Menikmati perjalanan Jakarta-Bandung

Dalam dua minggu terakhir ini saya bolak-balik menikmati perjalanan dari Bandung-Jakarta. Saya perhatikan jalur Cikunir-Cikampek selalu padat, terutama jika banyak truk gandeng yang sedang melewati jalur tersebut. Dan membuat makin padat, jika truk-truk yang tak bisa berkecepatan tinggi tersebut ingin menyalip teman didepannya, sehingga akhirnya jalur paling kiri dan tengah dipenuhi truk gandeng yang tak bisa lari cepat. Perjalanan memang seharusnya dinikmati, apalagi bagi kaum komuter yang selalu melewati jalan ini.

Tak bisa dipungkiri lagi, jalur Jakarta-Cikampek, Cipularang, telah banyak menolong kaum komuter ini, yang pekerjaannya terbagi antara kota Jakarta, Bandung, Tangerang dan sebagainya. Dulu sekali, saat anak-anak masih kecil, suami yang lebih banyak bertugas di Bandung, selalu melalui jalur Puncak jika ingin menengok anak isteri di Jakarta, dan jalan tersebut selalu macet pada akhir pekan, sehingga lama kelamaan hafal sistem buka tutup di daerah Ciawi-Puncak. Saat itu melalui Padalarang belum merupakan pilihan, karena jalanan relatif sepi dan melalui bulak panjang, sehingga jika sendirian agak kawatir. Semakin kesini, jalur Padalarang banyak dinikmati, ditambah makin banyak juga rumah makan yang buka di daerah Padalarang. Dulu, saya suka mampir makan di rumah makan “Abah”, makanan khas Sunda, dan yang membuat kangen adalah sambal mentahnya. Saya sempat ke dapur hanya untuk melihat cara membuat sambal, yang sebetulnya cuma sederhana. Terdiri dari garam, tomat sayur (bukan tomat apel), cabe, bawang merah, gula sedikit, kemudian diuleg. Dan hebatnya, di rumah makan “Abah” ini, nguleg nya di cobek yang terbuat dari tanah. Duhh…saat mencoba sendiri sulit sekali, dan rasanya …jelas sangat jauh dibanding rasa sambal di rumah makan “Abah”. Mungkin itu sebabnya, saya diperbolehkan ke dapur untuk mengintip cara mereka membuat sambal, karena tak mungkin menjadi saingan.

Cerita seru terjadi saat Lebaran tahun 2003, saat itu Cipularang belum dibuka, kami beramai-ramai sekeluarga ditambah keponakan dan adik dari Semarang, serta keluarga Pondok Gede, mampir di rumah makan “Abah”, dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Lama ditunggu, makanan tak keluar-keluar. Akhirnya saya dan keponakan ke dapur…dan rupanya pembeli antri di dapur. Saya tak ketinggalan antri di dapur sambil membawa tempat nasi dari bambu (apa ya namanya…tenong???), dan antri didepan pembuat sambal. Dan akhirnya kami makan hanya pake nasi dan sambal, karena ikan bakarnya baru muncul belakangan. Dan karena lapar, nasi itu licin tandas.

Dibukanya Cipularang membuat saya tak pernah lagi mampir Padalarang, entah seperti apa rumah makan “Abah” sekarang. Perjalanan Jakarta-Bandung melalui Cipularang yang hanya dua jam, apalagi setelah dibukanya Tol Cikunir-Simatupang, membuat perjalanan dari rumah Jakarta ke Bandung semakin dekat, apalagi jika bukan hari akhir pekan. Dan kemarin saya kembali lagi ke Bandung, hari Selasa siang itu perjalanan sangat lancar, entah kenapa tak banyak truk gandeng yang melewati jalur Tol Cikunir-Cikampek, sehingga saya lebih bisa menikmati pemandangan. Melewati Tol Cipularang, menjadi teringat komentar anakku, bahwa Indonesia ini sungguh indah, bahkan sebetulnya lebih indah dari negeri lain yang baru dia kunjungi. Saat itu langit mendung, hujan mulai gerimis, namun pemandangan  di kiri kanan jalan belum tertutup oleh kabut hujan. Jejeran gunung di arah barat jalan Tol terlihat sangat memukau, demikian juga arah kiri jalan Tol.

Jawa Barat ini betul-betul indah, namun hati ini mulai sedih, saat baru mulai masuk ke Tol Cipularang. Dikiri jalan telah mulai terlihat tanah diratakan, dan mulai dibangun bangunan yang mungkin dimaksudkan sebagai rest area. Padahal setelah Padalarang telah ada rest area di kiri kanan jalan Tol. Kenapa ya para investor itu tak menginginkan jalan kiri kanan Tol tetap berupa hamparan hijau, dan kalau mau dijadikan usaha produktif, bisa berupa usaha yang berkaitan dengan pertanian, sehingga pemandangan yang hijau ini masih memukau mata. Rasanya disepanjang jalan Tol telah ada pom bensin, lengkap dengan tempat makan, pada jarak yang dekat, sehingga menurut pengamatan saya sebetulnya tak terlalu banyak pengunjungnya. Tapi, kembali ingat perkataan seorang teman, sepinya suatu usaha tak berarti usaha itu tak laku, jika usaha tersebut masih berjalan dalam jangka waktu cukup lama, dan masih ada sampai saat ini, berarti usaha tersebut memang telah melewati angka Break Even Point (BEP), sehingga layak dilanjutkan. Dan membuat pelaku usaha lain ingin mencoba menikmati kue keuntungan yang serupa.

10 pemikiran pada “Menikmati perjalanan Jakarta-Bandung

  1. Bu, harusnya memang ditegakkan benar-benar soal undang2 yang melindungi lingkungan, kalaupun belum ada ya dibuat yang bagus dan dilaksanakan betul2..

    Pembangunan jalan tol secara langsung memang mendatangkan manfaat banyak sperti yang ibu ceritakan, tapi di sisi lain, secara tak langsung keberadaannya juga turut mematikan hajat hidup orang yang tinggal di pinggir jalan non-tol yang semula biasa laku meski hanya jualan bensin, penganan serta minuman seadanya.. termasuk warung si Abah itu tadi…

    Ya, itulah Don, masalahnya…..harusnya tata ruang jangka panjang itu betul-betul dilaksanakan sehingga semua saling mendapatkan manfaatnya.

  2. selama belum resmi jalur hijau, agaknya jika dirasa akan menguntungkan, investor pasti akan mulai membangun disana.

    Ya, itulah, cara pandang investor akan berbeda dengan cara pandang pemerhati lingkungan.

  3. Saya setuju sekali,kalau memang pinggiran jalan tol itu mau dikembangkan pemda hendaknya bikin aturan yang jelas dan terarah. Kalau lahan pertanian produktif tidak usah diganggu gugat, biarkan apa adanya alami. Masih banyak lahan kritis yang bisa dikembangkan. Kalau perlu bikin usaha yang mendukung pelestarian alam. Go green…

    Betul Alris, semoga ada orang yang berwenang mau memperhatikan masalah ini

  4. sepertinya bisnis rest area sekarang semakin marak, dan saya juga sependapat dengan bu enny soal jalur hijau itu. seharusnya sepanjang jalur tol itu tetap dibiarkan hijau, kalaupun harus ada rest area, tidaklah perlu terlalu banyak. untuk hal ini, memang pemerintahlah yang pegang kendali… semoga pemerintah kita masih dapat diharapkan… *agak pesimis*

    Saya melihat, jalur Jagorawi masih lumayan indah, jalur Tol Cipularang benar-benar indah, namun kawatirnya semakin banyak bangunan yang akan memenuhi kiri kanan jalan Tol.
    Jadi ingat saat awal-awal Tol ke Bandara baru dibuka akhir tahun 80 an, rasanya kalau ke Bandara senang banget melihat pemandangan hutan bakau dikiri kanan, sekarang nyaris cuma tinggal bangunan-bangunan dan kesannya kering.

  5. Yg sudah ada Rencana Tata Ruang dalam bentuk Perda saja masih banyak dilanggar justru oleh pemda sendiri yg ingin pemasukan (PAD) apalagi kalau memang aturannya nggak ada …

    Perjalanan Jkt-Bdg sering saya manfaatkan untuk istirahat alias tidur … hehehe … Kadang sepulang dari Jkt malamnya (asal belum terlalu malam)justru malah lebih seger dari pada hanya di Bandung saja seharian …

    Betul pak, cuma sayang jika pemandangan indah Cipularang saat ini nantinya akan hilang, sebagaimana halnya jalan tol yang lain, yang dipinggir kiri kanannya semakin banyak bangunan.

  6. Ya, rest area di sepanjang jalan tol malah kini dijadikan seperti tempat jalan-jalan ya Bu. Aneka oleh-oleh bisa di dapat, resto cepat saji juga ada, jadi kalo lagi macet bisa berenti makan ato ngopi sambil menunggu jalanan lancar…

    Rest Area memang penting, tapi kalau jarak antara rest area satu dan lainnya terlalu dekat, akan mengurangi keindahan pemandangan hijau dikiri kanan jalan Tol.
    Is, kenapa setiap kali ke blogmu nggak bisa ya

  7. nanaharmanto

    Wah, saya baru sekali lewat Tol Cipularang, itupun ada insiden kecil yang tak mengenakkan hihi..
    Dulu saya ke Bandung dari Jakarta selalu dengan naik kereta api, soalnya nggak punya mobil. naik bus kok males…
    hanya sekali aja lewat tol Cipularang itupun karena dapet tumpangan mobil kawan..

    Sekarang, bis ke arah Bandung-Tasik-Banjar juga lebih suka lewat Cipularang, karena lebih cepat.

  8. Saya jadi penasaran dengan sambal “Abah”, sampai Mbak Enny rela antri di dapur, dan lahap makan cuma dengan sambal doang. Memangnya sambal itu nggak dibuat banyak sekalian, sampai pembeli antri gitu? Saya sebenarnya bukan penggemar sambal, apalagi kalau sambalnya cuma pedes doang, nggak ada rasa lainnya .

    Mbak, nggak sempat motret pemandangan di jalur hijau dan rest area itu ya?

    Kalau dibuat banyak kan nanti basi mbak, dan enaknya kan memang setiap meja diberi satu cobek…
    Enak kok mbak, aku mau nganterin ke Padalarang kalau mau….ada mobil, tapi nggak berani nyetir..hehehe
    Saya hanya memotret lewat hape dari mobil, tapi kayaknya hasil nya nggak layak tayang mbak…alasan memang nggak bisa motret

Tinggalkan komentar