Aku atau saya?

Terbiasa bekerja diperusahaan jasa yang konservatif (misal: Bank), membuat seseorang melihat segala sesuatu sesuai aturan main, dan pada tempatnya. Baik para pegawai rendahan, dari pramubakti, satpam, sampai kelas menengah seperti sekretaris, semua dilatih untuk melayani tamu dengan standar tertentu. Namun ada perusahaan tertentu, yang lebih memberi kebebasan bagi para karyawannya dalam bertingkah laku, dan ternyata perubahan memimpin dari usaha yang konservatif ke pekerjaan lain yang berbeda, menimbulkan perubahan budaya, yang perlu waktu untuk menyikapinya.

“Coba mbak, perhatikan ucapan sekretarisku,” kata seorang teman yang menjadi Top Management, yang memimpin badan standarisasi/sertifikasi, saat saya berkunjung ke kantornya. Saya sejak awal memang memperhatikan, bahwa walaupun pekerjaan temanku banyak berhubungan dengan para Top Management berbagai bidang usaha, tapi kantornya dibilangan gedung tinggi di wilayah jalan Thamrin, mencerminkan hal yang lebih santai dibanding dengan pekerjaan dia sebelumnya, sebagai salah seorang BoD dari perusahaan yang telah go public, dengan harga saham yang menanjak pesat. Saya mulai mengamati, cara berpakaian, cara berbicara para staf memang terkesan santai, bahkan terbiasa menggunakan kata “aku” untuk menunjuk dirinya. Kata temanku…”Aku risi mbak, tapi mau bagaimana lagi, habis bapak pimpinan yang lain kayaknya tak terlalu memperhatikan,” kata temanku lagi.

Saya mulai membuka kamus, benarkah kata aku dan saya memiliki konotasi berbeda. Ternyata memang kata “saya” menunjukkan bahasa yang lebih halus, yang lebih menghormat. “Saya” menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti orang pertama yang lebih takzim daripada aku. Sedangkan “aku” menurut KBBI, adalah pronomina pertama tunggal, biasanya dipakai di percakapan yang akrab, seperti antara kawan sepermainan atau sekampung, adik dan kakak, orangtua terhadap anaknya, juga dalam doa. Memang sekretaris temanku, saat menghadap temanku berkata seperti ini…”Bu, aku udah buat ringkasannya, tapi lupa kirim email ke ibu,” kata sekretaris. Memang terasa janggal, karena saya, yang dulunya belum setingkat Direktur, dan punya sekretaris, saat itu sekretaris saya tetap menggunakan bahasa formal saat bekerja di kantor. Dan tata bahasa seperti sekretaris temanku tadi, jika dilakukan saat melayani tamu, bisa menjadikan tamu tadi tersinggung.

Pertanyaannya, bagaimana cara menjelaskannya. Sebenarnya mudah, jika pada saat awal rekruitmen, para sekretaris ini dididik lebih dulu tentang budaya kerja perusahaan, termasuk etika dalam menghadapi tamu, atasan, dan berbagai ketrampilan lain, walaupun mereka adalah lulusan akademi sekretaris yang cukup terkenal. Kebiasaan kita bergaul dengan teman-teman sering terbawa masuk dalam pekerjaan sehari-hari, padahal seharusnya kita bertindak sesuai peran tersebut. Sebagai sekretaris, maka dia akan bertindak dan berbicara layaknya sekretaris yang handal, namun berbeda jika sekretaris tadi berbicara dengan teman-temannya, yang boleh saja menggunakan kata aku, lu atau gue. Ya, kita seharusnya mulai bertindak dan berperilaku sesuai peran yang kita bawakan, yang akan berbeda dengan peran kita sebagai pimpinan di kantor, sebagai bawahan, serta sebagai seorang ayah atau ibu terhadap anak-anaknya.

39 pemikiran pada “Aku atau saya?

  1. Kadang-kadang kata aku, gue, dan saya bisa jadi dilema…
    Apalagi kalau beraneka kultur…
    Jujur, saya masih menganggap penggunaan kata ‘gue’ adalah sebuah keegoisan… 😛
    *Cuma perasaan saya sih…*

    Ardianto,
    Sebetulnya penggunakan kata “gue” umum dilakukan oleh anak-anak yang dibesarkan di Jakarta….sama halnya penggunaan kata “kon” atau “cak” bagi orang Surabaya dan sekitarnya. Kata tadi menunjukkan keakraban, namun setelah bekerja, kita harus pandai-pandai dalam menggunakan bahasa dan kata-kata yang layak digunakan dalam pergaulan yang formal…yang jauh berbeda dengan pergaulan antar teman akrab.

  2. Arie Kusuma Atmaja

    Memang terasa janggal

    Janggal atau tidak itu semua karena kebiasaan saja (bergantung di daerah/negri mana orang ybs bekerja).

    Jujur kalo saya pribadi malah “seperti ada/punya nilai rasa dalam hati” bila menggunakan kultur Indonesia dalam beretika tsb, jadi ya sebagai orang Indonesia ngerasa aja ada yang kurang pas kalau kurang etis dalam sebutan “gue” walaupun bila seorang direktur berbicara terhadap Office Boy.

    Arie,
    Saya termasuk bisa memahami bahasa apapun yang digunakan oleh anak buahku, tapi saya sering memberi tahu secara empat mata, agar mereka berhati-hati menggunakan bahasa itu jika berhadapan dengan orang lain, terutama atasan yang belum tentu memahami. Dengan demikian secara tak langsung saya mengajarkan pada mereka, bahasa apa yang sebaiknya digunakan secara informal…dan ternyata KBBI menjelaskan secara tegas perbedaan penggunaan kata “aku” dan “saya”.

    Kita memang harus bisa menggunakan komunikasi sesuai dengan peran kita, agar mudah bergaul dengan orang lain.

    Saya support Bu Enny, kita harus junjung dan jaga itu hasanah kekayaan Bahasa Indonesia yang benar (dan juga bhs2x daerah), bukan yang salah-salah-rusak-rusak-krn-alasan-trend-ato-apalah lalu dijadikan kebiasaan, ex: secara = dengan cara menjadi karena (it’s super lame total banana), dst.

  3. liswari

    wah bener banget nih harus dibedain cara berbicara antara di kantor dengan sehari2 karena memang harus bisa professional di kantor… eh tp tergantung juga suasana kantor sih soalnya dulu kantorku yg domain IT, yang semuanya anak muda, bahasanya udah gak ada aturannya sama sekali… dikantor aja bisa ada yg manggil “eh kecoa” atau gak “ucrit” kalo manggil temen hehehe

    Lis,
    Saya kira di Amerika pun ada perbedaan berkomunikasi dengan atasan atau rekan kerja, walau bedanya mungkin tak seperti di Indonesia. Juga harus dilihat kita bekerja di perusahaan dengan buadaya kerja seperti apa. Saat saya ke Athena, perbankan disana terlihat santai, hanya yang menerima delegasi Indonesia yang berpakaian resmi pakai jas…pekerja lainnya pakai jeans. Namun situasi berbeda saat ke Jerman Timur, semua konservatif dari mulai penjaga sampai Gubernur Bank Sentralnya. Untuk itulah kita harus memahami, kita berada di perusahaan apa, budaya kerja seperti apa…dan kita tinggal menyesuakan.

  4. Salam
    Ya saya setuju Mba, intinya nempatin bahasa sesuai dengan sikonnya kali ya 🙂

    Nenyok,
    Betul…dan masih tak pantas jika anak saya ke eyang kakungnya bilang…lu, gue….bisa-bisa saya diamuk anaknya (suami, maksudnya).
    Berbahasa sopan tak berarti mengurangi kebebasan, justru karena sopan dan hormat pada orangtua, maka orangtua juga akan senang dan mendoakan yang baik pada kita.

  5. aminhers

    Menurut saya perbedaan makna rasa dari suatu kata perlu di komunikasikan, jangan sampai gara2 hal sepele jadi merusak kinerja suatu unit.
    Masalahnya nilai dari suatu tutur kata tergantung dari pembicara dan respon pendengar.

    Contoh kasus, mohon maaf:
    Dalam situasi resmi atau tak resmi, saya merasa tidak masalah ketika rekan kerja memanggil nama “x”, karena itu nama saya; sedangkan kata ‘bapa” adalah sapaan umum.asalakan jangan dipanggil y karena tidak sesuai dengan catatan kelahiran.

    Perbedaan budaya daerah dan sisa peninggalan penjajah yg feodalistik yang selalu lekat dengan akar masalah ini,keragaman seharusnya dipandang dua arah yang arif dan terkomunikasikan.
    Komunikasi antar bangsa sudah melangkah jauh mengenai nilai rasa ini; apalagi di dunia bisnis dan teknologi, mereka sudah tidak terlalu “mempermasalahkan” secara teknis , karena mereka saling memahami keragaman dan akan terselesaikan dengan cara komunikasi antar personal dua hal yang berbeda tersebut (pembicara dan pendengar).
    Memang kearifan dalam menghadapi perbedaan perlu waktu, dan pengalaman !
    maaf coment-nya panjang bu Ratna.
    salam
    aminhers

    Aminhers,
    Prinsipnya kita berbahasa sesuai situasi. Saya memanggil nama pada teman sekantor, namun saat dia menjadi Direktur tentu saya tak pantas masih memanggil nama langsung, apalagi pada situasi rapat resmi dan didepan anak buah yang lain. Jadi akan memanggilnya bu, kemudian juga dia akan memanggil saya pakai bu juga…..Pada situasi informal, kita bisa saling panggil nama, atau pakai mbak dan bisa ketawa keras-keras…yah prinsipnya harus menyesuaikan lingkungan dimana kita berkomunikasi saat itu.

  6. hmmm saya lebih suka make “saya” dalam berucap atau menulis blog
    kalau “aku” seringnya kalau membuat puisi.. atau kata kata mutiara

    Zoel Chaniago,
    Blog ini menggunakan kata “saya”, karena saya menghormati pembaca blog, dan blog ini memang ditujukan untuk sharing pengalaman, memberikan motivasi, dan juga pembelajaran untuk murid-muridku. Dan awalnya memang ditujukan untuk segmen kaum muda, mahasiswa tingkat akhir yang hampir lulus , atau para fresh graduate yang baru lulus, serta para staf junior. Tentu hal ini sangat berbeda jika dibandingan dengan tulisan di blog anakku, yang memang ditujukan pada segmen teman-temannya, sehingga menggunakan kata “gue” dan “loe”

  7. Tapi kalau pakai bahasa Inggris sepertinya nggak ada bedanya kan, Bu ? Tetap pakai “I”. 🙂

    Di kantor saya memang nggak terlalu konservatif. Bahkan mendebat/membantah atasan juga diperbolehkan asalkan punya argumen yang kuat. Penggunaan bahasa juga nggak terlalu dikekang, sepanjang tidak menggunakan bahasa gaul/bahasa prokem. Bahkan manggil atasan dengan nama depannya juga boleh, tapi tentunya setelah akrab. 🙂

    Saya pernah jadi konsultan ke perusahaan asing (Perancis) selama 3 bulan, dan disana bahasanya juga lebih “kasar”. Bahasa Inggris-nya terkadang ada prokemnya, dan kalau pakai bahasa Indonesia juga pakai kata “lu”, “gue”, “ente”, dll.
    Tapi memang budaya setiap perusahaan berbeda-beda soal itu.

    Goldfriend
    ,
    Dalam bahasa Inggris nyaris tak ada bedanya, tapi dalam percakapan tetap ada bedanya kan. Memang yang saya bahas di atas adalah contoh pada industri jasa yang dinilai konservatif, karena mengandalkan pada unsur kepercayaan. Konsultan pun kalau presentasi, biasanya juga menggunakan bahasa santun (ini untuk di kantor saya lho)…tapi mungkin ini beda dengan perusahaan yang lebih mengandalkan kreatifitas seperti perusahaan periklanan dsb nya.

  8. Budhe, aku, eh ulun, eh saya, yang besar dalam kultur Jawa yang sangat “kikrik” dalam soal berbahasa, kadang ngelus dada juga mendengar cara berkomunikasi anak-anak sekarang. Egaliter, kesamaan kedudukan, kebebasan mengemukakan pendapat, demokrasi, atau jargon apalah namanya, bukan berarti harus mengurangi rasa sopan santun dan hormat kita. Tak ada ruginya kok, menghormati orang lain. Menggunakan kata atau sebutan yang merendahkan diri di hadapan orang lain, bukan berarti menganggap diri kita lebih rendah harga dirinya. Kebesaran hati lah yang mampu menundukkan rasa tinggi hati. Orang yang mampu memenangkan hati orang lain adalah orang yang mampu “ngasorake” diri sendiri. Saya sering menggunakan kromo inggil, jangan cap saya sebagai pengusung feodalisme. Bagi saya, sopan santun dan tata krama tak kenal usang, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Saya tetap mempercayai aas reprosikal, saya hormati panjenengan, maka rasa hormat panjenengan pula yang akan saya dapatkan

    Nayantaka,
    Justru saat melihat saya nggak bisa menggunakan bahasa Jawa halus, suami terheran-heran, karena keluarga suami bahasa nya masih halus, bahkan adiknya menggunakan “kromo inggil” jika berbicara dengan suami. Kondisi ini karena ayah ibu saya membebaskan anak-anaknya, maklum ayah ibu teman seangkatan, akibatnya ini terpengaruh dalam mendidik anak-anaknya. Dan karena saya bekerja di perusahaan, yang mengandalkan pada kepercayaan, kedisiplinan, kerja keras, dan prudent…maka saat posisi saya naik menjadi staf senior, tiba-tiba bosku yang biasanya panggil nama, mulai memberikan disposisi dengan embel-embel bu. Awalnya kaget juga, tapi akhirnya saya memahami, beliau menghormati saya, dan mengharapkan agar saya berperilaku terhormat karena telah menjadi staf senior, yang akan jadi panutan para junior nya.

  9. sebagai pengguna sebaiknya memang memikirkan terlebih dahulu untuk menggunakan kata “aku” atau “saya” dalam suatu percakapan. bahkan terkadang menggunakan nama diri yang cenderung seperti bermanja. mis :”aku sudah sampaikan, Bu”;”saya sudah sampaikan, Bu”;”Didit sudah sampaikan, Bu”.
    tetapi menurut saya, lebih baik kita lebih tepo seliro terhadap orang yang menggunakan kata tersebut, karena kita tidak tau alasan orang tersebut menggunakan kata ganti (aku, saya, nama) untuk dirinya. seperti penggunaan kata “perempuan” yang bagi sebagian orang lebih bermakna dibanding kata “wanita”. terkadang yang kita anggap buruk, bisa saja lebih bermakna dari pada yang kita sangka.

    Nindityo,
    Memang kita harus memahami, tapi sebaiknya juga mendidik dan memberitahu jika seorang bawahan melakukan kesalahan, Penjelasn ini tentunya dilakukan secara terbuka, ramah, sehingga bawahan memahami, mengapa perlu memahami tata bahasa yang halus, terutama jika posisinya sebagai ujung tombak dalam menerima tamu perusahaan. Bukankah image perusahaan juga terlihat dari bagaimana seorang sekretaris menjawab telepon dll.

  10. Jadi kudu pake bahasa Indonesia yang baik dan benar yah?? 😆

    Fish17,
    Tentu tergantung kondisinya, kalau untuk teman-teman sepantaran, ya bebas saja. Jika dalam lingkungan formal, tentu harus bisa memahami tata bahasa yang baik. Dan hal ini berpengaruh pada saat wawancara, siapa yang bisa memberikan jawaban santun, meyakinkan, terarah, akan menarik minat para pewawancara…dibanding dengan seseorang yang menjawab seenaknya, dengan bahasa seperti pada teman sendiri. Dan ini kenyataannya masih terjadi pada ruang-ruang wawancara saat rekruitment.

  11. Saya lebih prefer kata “aku” sebenarnya sebagai pilihan. Karakternya lebih keras dan tegas menunjukkan eksistensi seseorang.

    Cuma, ya itu dia… kesan egoistik-nya terasa.

    Saya sendiri dulu nge-blog nulisnya ‘aku-aku’ begitu. Tapi entah kenapa belakangan jadi pakai saya. Berubah sendiri begitu mulai nanjak umur 😆

    Dikotomi sensitifitas berbahasa mungkin, Bu.

    alex®,
    Penggunaan kata “aku”, “gue”, “saya” pada blog tak ada masalah. Juga kemungkinan jika bekerja pada perusahaan yang budaya kerjanya informal. Tapi jangan gunakan kata aku dan gue, jika anda bekerja pada lembaga keuangan atau institusi yang formal, kecuali untuk percakapan sehari-hari dengan teman akrab.

  12. lebih sering pake nama Bu… kcuali klo bener2 resmi baru pake “saya”, seumur2 jarang banged pake aku kecuali klo disuruh ngarang pas pelajaran Bahasa Indonesia …

    info yg oke buat saya si aldi tea hehehehe

    Aldi,
    Saya ingin tahu, beranikan Aldi menggunakan pake nama, jika sedang memberikan presentasi atau laporan meeting dihadapan General Manager atau BoD?

  13. economatic

    Kata ‘Aku’ sebenarnya menunjukkan ego yang mendalam dan merupakan pernyataan yang sangat pribadi. Kata ‘Saya’ menunjukkan diri sendiri secara umum.
    Salam http://economatic.wordpress.com/

    Economatic,
    Dalam KBBI udah ada penjelasan yang jelas, dan kita tinggal menyesuaikan pada kondisi tertentu

  14. Memang susah…. setiap bahasa merepresentasikan atau mencerminkan budaya bangsa tersebut. Dalam Bahasa Indonesia memang terjadi gradasi dari kasar ke halus baik untuk kata ganti orang pertama (aku, saya), kata ganti orang kedua (kamu, anda, dsb…) juga kata ganti orang ketiga (ia, beliau, dsb..).

    Sedangkan dalam Bahasa Inggris misalnya hampir tidak mengenal istilah halus dan kasar, semuanya sama. Seorang anak misalnya, menyebut “you” (kamu, anda) baik kepada teman mainnya ataupun kepada orang tuanya sendiri! Bahasa Perancis, Jerman dan Spanyol masih mengadakan gradasi untuk kata ganti orang kedua. Bahasa Perancis misalnya: “tu” (untuk “you” umum) dan “vous” (“you” sopan), Bahasa Jerman juga: “du” (“you” umum) dan “Sie” (“you” sopan). Bahasa Spanyol: “tú” (“you” umum) dan “usted” (“you” sopan).

    Namun bahasa2 tersebut juga tidak mengenal gradasi dari kasar ke halus untuk kata ganti orang pertama (aku, saya). Jadi memang setiap bahasa mempunyai ciri tersendiri.

    Tapi, menurut saya, sebagai orang Indonesia dan berada di negara Indonesia kita memang wajib memperhatikan tata kesopanan terutama di lingkungan resmi. Ada baiknya kita memakai “saya” di tempat resmi dan juga kepada orang yang belum kita kenal. Selain mendukung tata nilai kesopanan, penggunaan kata ganti yang tepat di lingkungan dan sikon yang tepat juga mendukung penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar………

    Kang Yari NK,
    Yup setuju….justru kita harus berusaha berbahasa yang baik sesuai situasi dan kondisinya. Dulu, saya paling stres kalau bos mengajak berbahasa Jawa dalam percakapan informal…lha bahasa Jawa saya sulit untuk pake “kromo inggil”, daripada salah mengaku saja, akhirnya beliau menggunakan bahasa Indonesia. Padahal dengan menggunakan bahasa Jawa, menujukkan kedekatan dan perhatian beliau pada saya, dan itu saya hargai.

  15. Wuiiiiihh…
    Kenafa Bahasa komunikasi kok malah BIKIN RIBET kayak SUSUR yah….
    Tujuan penggunaan bahasa kan memiliki tujuan inti bisa berkomunikasi 2 arah yang sama2 bisa dimengerti dan nyambung kedua pihak.
    Masalahnya kita-kita ini dah lama terbiasa dengan budaya ” FEODAL ” kale….

    Jadi mo Kumunikasi saja jadi ribet dan EWUH PEKEWUH.

    dalam lingkungan keluarga saja, terkadang kita dalam berkomunikasi dengan Anak-anak, sudah JAUH BEDA dengan jaman kita dahulu, yang kalau bicara sama Orang yang lebih tua harus PEKE MUNDHUK-MUNDHUK segala. lalu apakah sikap anak-anak jaman sekarang kita anggap gak SOPAN, gak duwe dugo, gak tepo sliro…??.

    @…economatic,..
    Lah..apa bener kata AKU adalah perwujudan sang EGO manusia…?? Standart dari mana yah….?? Parameter yang digunakan apa yah…??

    Santri gundul,
    Tentu saja jika antara orangtua dan anak, tak perlu resmi (lihat KBBI, bisa menggunakan aku…atau nama, untuk anak-anak sekarang).Yang dibahas di atas adalah berbahasa pada situasi formal, di bidang pekerjaan sehari-hari…dan kebetulan saya memberi contoh pada seorang sekretaris, yang sebetulnya mempunayi peran menjaga image perusahaan. Bayangkan kalau kita menelepon, untuk janji ketemu dengan bos si sekretaris, terus dia menjawab..”loe udah janjian belum?” Kan kita yang mendapat jawaban itu bisa kaget.

    Tentu ini berbeda jika sekretaris tadi kawan akrab kita, bahkan kalaupun dia menjawab.”Kon isih urip tah?” …maka kita malah merasa dihargai, karena dia masih ingat kita sebagai kawan akrabnya.

  16. adipati kademangan

    bahasa adalah cerminan dari kepribadian, maka perbakilah bahasa. Orang akan menganggap kita seperti apa yang kita ucapkan.
    Di kantor saja seumpama ada yang bilang begini : “bapak – bapak dan ibu – ibu semua, laporan yang kalian minta sudah aku kerjakan, semuanya ada diatas meja.”

    bagaimana perasaan yang mendengar

    Adipati Kademangan,
    Yup setuju….cara kita berbicara, menggunakan tata bahasa serta cara berpakaian menunjukkan sikap dan kepribadian kita.

  17. Sebetulnya bukan hanya persoalan aku dan saya Bu, saya prihatin juga waktu pertama datang ke Jakarta dan kerap mendengarkan seorang yang lebih junior menyapa/berbicara dengan seniornya dengan penggunaan kata “kamu” yang tidak pas, misalnya;- “Kak bukannya kamu harus menelpon Bapak X?” Sudah pakai “Kak (Kakak)” yang berarti penghargaan terhadap senioritas seseorang tapi masih pula pakai “Kamu” yang berarti kesetaraan dalam pergaulan, kalau orang yang tidak terbiasa bisa-bisa menganggap orang tersebut kurang ajar. Lebih salah kaprah lagi kalau begini,”Kak, gue kan udah ingetin elo buat nelpon Mr. anu.” 🙂 kacau ya….

    Bahasa menunjukkan bangsa, apa ini ada hubungannya dengan situasi negara kita yang kacau sampai orang tidak paham menggunakan bahasa Indonesia yang baik ya Bu?

    Kalau persoalan teman ibu itu saya kira cukup kronis, pasalnya yang mesti diubah adalah kultur di perusahaan itu. Mestinya dimulai dari BOD dibantu HR. Memang untuk berubah tidak mudah, sebagian besar karyawan telah berada di zona comfort, tapi bukan berarti tidak mungkin.

    Jadi teringat sama JS Badudu, sudah lama nggak mendengar usaha pemerintah untuk mengajak orang berbahasa Indonesia yang baik dan benar dan tepat situasi. Apa kita perlu menunggu pemerintah? Basi kali ya Bu, yang penting kan aksinya dan Ibu sudah membuktikannya 🙂

    Yoga,
    Untuk perusahaan besar, para karyawan dilatih sesuai posisinya, baik yang hard kompetensi maupun soft kompetensi. Para sekretais juga mendapat pelatihan yang cukup, baik in house training maupun public training. Namun sebaiknya para senior bisa tetap melatih para junior nya bagaimana cara bersikap yang baik.

    Kadang saya mengelus dada, saat menjadi pewawancara, bagaimana cara anak-anak bersikap, menjawab pertanyaan, dengan bahasa yang kacau balau, padahal IP nya diatas 3,5. Tentu saja mereka menjadi kalah bersaing dengan temannya, yang lebih santun dan komunikasinya lebih baik.

  18. Idealnya memang kalau urusan pekerjaan apalagi dengan atasan sebaiknya menggunakan kata saya. kata aku lebih saya pakai untuk berkomunikasi dengan teman-teman dekat saja.

    Itik kecil,
    Yup setuju…..seperti pepatah…”Masuk kandang kambing mengembik dan masuk kandang harimau mengaum”. Kita memang harus pandai-pandai menyesuaikan diri, diawali dengan cara berbicara yang disesuaikan dengan situasi serta kondisi.

  19. Kalau dikantor, Kata saya, aku, dan gue harus lihat, Umur, Pangkat dan jabatan. Kalo gak bisa di kasih SP bagian HRD lho, hehehehehehe

    Indra1082
    ,
    Yup…betul…..

  20. Untuk saya. Saya lebih suka menggunakan kata saya dimanapun … terutama dengan dosen saya, orang tua saya. Lebih sopan rasanya, sedang kata “aku” sebaliknya.

    Rindu,
    Betul….tak ada salahnya kan menghargai orang lain, karena kita juga akan mendapat penghargaan yang sama.
    Tentu saja dengan kawan akrab kita bebas…..

  21. Yah, zaman memang sudah bergeser, Bu.

    Alangkah baiknya kalau ditegur secara langsung, Bu. Tembak di tempat. Tentunya dengan cara-cara yang sopan. Misalnya dengan mengatakan, “Tolong untuk lebih membiasakan kata ‘saya’ dibandingkan kata ‘aku'”.

    (^_^)v

    Farijs van Java,
    Sayangnya tak semua atasan bertindak seperti itu. Justru itulah bahayanya kalau kita punya bos yang santun, yang mau kasarpun ga tega…..syukur kalau nilai kinerjanya murah,….lha kalau penanya lebih tajam dibanding perkataannya bagaimana? Justru itulah saya menulis posting di atas, untuk mengingatkan adik-adik, untuk mulai berlatih, menggunakan tata bahasa sesuai kondisi…karena saat wawancara saya masih mendengar adik-adik menjawab pertanyaan dengan gaya seperti ngobrol dengan teman. Padahal pelamar berjibun…hasilnya bisa dibayangkan sendiri.

  22. bu enny, agaknya perlu ada diklat khusus ttg etika berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, sebelum seseorang resmi bekerja di sebuah perusahaan, hehehehe 😆 tujuannya, selain utk membangun citra perusahaan yang bersangkutan sebagai perusahaan profesional, juga untuk menegakkan etika dalam ranah komunikasi, baik dengan atasan, sesama karyawan, maupun kepada publik. memang bener sekali, bu. “saya atau aku” memang beda-beda tipis. kita seringkali mencampuradukkan keduanya. padahal, seharusnya dalam situasi resmi, pronomina orang pertama yang tepat itu, “saya”, sedangkan “aku” digunakan dalam situasi non-formal, santai, akrab, dan kekeluargaan.

    Pak Sawali
    ,
    Diklat biasanya dilakukan untuk perusahaan besar…bagi perusahaan yang belum mempunyai pelatihan sendiri, bisa mengirim stafnya ke pelatihan. Pertanyaannya, bagaimana jika perusahaan lebih memilih orang yang sudah jadi, telah berpengalaman? Inilah tantangannya pak, justru saya menulis untuk mengingatkan teman-teman, karena banyak sekali saya lihat pertanyaan untuk masuk ke industri tertentu, tapi dari caranya bertanya pun, saya sudah tak yakin (analisa saya bisa salah). Surat lamaran ternyata juga sangat menentukan, karena pelamar ribuan, maka bahasa yang kurang pas, akan segera disisihkan (ini saya dapatkan dari cerita konsultan yang biasa dimintai tolong perusahaan untuk melakukan rekruitment).

  23. ubadbmarko

    dalam blogku aku pakai “Aku”, jadi gimana ya bu ?

    ubadbmarko,
    Blog berbeda dengan surat kabar, yang dibedakan atas segmen pembaca yang ingin dituju. Bandingkan bahasa yang digunakan oleh Kompas, oleh Suara Rakyat Merdeka dll….hal ini menunjukkan segmen yang mereka tuju berbeda. Seperti penjelasn saya pada komentar sebelumnya, awalnya blog ini juga dibuat untuk segmen tertentu, walau pada akhirnya segmen pembaca melebar…namun jika melihat postingan teratas, ternyata masih sesuai dengan sasaran yang saya tuju.

    Jadi penggunaan kata “saya”, “aku”, “gue” pada blog sah-sah aja….blog anak bungsuku juga menggunakan kata gue, karena segmennya memang hanya untuk teman-temannya.

  24. seharusnya hal tersebut sudah hrus ter switch secara otomatis, jika berada di kantor atau institusi resmi dan lawan bicara siapa. toh bukannya plajaran bhs indonesia semasa sekolah juga menyertakan bagaimana dan untuk siapa penggunaan saya dan aku…tanpa hrus diberitahukan pun klo di kantor praktislah dominan penggunaan saya untuk pimpinan, rekan kerja maupun orang yg lbh tua.

    saya sndiri bu, krena sehari2 berkomunikasi dgn bahsa inggris dgn juragan saya memang tdk terlalu pusing dalam hal saya dan aku, tp stidaknya cukup tahu lah

    Aprikot
    ,
    Penguasaan switch inilah yang harus dipunyai, kapan kita bisa bicara dengan menggunakan “aku”, “saya” atau “gue”. Apalagi kita masih hidup di negara Indonesia.

  25. setuju dg yg diatas! dari awal aku..ups..saya bingung harusnya pake aku, saya, atau gue ya? 😀

    klo pas ceritanya buat seru2an, banyol2an…kata “saya” dlm blogku rasanya kurang pas. Jadi saya pake gue aja meski dalam dunia nyata saya tdk pernah pake “gue”. Pakenya ” I ” atau ” Dalem ” ha3 ;p

    Poppy,
    Penggunaan bahasa yang tepat harus dipelajari mulai sekarang, terutama saat mulai membuat lamaran kerja, dan saat di wawancara. Kemudian jika diterima, juga harus dilihat budaya kerja di perusahaan tersebut, cenderung informal atau konservarif.

    Kalau untuk menulis blog sih tak ada masalah…mau pakai kata apa saja, yang penting tak menyinggung orang lain.

  26. fnoor

    Sejak kecil saya diajarin tatakrama sama orgtua bhw kalau berbicara kepada yg lbh tua maka gunakanlah kata saya krn lbh sopan, sdgkan dgn yg lebih muda “boleh” memakai kata aku. Tapi anak saya sendiri (semuanya) kalau ngomong sama saya selalu pakai aku dan saya tdk mempermasalahkannya. Baru sadar juga nih. 🙂

    Salam kenal ibu krn baru sekali ini mampir ke blog ini.

    Fnoor,
    Salam kenal juga, makasih telah berkunjung.
    Orang tua saya keduanya guru, tapi beliau mendidik anak-anaknya demokratis, akibatnya malah saya tak biasa menggunakan “kromo inggil” (bahasa Jawa halus).
    Namun saya tetap belajar untuk berbahasa sopan, saat bekerja, mengajar dan berhubungan dengan orang lain dilingkungan pekerjaan…namun bisa berubah jika ketemu teman akrab, disini bebas menggunakan model bahasa apapun.

  27. secara umum di indonesia, ‘saya’ memang digunakan untuk situasi resmi atau blm akrab. kata ‘aku’ sifatnya lebih akrab dan santai.

    Zulmasri,
    Yup…setuju…itu pula yang ditulis dalam KBBI

  28. Tapi…, bukankah semuanya memang tergantung konteks, Bu? Saya rasa tak ada yang perlu dirisaukan sejauh hal itu tidak membawa dampak negatif apapun. Plus, itulah uniknya sebuah ‘bahasa’ 🙂

    Salam,

    Esensi,
    Memang tergantung konteknya. Yang saya tulis di atas adalah contoh percakapan seorang sekretaris dengan bosnya….yang tentunya harus menggunakan bahasa formal. Bagaimana jika suatu ketika ada bos dari instansi lain (mis posisi lebih tinggi dari bos sekretaris), dan jawabannya kurang pas…jika yang menilpon termasuk orang yang memahami tak masalah, bagaimana jika hal ini dapat menimbulkan ketidak nyamanan. Sulitnya tak semua orang mudah untuk menegur etika yang kurang pas (budaya kita yang ewuh pakewuh)…namun menjadi penilaian berkurang?

  29. Seperti yang dikatakan Yani NK, memang benar. Karena aku hidup di Perancis, aku hanya bisa komentar bahasa Perancis. Vous= anda (sopan) biasanya digunakan di korespondensi formal atau percakapan yang sangat formal atau dgn orang yang kita tidak kenal/untuk pertama kali.

    Tapi dalam dunia profesional, setelah terjadi deal/kerja sama, kami sering mengunakan kata “tu” = kamu, kepada semua orang termasuk klien.

    Ketika berada di lapangan di Jogja, aku suka dikoreksi dan akhirnya malah dimarahi (gurau) ketika aku bilang “VOUS” kepada klienku Troc d’Ile. Dia bilang kalau susah banget ngajak aku mengucapkan kata “TU”. Tidak hanya dia saja yang menegurku. Sejak itu aku selalu mengatakan “TU” kepada semua klien jika sudah terjadi deal 1 kali.

    Begitu juga anakku selalu mengatakan “tu” untuk semua orang termasuk gurunya, kakek/nenek di sini, teman-temanku. Bahkan memanggilku “Julia”, aku pikir dia punya alasan yang kuat, ketika dia hilang di hypermarket/tempat umum, gampang ketemunya karena dia teriak panggil nama lengkapku (nama kelahiran) sehingga muda ketemunya.

    Tapi sayang bapakku tidak bisa menerima ini. Menurutnya tidak sopan sama sekali memanggil kakeknya dengan nama tanpa diembel-embeli “kakek, eyang, opa” dan “kamu”. Akhirnya dia sendiri yang membuat benteng karena anakku tidak mau lagi bicara dengannya.

    Juliach,
    Memang bahasa mencerminkan buadaya bangsa, justru disini uniknya.
    Saya banyak belajar dari konsultan asing, walau menggunakan bahasa Inggris, pada saat mereka memperesntasikan laporannya, sikap tubuh, dan tata bahasa sangat santun….kelihatannya mereka juga telah belajar memahami budaya kerja di perusahaan Indonesia.

  30. Kalau dalam lingkungan perusahaan tentu “saya” lebih aman karena komunikasinya bersifat antarbadanusaha alias impersonal. Ini bisa dipastikan pilihan terbaik untuk daerah pulau Jawa.

    Nah, kalau dalam hubungan antar individu, penggunaan “saya” adalah satu usaha untuk menyembunyikan sebagian dari totalitas dirinya. Tujuan penggunaannya hampir sama dengan bila orang membahasakan “kita” atau “kami” untuk menyebut dirinya. Satu strategi untuk mengalihkan beban psikologis yang merupakan tanggung jawab pribadi menjadi tanggung jawab bersama.

    Kalau aku dalam banyak kontak personal selalu ber-aku. Itu kuyakini satu cara untuk membangun hubungan yang egeliter, dengan tetap memiliki corak kepribadian yang jelas (tidak ngumpet dalam entitas komunal atau kolektivitas).

    Terlepas dari preferensi masing-masing, artikel ini cukup berhasil membuktikan bahwa topik bahasa pun ternyata diminati oleh blogger, asal disajikan secara komunikatif seperti postingan Ibu.

    Salam Merdeka.

    Robert Manurung,
    Saya termasuk bukan tipe orang yang terlalu memikirkan bagaimana gaya bahasa bawahanku dalam berbicara dengan saya, karena saya termasuk orang yang result oriented. Namun semakin lama saya bergabung dengan perusahaan, bergaul dengan orang-orang dari instansi lain, menjadi tim pewawancara, saya belajar bahwa penggunaan bahasa yang benar sangat berperan dalam peningkatan karir seseorang. Orang asingpun saya lihat ikut menyesuaikan, karena saya banyak bergaul dengan konsultan asing, bagaimana cara mereka bersikap, berperilaku, terutama saat presentasi menyajikan laporannya.

  31. menurut saya, untuk kondisi resmi begitu memang sebaiknya pakai ‘saya’…
    tapi benar juga. mustinya sedari awal dibentuk kultur perusahaan yang menerapkan tata bahasa yang baik dan tepat 🙂

    Wennyaulia,
    Yang penting menyesuaikan dengan lingkungan dimana kita berkomunikasi, dan dalam situasi apa.

  32. mungkin ini ada hubungannya dengan kultur bu. contohnya di keluarga saja, ada anak yang memanggil dirinya “aku” jika berbicara dnegan ortunya. saya pribadi tidak nyaman dengan gaya seperti itu, karena sejak dini dibiasakan menggunakan nama sendiri, tidak aku ato saya. tapi ada beberapa keluarga yang lain, yang nyaman2 saja memakai kata” aku”.

    Cewek tulen,
    Setiap keluarga memang punya budaya sendiri, yang berbeda dan tak bisa diperbandingkan dengan keluarga lain. Justru di KBBI, hubungan antara ortu dan anak, boleh menggunakan kata aku atau saya.
    Masalah baru muncul, dalam hubungan atasan bawahan, dimana seseorang masih mengunakan bahasa sebagaimana saat mengobrol santai dengan kawan akrabnya.

  33. saya juga merasa kata “aku” itu lebih informal, jadi saya cenderung menghindarinya dalam pembicaraan formal. Makanya kadang ngerasa lebih nyaman komunikasi (terutama tertulis) memakai bahasa Inggris, karena gak perlu unggah-ungguh. Coba kalo pake bahasa Jawa, huah lebih banyak lagi unggah-ungguhnya

    Cs UGM 98,
    Syukurlah kita sudah punya bahasa Indonesia, namun bahasa gaul anak muda lebih berkembang. Dan sulitnya bahasa gaul ini menjadi masalah, jika digunakan dibidang pekerjaan, dalam hubungan atasan bawahan.

  34. dalam hal berkomunikasi sebaiknya memang harus bisa menempatkan diri secara baik. memang sedikit merepotkan tetapi begitulah keragaman budaya bahasa indonesia, beda dengan bahasa inggris yang memang sudah baku dari sononya 😀

    Totoks,
    Yah itulah uniknya bahasa….tapi bahasa Inggrispun ada aturannya kan? Bagaimana membuat surat yang formal dsb nya.

  35. saya rasa memang menggunakan kata “saya” akan lebih layak, terutama dalam konteks profesionalitas, ataupun juga berbicara pada orang yang belum kenal dan apalagi dituakan juga punya bobot senioritas… demikianlah kenapa di blog saya menulis juga menggunakan kata saya…

    “aku” buat saya punya bobot keakraban… saya tidak akan pernah ber”aku-aku” pada orang yang baru dikenal, karena rasanya memang bukan pada tempatnya… dan “aku” juga punya nilai manja di dalamnya, sebagaimana seorang yang menyebutkan kata ganti diri dengan namanya, karena biasanya itulah yang dipergunakan di lingkungan rumah, tempat dimana ia pasti menemukan kenyamanan.

    nah… kalau “gue” dan lain lain yang selain saya dan aku, bobot akrabnya lebih tinggi lagi… ^_^

    ah ah ah

    maafkan kesoktauan huhuhu

    Natazya,
    Saya sependapat, justru karena komentar temanku, saya jadi tertarik membahasnya di tulisan…ternyata memang menarik ya. Tentu saja untuk kawan akrab kita bisa ber “kamu” , “loe” dan membahasakan diri sendiri dengan nama atau gue. Lha kebayang kalau ngobrol dengan teman akrab, terus mengatakan “saudara”…lha bisa ditimpuk buku…hehehe.
    Btw makasih kunjungannya.

  36. Tentang sebutan ‘aku’ dan ‘saya’ sudah sangat banyak komentar. Bagaimana dengan sebutan untuk orang kedua? Dulu kita memakai istilah ‘saudara’, tapi sekarang sering dipakai kata ‘anda’. Saya pribadi lebih suka memakai kata ‘anda’, karena terasa lebih menghormati.
    Kepada mahasiswa S1 saya menyebut ‘anda’, dan kepada mahasiswa S2 saya sebut ‘bapak’ atau ‘ibu’ karena mereka sudah lebih dewasa (kecuali mahasiswa fresh graduate yang masih kelihatan imut-imut). Sebagian teman dosen menyebut mahasiswa dengan ‘kamu’, yang menurut saya kok kurang pas. Kepada siswa SMA ke bawah, sebutan ‘kamu’ oleh guru mungkin masih tepat.

    Bagaimana pendapat Bu Edratna?

    Mbak Tuti,
    Saya lupa kapan kata “anda” mulai diperkenalkan, dan rasanya ini lebih nyaman (jadi ingat bos yang suka memanggil saya dengan anda…tapi ada juga yang pakai mbak, bu….hehehe kayaknya suka-suka bos ya). Dan kalau dosen ke mahasiswa sebaiknya menggunakan kata Saudara. Saya kalau mengajar, karena partisipannya para pekerja dan rata-rata kedudukannya sudah manager, saya
    membahasakan dengan bapak/ibu.

    Kalau dari KBBI
    Anda: pronomina persona, untuk menyebut orang kedua secara umum, tidak membedakan tingkat, kedudukan dan umur
    Kamu: 1) kata ganti orang kedua tunggal, 2).kata ganti persona jamak…contoh guru kepada muridnya…”Besok, kamu harus datang jam 7.00 pagi.” (berkamu, memakai kata “kamu” ketika memanggil, menyapa dsb nya) supaya lebih akrab…”biarlah kita berengkau dan berkamu saja, supaya terasa akrab.
    Saudara: 1)sapaan kepada orang yang diajak berbicara (pengganti orang kedua)…2)orang yang segolongan, sepaham, seagama, sederajat dsb nya, kawan, teman…”dalam mengerjakan tugas ini, saya akan dibantu oleh saudara sekampung.”

Tinggalkan komentar