

Tim inti IRPA

Zaman dulu (untuk orang-orang usianya  di atas setengah abad), makan enak (dalam arti makan daging), adalah saat ayamnya sakit atau anaknya sakit, atau ada hari bahagia di keluarga. Saat itu rata-rata setiap rumah mempunyai ayam peliharaan, karena  rata-rata rumah di kota kecil halamannya cukup luas, sehingga ayam-ayam itu dibiarkan begitu saja, hanya disediakan dedak,  dan umumnya makan dari remah-remah nasi dari makanan kita sehari-hari. Dan namanya maling ayam, itu sering terjadi, biasanya karena memang kehidupannya sulit, maling untuk bisa memberi makan keluarganya. Selain itu, yang juga sering terjadi adalah maling jemuran, karena bahan kain dihargai paling tinggi, maklum, punya baju baru hanya pada saat Lebaran, setahun sekali. Karena yang ada hanya ayam kampung, maka jika ingin beli telur, harga telor juga mahal, jadi di keluargaku sering mencampur telur ayam dengan telur bebek untuk lauk makan. Syukurlah, karena halaman cukup luas, sayur mayur bisa  ditanam di halaman belakang rumah dan di kebun samping rumah, yang memang khusus ditanami sayur-sayuran seperti: labu siam, kacang panjang, bayam, kangkung, jagung dan sebagainya. Buah-buah an cukup banyak di halaman, sehingga beli buah di pasar hanya jika ada acara penting. Saya lupa kapan di negara kita mulai banyak dipelihara ayam negeri, seingatku sekitar tahun 70 an. Sejak itu, makan dengan telor menjadi hal yang biasa. Untuk daging sapi, kami di keluarga punya langganan penjual daging. yang sering mampir ke rumah. Walau ibu hanya bisa makan daging dari binatang berkaki dua, beliau tetap bersedia masak daging sapi (kaki empat) untuk anak dan suaminya.

Lanjutkan membaca “Makan-makan untuk acara perpisahan”

Bersantai di Batu Jimbar Cafe, Sanur

Hari Minggu, adalah  hari terakhir liburan saya setelah tugas ke Denpasar, mau kemana-mana serba tanggung.  Minggu sore saya akan kembali ke Jakarta dengan pesawat Garuda jam 17.30 wita, sebelumnya oleh teman sudah diingatkan agar paling lambat  90 menit  sudah ada di bandara Ngurah Rai, karena saat liburan panjang antrian penumpang akan penuh, walau tiket sudah saya serahkan ke protokol kantor dua hari sebelumnya.

Mengapa serba tanggung? Anakku ada kursus  bahasa Mandarin antara jam 10.00 s/d 11.30 wita, kursusnya diadakan di suatu cafe.

Sunday Market di Batu Jimbar Cafe

Lanjutkan membaca “Bersantai di Batu Jimbar Cafe, Sanur”

Kapan mulai mengenal Café?

Dahulu kala, kita janji ketemu teman adalah dengan cara kita datang ke rumah teman itu, atau ketemu di depan sekolah,  atau menjemput ke kantornya, artinya jarang kita janjian ketemu di suatu Mal (lha ya jelas…saat itu Mal belum ada, yang ada Department Store). Dan pertemuan yang dilakukan di tempat tertentu, di luar rumah, terjadi jika  jarak tempat kerja dan atau rumah berjauhan. Kemudian Mal makin tumbuh di kota besar, terutama di Jakarta. Namun tetap saja jika janji dengan teman, saya tetap memilih untuk ketemu di toko buku, karena bisa asyik memilih buku, sehingga penantian yang lama (karena salah satu terjebak macet) tak terasa.

Lanjutkan membaca “Kapan mulai mengenal Café?”

Sumur

Saat masa kecilku, masing-masing rumah mempunyai sumur kerekan untuk mengambil air, bahkan di kampung nenekku, tak semua rumah punya sumur dan jamban (untuk mandi). Jadi, bagi penduduk yang tak punya sumur sendiri, maka desa menyediakan sumur bor, dilengkapi dengan kamar mandi, di kampung nenekku ada dua kamar mandi yang digunakan bersama-sama untuk warga kampung. Jangan dibayangkan kamar mandinya pakai pintu, namun semua orang tahu, bahkan tak berani mendekati pintu kamar mandi ataupun mengintip orang yang sedang mandi. Tanda bahwa kamar mandi tadi sedang digunakan adalah baju yang disampirkan di tembok kamar mandi tersebut.

Lanjutkan membaca “Sumur”

Festival Budaya Betawi 2010: Cipetevaganza II, 5-6 Juni 2010

Cipetevaganza 2, di jalan masuk Cipete Raya

Saya “agak terlambat” tahu mengenai Cipetevaganza kedua ini. Cipetevaganza pertama diadakan pada bulan Juli sekitar dua tahun lalu. Awalnya karena membaca FB nya teman yang kebetulan tinggal di rumah dinas dekat jalan Cipete Raya. Kemudian saat Sabtu malam,   si mbak yang ijin keluar saat itu terlambat pulang, padahal  biasanya kalau jalan-jalan Magrib sudah pulang, saat itu molor sampai jam 9 malam, rupanya setelah menengok temannya di kompleks rumah dinas, dia pulang mesti jalan kaki sepanjang jalan Cipete Raya sekaligus melihat Cipetevaganza yang digelar sepanjang jalan tersebut. Saya dulu juga tinggal di sana, sehingga si mbak punya ikatan antar para mbak yang membantu ibu-ibu di lingkungan kompleks rumah dinas tersebut. Sabtu itu memang si mbak ijin jalan-jalan, saya perbolehkan, karena sebelumnya sahabat lama saya berjanji ke rumah, tapi  gagal  karena dia terjebak di jalan Tol Bintaro yang banjir sampai setinggi satu meter. Jadi saya pikir, saya mau tinggal di rumah saja, karena badan agak meriang.

Lanjutkan membaca “Festival Budaya Betawi 2010: Cipetevaganza II, 5-6 Juni 2010”

Business and Leisure

Sore itu,  karena seminggu sebelumnya lelah sekali, saya tertidur saat sedang leyeh-leyeh membaca. Agar tak terganggu dering hape, maka hape di buat silent. Saya tidur nyenyak, dan saat terbangun saya membaca sms dari mbak Tuti, apakah saya bisa mengirim artikel? Waduhh…langsung bingung nih, maklum tulisanku di blog sering kemana-mana, menulis di blog sendiri tentu saja akan lebih pede. Ditambah lagi, artikel Nana yang diposting di blog mbak Tuti bikin keder, Nana yang biasanya menulis ringan, ternyata di blognya mbak Tuti menulis hal yang serius……

Awalnya saya berencana menulis tentang cerita sehari-hari, tapi menjadi batal setelah saya baca ulang besoknya, kok kayaknya kurang tepat. Kebetulan saya akan bertugas ke Bali, sekaligus menengok anak yang sekarang bekerja di Bali, jadi saya membalas sms mbak Tuti, bahwa mungkin saya akan mengirim tulisan setelah pulang dari Bali. Sampai dua hari sepulang dari Bali, saya masih bingung, entah kenapa kok jadi nggak pede ya….akhirnya karena sudah janji saya memberanikan diri mengirim email ke mbak Tuti, dengan pesan mohon di edit lagi, maklum mbak Tuti kan penulis jadi saya yakin tulisanku akan dibaca ulang dan di edit, agar sesuai dengan karakter pembaca TV.

Silahkan bergabung dengan TV…ehh Tutinonka’s Veranda…..

Monggo…..

Serba serbi perjalanan dari Jakarta ke Bali

Pagi itu sopir BB datang tepat waktu, saya sengaja pesan lebih awal karena kemacetan jalan di Jakarta sering tak dapat di duga. Perjalanan dengan taksi sering mendapatkan pengalaman, yang terkadang diluar apa yang saya pikirkan. Pak sopir dengan sopan menyetir, mendekati bandara Sutta saya akhirnya tahu, bahwa pak sopir sebelumnya bekerja di liputan 6 SCTV, isterinya lulusan UGM yang sekarang terpaksa di rumah karena anak-anaknya 4 (empat) orang masih kecil-kecil. Walau demikian, dari obrolan sepanjang perjalanan, terlihat bahwa dia menyenangi pekerjaannya, serta tetap bersyukur karena bisa membiayai kehidupan anak isterinya. Sampai di terminal dua, terlihat orang penuh sesak, padahal long week end masih  tiga hari kemudian. Hal tersebut sebetulnya wajar, karena Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga angkutan laut maupun udara merupakan jalan yang dipilih masyarakat untuk berkunjung, berbisnis maupun keperluan lainnya. Melihat hal ini, si mas di toko buku berkomentar, airport kok ramenya mirip terminal bis. Hanya stasiun kereta api yang sepi, kecuali libur panjang atau libur anak sekolah.

Lanjutkan membaca “Serba serbi perjalanan dari Jakarta ke Bali”