Perlukah budaya perusahaan?

Saat memasuki dunia kerja pertama kali, biasanya kita belajar budaya perusahaan, situasi pekerjaan, sifat2 rekan pekerja dan atasan, biasanya merupakan seorang yang lebih senior dari kita, yang telah lebih dulu bekerja di perusahaan tersebut.

Sebagai contoh adalah lembaga perbankan. Lembaga perbankan dikenal sebagai lembaga yang highly regulated. Mengapa? Karena lembaga perbankan juga merupakan lembaga kepercayaan, karena tugas utamanya sebagai financial intermediary, menyalurkan dana dari unit surplus ke unit deficit. Karena lembaga kepercayaan, kekuatan utama Bank adalah pada tenaga kerjanya, yang harus merupakan orang-orang yang mempunyai integritas tinggi. Dengan demikian, maka unit assessment center, yang berfungsi melakukan penilaian terhadap kemampuan pekerja, merupakan hal yang tak boleh dilupakan. Melalui assessment center, tenaga kerja baru direkrut, dan kesalahan rekrutmen akan berdampak panjang, sepanjang masa kerja pekerja yang bersangkutan.

Bank merupakan perusahaan/lembaga yang highly regulated, terlihat dari banyaknya peraturan yang dikeluarkan untuk mengatur perbankan, baik dari pemerintah (ada lembaga yang khusus mengatur perbankan, yaitu Bank Indonesia) maupun secara internasional. Hal ini disebabkan bahwa risiko lembaga perbankan sangat tinggi, serta bank yang sehat sangat ditentukan oleh kompetensi tenaga kerjanya serta pengelolaan manajemen risiko yang terukur. Sebagaimana dijelaskan oleh Eddie Cade, bahwa agar bank sehat maka perlu mempunyai manajemen risiko yang tertata dengan baik. Dan yang paling utama adalah bank harus mempunyai budaya kerja yang kuat, sehingga seseorang tidak akan merasa nyaman bila tidak mengikuti tata nilai yang ada. Di dalam budaya kerja yang kuat,top management akan mempunyai pemahaman tentang trade off antara risk and reward, konsep expected loss, rate of return yang dipersyaratkan, serta limit pertumbuhan ekonomi yang sustainable bagi perusahaan, dan prinsip portofolio manajemen.

Atasan sebagai tokoh panutan.

Bagaimana cara mengelola budaya perusahaan? Pengelolaan budaya perusahaan yang baik, jika setiap pekerja memahami , dan melaksanakannya, pada kehidupannya sehari-hari, maupun dalam pelaksanaan pekerjaan di kantor. Untuk mendapatkan budaya kerja perusahaan yang baik, maka atasan sebagai tokoh panutan merupakan hal yang tak dapat ditawar lagi. Sebagai pimpinan, maka pimpinan harus menjadi panutan, yang dapat dimulai dari hal-hal sepele, seperti datang paling pagi dan pulang paling lambat.

Atasan harus juga mengasah empati terhadap anak buahnya. Empati sangat diperlukan untuk memahami anak buah, terutama jika kita memahami bahwa manusia adalah unik. Tak ada satupun manusia didunia ini yang mempunyai karakter, sikap dan perilaku yang sama walaupun kembar yang berasal dari satu telur. Dengan memahami karakter masing-masing anak buah, seorang pimpinan akan mampu berkomunikasi, sehingga anak buah tidak merasa seperti diperintah, tetapi akan melakukan pekerjaan dengan senang hati, karena dia juga merasa memiliki perusahaan tersebut, dan berusaha bekerja untuk mencapai tujuan perusahaan. Disini diperlukan kepekaan pimpinan untuk bisa jadi motivator, dan mendorong anak buah bekerja maksimal. Eileen Rahman dan Sylvina Savitri, dalam Kompas tanggal 18 Nopember 2006 hal 57, mengutip pernyataan Albert Mehrabian sbb:

” Di dalam komunikasi, hanya 7% ucapan yang akan diserap oleh penerima berita. Sisanya, yang 93% adalah sinyal non verbal. Artinya, bila tak dibantu emosi, semangat, gerak dan intonasi, maka komunikasi kita tidak efektif.”

Di sini kita memahami, mengapa bisa terjadi perbedaan dalam hasil. Mengapa unit kerja A menjadi lebih baik, lebih solid, dibanding unit kerja lain, karena memperoleh pimpinan yang bisa menjadi motivator bagi anak buahnya.

Dalam bidang perbankan, empati ini sangat penting, karena selain memudahkan komunikasi dengan anak buah (subordinates), dengan peer atau rekan setingkat, maupun dengan atasan, komunikasi ini sangat diperlukan dalam berhubungan dengan nasabah. Karena lembaga perbankan adalah bisnis yang didasarkan atas kepercayaan, maka akan terlihat mengapa nasabah A lebih suka menjadi nasabah pada Bank “Mujur” dibanding menjadi nasabah Bank “Akur”. Hubungan antara nasabah dengan Bank dapat diibaratkan sama seperti hubungan”suami isteri”, dimana masing-masing saling percaya, dan bilamana nasabahnya sakit (usahanya menurun), maka hal ini akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Oleh karena itu masing-masing pihak harus tetap menjaga hubungan tadi agar tercapai sinergi yang positif.

Bagaimana mengelola budaya kerja perusahaan yang tersistem?

Budaya kerja merupakan hal yang tak terlihat, tapi bisa ditunjukkan dari tata nilai, sikap dan perilaku yang berbeda antara pekerja diperusahaan A dengan pekerja perusahaan B. Bagaimana mendorong agar budaya kerja perusahaan ke arah positif, dan bagaimana masing2 orang diperusahaan merasa nyaman, karena tercipta lingkungan yang budaya kerjanya baik? Bagaimana agar suatu budaya kerja perusahaan yang baik, tetap dapat dikelola secara baik, dan tidak terjadi pergeseran2 ke arah yang negatif?

Seperti kita ketahui, unit perusahaan yang terkecil adalah rumah tangga. Suatu rumah tangga yang baik, harus dikelola, agar masing-masing penghuni rumah, baik suami, isteri maupun anak-anak merasa betah tinggal di rumah. Rumah tangga yang baik, juga akan merupakan tempat dimana para anggota keluarga yang mendapat masalah, akan memilih menyelesaikan masalah dengan bantuan anggota keluarga, dibanding dengan mencari penyelesaian masalah diluar rumah yang kadang-kadang malah berakibat tidak baik.

Budaya Indonesia sangat dipengaruhi oleh figur pimpinan, oleh karena itu pengelolaan budaya kerja di perusahaan, harus dimulai dari budaya kerja di unit kerja terkecil di perusahaan tersebut. Di sini diperlukan adanya transparansi, dan rensponsibility yang tinggi dari pimpinan.

Untuk menjaga transparansi ini, maka dalam setiap tahun sekali, setiap unit kerja (entah satu divisi atau satu bagian di perusahaan) dapat disarankan melakukan Forum Komunikasi antar para pekerja. Untuk membuat agar forum ini bermanfaat, di setiap unit kerja dipilih secara transparan siapa yang akan menjadi change agent dan change leader di unit kerja tersebut, yang dipilih secara terbuka setiap tahun sekali secara bergantian. Kemudian dibuat kuestioner, yang dikirim kepada semua anak buah untuk menilai secara terbuka bagaimana sikap dan perilaku pimpinan memimpin unit kerja tersebut, pertanyaan dilakukan dalam amplop terbuka dan amplop tetutup. Selanjutnya ada kuestioner yang dikirim kepada unit kerja lain, baik internal maupun eksternal, untuk menilai kualitas pelayanan unit kerja yang dinilai. Agar hasil tidak terkontaminasi, maka change agent bebas dari campur tangan dalam menilai/mengkonsolidasi hasil kuestioner tersebut. Pada Forum komunikasi, hasil kuestioner tadi didiskusikan secara terbuka antara anak buah dan pimpinan, disini diperlukan seorang pimpinan yang berani menerima kritik, karena kadang-kadang hasil kuestioner sangat subyektif dan mengarah pada penyerangan atau kritik pada individu. Apabila ada hasil yang sangat negatif, maka pimpinan akan menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi, karena kadang2 diperlukan sikap atau putusan yang memang bertujuan untuk kepentingan organisasi. Disini pimpinan juga menjelaskan, bahwa tugas manajemen adalah mendorong dan memotivasi orang yang dipimpinnya untuk mencapai tujuan perusahaan, yang kadang berbeda dengan tujuan seseorang. Dengan komunikasi yang baik, mampu menjelaskan, dan mampu berempati dengan keinginan anak buah, maka setelah terjadi Forum komunikasi yang kedua atau ketiga, maka hasil-hasil yang negatif semakin berkurang. Hal ini disebabkan, pimpinan berusaha sekuatnya untuk mengkomunikasikan kepada segenap jajaran dibawahnya, tentang rencana jangka pendek dan jangka panjang perusahaan, yang apabila berhasil juga akan berakibat pada kenaikan kesejahteraan pekerja.

Dengan Forum Komunikasi seperti ini, yang wajib diikuti oleh seluruh pekerja, maka setiap pekerja diharapkan mampu memahami risiko-risiko yang akan dihadapi perusahaan, apabila tujuan yang telah digariskan perusahaan tidak tercapai. Forum komunikasi ini juga dapat dilakukan antar pimpinan unit kerja, antar senior manager diperusahaan. Forum komunikasi dapat juga menyertakan keluarga dari pekerja, sehingga diharapkan pasangan pekerja memahami situasi dunia kerja pasangannya, yang dapat menumbuhkan iklim positif di rumah tangga pekerja, dan pada gilirannya dapat meningkatkan kinerja pekerja di perusahaan.

4 pemikiran pada “Perlukah budaya perusahaan?

Tinggalkan komentar