Jika besan beda bangsa

Saat si bungsu memberitahu bahwa dia ingin menikah dengan pilihan hatinya, seorang Warga Negara Jepang, saya sudah membayangkan bagaimana ribetnya. Pengurusan dokumen nya saja memakan waktu nyaris tiga minggu. Akhirnya karena kesibukan kedua calon mempelai, diputuskan untuk melakukan akad nikah di Tokyo.

Selanjutnya di Indonesia tinggal diadakan acara syukuran, dengan demikian diharapkan masalah sudah jauh berkurang. Tenyata ibu pengantin laki-laki vegetarian, dan mengingat pengalaman anaknya (saat itu belum menjadi suami si bungsu) pernah pingsan dan dibawa ke rumah sakit setelah makan sate di blok M, saya nggak berani main-main. Jadilah saya menyiapkan rice cooker, beras Jepang, dan stock makanan Jepang yang siap di masak. Kami memesan kamar di S Apartement, yang kamarnya dilengkapi dengan dapur mini, dan microwave.

Akhirnya hari yang ditunggu tiba, saya dan si bungsu menjemput keluarga besan di bandara Soekarno Hatta hari Jumat malam. Kondisi si bungsu saat itu sedang sakit karena kecapekan, demam tinggi sampai 39,5 derajat celsius. Akhirnya setelah check in di S Apartment, saya membawa si bungsu ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit terdekat, dan sempat diinfus untuk memasukkan obat selama dua jam. Yang masih menjadi pikiran adalah, sambil menunggu si bungsu diinfus, apakah baju ibu pengantin laki-laki cukup? Karena saat menjahitkan baju, saya hanya berpatokan sama ukuran perkiraan si bungsu. Syukurlah saat dicoba esok hari ukuran baju tidak ada masalah.

Besok paginya saya datang ke Apartemen, terpana karena keluarga besan sudah siap berpakaian batik, baik ayah ibu, suami si bungsu dan adik kandung serta iparnya. Saya sungguh terharu, mereka menghargai budaya kita, dan langsung berpakaian batik. Hari itu acara nya santai, karena adik pengantin sehari setelah acara syukuran langsung pulang (orang Jepang benar-benar gila kerja, sulit sekali mendapat cuti), maka anak sulung saya dan istrinya berinisiatif mengajak jalan-jalan ke TMII, karena si bungsu harus istirahat agar sehat saat acara syukuran. Saat suami si bungsu mengajak makan siang di restoran Padang, anak sulung saya dan istrinya langsung menolak, dan membelokkan kendaraan ke Solaria. Syukurlah ternyata besan saya bisa makan sayuran, serta bisa makan nasi tanpa sakit perut, sehingga sampai mereka pulang, barang-barang yang rencananya mau dimasak, tidak tersentuh.

Minggu pagi, tahun 2014

Pagi-pagi kami semua sudah siap, perias sudah datang ke S Apartemen, dan kembali saya bersyukur, kami semua dirias di S. Ternyata sulit sekali untuk berkomunikasi, keluarga menantu saya tidak lancar berbahasa Inggris (kecuali ayahnya, yang pernah tinggal di Amerika), ibu menantu saya hanya bisa berbahasa Indonesia sepotong-sepotong, sedang saya sendiri tidak bisa berbahasa Jepang. Saat menjelaskan, agar memakai blouse yang berkancing depan atau belakang susah sekali, akhirnya salah seorang penerima tamu meminta saya untuk didandani lebih dahulu, kemudian dicontohkan mengapa mesti pakai baju bukaan depan/belakang. Masalah muncul lagi, karena ternyata blouse mereka berupa kaos atau tidak ada yang bukaan depan maupun belakang. Akhirnya disiasati dengan memakai jaket, syukurlah AC di Apartemen lumayan dingin, tidak terbayang berdandan dengan memakai jaket.

Untuk memudahkan, adik saya dan anak sulung saya lebih dulu memakai kain dan beskap, serta blangkon. Saya sungguh senang, mereka antusias sekali memakai kain dan beskap. Masalah muncul, karena menantu saya yang sudah berpakaian lengkap dengan beskap, bermain dengan berguling-guling dan loncat-loncat dengan cucu saya yang baru berumur 3 (tiga) tahun, sehingga saat mau berangkat ke lokasi acara, kainnya lepas…hahaha…terpaksa deh, diberesi lagi. Anak sulung saya mulai menjelaskan kepada pengantin laki-laki, agar nanti jalannya pelan-pelan dan mengikuti langkah cucuk lampah. Terkadang cucuk lampah melangkah mundur, hal ini jangan diikuti, dan untuk memudahkan anak saya memperagakan dengan menggunakan gelas.

Sesuai budaya Jepang, orang tua mempelai akan memberi sambutan (berbeda dengan budaya di Jawa, sambutan diwakili oleh keluarga), jadi setelah acara sungkeman, bapak T Kamahara memberikan sambutan, yang diakhiri dengan kata “Terimakasih”… Arigatou Gozaimasu” yang disambut dengan tepuk tangan meriah.

Ternyata ayah menantu saya menyenangi masakan Indonesia, dan tidak ada pantangan. Ini nanti menjadi masalah saat berkunjung ke Yogya. Ibu menantu saya sangat disiplin dalam hal makanan, sehingga saat perjalanan pulang ke Jepang tidak ada masalah. Sedang ayah menantu saya sempat perutnya bermasalah dalam penerbangan pesawat kembali ke Jepang, mungkin karena terlalu lelah dan mencoba makan segala macam, sehingga perutnya memberontak.

Ada pertanyaan besan yang membuatku terharu, mereka menanyakan bagaimana perasaan saya, yang akan tinggal jauh dengan anak perempuan satu-satu nya. Saya menjawab, sejak anak saya pergi meninggalkan rumah untuk melanjutkan kuliah di kampus Gajah Bandung, saya sudah siap, bahwa si bungsu akan sering bepergian kemana-mana. Apalagi setelah selesai beasiswa S2, mendapat beasiswa S3 dari Pemerintah Jepang, saya dan suami sudah siap, jika suatu ketika si bungsu akan kecantol dengan pria yang berbeda kewarganegaraan.

Tinggalkan komentar