Menunggu itu memang “lelah”

Dalam beberapa bulan ini, saya mondar mandir ke bandara dengan perhatian yang berbeda. Biasanya saya pergi ke bandara karena ada tugas ke luar kota, tanpa diantar dan sampai di bandara segera check in, walau nanti bisa beberapa jam duduk di lounge sambil membaca. Sejak awal Oktober, anak-anakku mulai mempunyai kesibukan di luar kota, sehingga saya dan suami beberapa kali ke bandara mengantar atau menjemput mereka. Dan kota Jakarta yang makin macet ini, semakin tak dapat diperkirakan, sehingga pada akhirnya terpaksa memilih untuk datang lebih awal, walau risikonya lama menunggu di bandara.

Di Bandara: ayah ibu dan anak bungsu

Apa yang paling menyebalkan jika anda di bandara? Jika pergi sendiri, saya jarang mengalami gangguan ini, maklum saja karena langsung masuk ke area check in yang memang steril di luar orang yang tak ada kepentingan untuk bepergian, atau memang petugas bandara. Sambil menunggu anak chek in, karena datangnya kepagian, gangguan orang untuk menawarkan parfum bisa terjadi lebih dari sepuluh kali. Ada yang terang-terang an  ada yang sembunyi-sembunyi. Biasanya cewek, karena cewek biasa membawa tas tangan, kalau bapak-bapak entah kenapa parfumnya disembunyikan dibalik bajunya. Kadang menawarkan arloji. Saya terkadang heran, apa ya ada yang beli, karena harga parfum dan arloji relatif mahal, siapa yang bisa menjamin parfum tadi tak palsu?

Di bandara: si sulung diapit ayah ibu

Dan kemarin, saat mengantar si sulung, kami mencoba makan di lobby bandara, dan dua kali didatangi anak penyemir sepatu. Memang rasanya kasihan, namun di satu sisi, wajah bandara mencerminkan bagaimana wajah bangsa Indonesia dilihat dari turis, apalagi banyak sekali bule yang datang dan pergi silih berganti di terminal dua ini.

Kemarin, saya bersama dan suami sejak jam 7 (tujuh) pagi meninggalkan rumah, untuk menyelesaikan berbagai urusan. Dan agar tak terganggu macet, sejak berangkat koper anakku sudah masuk di dalam mobil, agar nanti tak usah bolak balik ke rumah lagi. Acara terakhir adalah mengurus SIM di Dan Mogot karena  SIM A dan SIM C anakku hilang. Sepanjang tahun 2009, anakku telah kehilangan SIM dua kali, dan bulan Februari 2010 ini untuk pertama kalinya. Memang kalau terlalu capek sebaiknya tidak bepergian, karena pada saat itu kondisi fisik kita kurang memadai, sehingga kurang konsentrasi, dan barang terjatuhpun tak terasa. Saat mengurus SIM, hape anakku terjatuh, syukurlah bapak-bapak yang duduk disebelahnya mengingatkan dia, padahal hape itu baru saja saya berikan sehari sebelumnya dan masih baru. Jika hilang…duhh sedihnya.

Sambil menunggu anak mengurus SIM, saya mencoba beli pecel…hmm ternyata enak sekali, sayang pedas, sehingga saya tak berani makan banyak. Saya juga mencoba rujak manis, yang rasanya memang manis dan segar, lumayan untuk mengurangi pusing karena bosan menunggu. Setelah mengurus SIM selesai, kami mencari tempat fotokopi, disepanjang jalan Dan Mogot, dan baru berhasil mendapatkan tempat fotokopi di depan Kantor Pos Jakarta Barat. Waktu itu masih jam 2 pm, mau kembali ke Cilandak, kawatir nanti jalanan macet sehingga hanya capek yang didapat. Akhirnya diputuskan untuk terus ke bandara. Dan sampai bandara masih sekitar jam 3 pm, saya menyarankan anakku untuk tanya petugas di check in, mungkinkah tiketnya dimajukan, karena jam keberangkatannya masih jam 9 pm, berarti mesti menunggu 6 jam di bandara. Jawabannya bisa, namun harus bayar Rp.350.000,-. Anakku tetap memilih menunggu yang jam 9 malam, dan saya bilang..”Kapan lagi sih nak, bisa mengobrol dengan ibu sepanjang hari, kan kamu sekarang jauh?’ Anakku tersenyum lemah, dia memang terlihat kecapekan, apalagi baru datang ke Jakarta jam 12 malam dan setelah urusan seharian kembali lagi ke Denpasar karena cuti cuma sehari. Saya menawarkan untuk makan, namun dia menggeleng dan bilang masih kenyang.

Bule disebelah tempat kami duduk terlihat nyenyak tidur walau di bangku yang keras. Kepalanya berada dibangku, sedang kakinya diselonjorkan pada troler tempat kopernya diletakkan. Akhirnya anakku ikutan merebahkan badan, walau terlihat tak bisa nyenyak. Saya menawarkan untuk memijat kakinya, dan dia mengangguk. Dia bilang, apa ada yang jual jeruk panas. Waduhh…saya melihat ke kiri kanan, rupanya beberapa kios hanya menyediakan kopi, kue-kue, makanan, namun tak ada jeruk panas. Saya minta tolong si mbak, siapa tahu di terminal kedatangan ada penjual jeruk panas. Tak lama kemudian terlihat si mbak berhasil mendapatkan dua gelas jeruk panas, dan harganya murah, hanya Rp.36 ribu untuk dua gelas, belinya di daerah tempat penjual juice, di terminal keberangkatan. Kondisi anakku semakin membaik setelah minum jeruk hangat, demikian juga suamiku.

Saya berpikir, andaikata di lobby bandara ini ada toko buku yang lengkap, tentu pengantar yang masih harus menunggu lama ini akan senang sekali menghabiskan waktu di toko tersebut, dan bukan tak mungkin akan membeli buku. Kenyataannya, saya hampir selalu membeli buku di bandara, saat menunggu keberangkatan….sayangnya toko buku ini hanya ada di dalam, setelah penumpang check in. Mengapa saya berpikir seperti ini? Saya perhatikan ada beberapa kelompok orang, yang juga menunggu cukup lama, kedatangannya hanya selisih sedikit dengan kedatangan kami, dan sampai saya beranjak pulang, mereka belum juga berangkat. Dan kalau kita perhatikan, kelompok seperti ini akan makin banyak, sejalan dengan kekawatiran kemacetan yang makin sering terjadi di jalan Jakarta-Cengkareng.

Mungkin anda punya pemikiran lain? Bisnis apa yang mungkin bisa laku, selain makanan, dan pakaian, untuk dijual di bandara? Saya ingat saat transit di Singapura, saya dan teman menitip koper di loker, dan kami sempat naik MRT untuk mengunjungi pertokoan di Orchad Road. Beberapa bandara internasional memang bebenah untuk mempercantik dan juga menjaring pengunjung yang transit. Namun untuk pengunjung yang mengantar, terutama di Jakarta, perlu juga dipikirkan agar mereka tak bosan, dan selama menunggu ada transaksi bisnis yang dapat terjadi. Kalau di lobby bandara tak memungkinkan, bisa dibangun di luar area keberangkatan atau kedatangan, namun masih di wilayah bandara. Atau sudah ya, dan saya tidak tahu?

20 pemikiran pada “Menunggu itu memang “lelah”

  1. Bisnis yang laku di bandara adalah bisnis jualan pesawat bu.. jadi kalau pas pesawat telat, kita datang bawa pesawat kita yang tepat waktu hahaha!

    Hmm tapi ada bisnis sampingan lain yang mungkin bisa dikembangkan oleh Angkasapura.
    sama seperti bisnis hotel, jika kamar tak laku kan opportunity hilang. Maka, setiap bisnis hotel mesti ada bisnis tambahan lain, seperti restoran, travel yang menjadi kesatuan untuk mendukung bisnis hotel itu. Dan hotel bagus, jika perbandingan hasil makanan dibanding kamar lebih dari 200 persen

  2. Yang saya bikin ketika menunggu di bandara adalah baca buku atau online, jadi kadang sudah siap2 dari rumah siapin buku utk mengusir kebosanan…

    tapi kadang waktu menunggu itu membuat kita banyak berfikir dan merenung, kadang timbul ide yang luar biasa hebatnya… 😉
    *jadi ingat lagunya Ebbit G Ade, hehe*

    Ya, tapi akan berbeda jika ada toko buku, apalagi kalau dibuat nyaman, sehingga selain bisa membaca kita bisa berinteraksi dengan pengunjung lain

  3. Toko bukunya adanya setelah check-in.. 😀
    Periplus… mana harganya lebih murah daripada Periplus Discovery Kuta pula..

    Iya, kalau langsung check in memang lumayan…tapi masalahnya kan kadang datangnya kepagian, seperti kita lihat juga pada kelompok lain di bandara. Hal tsb karena makin banyak yang kawatir disebabkan kemacetan jalanan Jakarta bertambah parah, dan jika telat datang ke bandara menjadi berabe. Maksudnya toko buku ini ada di lobby tempat pengantar…ini bisa dilihat di bandara lain..ibu pernah jalan-jalan di bandara Hongkong, juga di Kualalumpur (KLIA)…yang mengantar bisa menemani kita jalan-jalan….ada banyak pertokoan, sehingga kalau datang beberapa jam ke bandara pun tak masalah

  4. ide bagus tuh, bu. saya juga selalu berbelanja buku bila sedang transit di bandara, terutama karena banyak buku impor dengan harga terjangkau dijual di sana. tapi memang toko-toko tersebut adanya di dalam terminal setelah penumpang check in, kalau di luar belum ada, ya?

    changi memang bagus dan pelayanannya luar biasa. saya ingat, saat transit di changi para penumpang diberikan fasilitas mengelilingi kota singapura (ada dua rute pilihan) secara gratis. padahal kalau pun hanya berada di dalam bandara tidak bikin bosan juga, karena bandaranya sangat cantik, lengkap seperti mall, dan ada beberapa terminal yang bisa dijelajahi.

    Nahh Marsmallow kan pengalaman melihat bandara di luar negeri, dan kayaknya punya bakat bisnis…tertarik untuk memulai?

  5. sepertinya kalau ada semacam perpustakaan kok malah bagus ya Bun, bisa diisi info-info pariwisata indonesia.. karena intinya kita menghabiskan waktu untuk menunggu, syukur kalau pemda bisa membidik wisatawan yang lagi ngantre

    Ide ini lebih bagus lagi pak…masalahnya pengelola pasti maunya yang sesuatu yang menghasilkan, di satu sisi juga bermanfaat bagi pengunjung

  6. wah cocok tu, kalau ada yang mau bisnis toko buku di bandara, orang sering kelupaan bawa buku bacaan ketika bepergian..padahal ketika menunggu, maka yang paling asyik ya baca…
    atau di ruang keberangkatan penumpang disediakan hotspot area, asyik juga untuk blogwalking

    Di ruang keberangkatan sudah ada hotspot area, namun penumpang harus check in dulu….ini yang dimaksudkan untuk lobby awal…karena saya lihat makin banyak yang datang kepagian, gara-gara Jakarta sering macet, sehingga untuk antisipasi penumpang diantar atau tidak, terpaksa menunggu dulu di lobby karena belum waktunya check in

  7. iya namanya menunggu pasti gak asik. apalagi kalo sendirian. kalo ada temennya sih masih mending ya bisa ngobrol.

    lain kali kudu bawa majalah/bb/laptop kali ya… biar gak bosen nunggunya. 😀

    Iya…mesti bawa majalah atau buku bacaan, masalahnya kadang diperlukan area yang menyenangkan, suasana seperti toko buku Mal (kalau ke toko buku di Mal kan 5 jam pun tak terasa karena asyik dan pasti ada yang dibeli), agar bisa saling menguntungkan.

  8. Kalau di Jepang pasti ada toko kunci koper, obat dan kosmetik… karena kadang ada yang suka lupa bawa kan?

    Satu lagi, semacam tiki, jadi barang tidak perlu di bawa-bawa, bisa langsung kirim ke rumah, sementara kitanya langsung kerja. Sampe di hari yang smaa malamnya. Eh tapi itu di Jepang yang workholic banget sih hehehe. Sampai pagi langsung ngantor 😀

    EM

    Sebetulnya di bandara Soeta juga ada mini market, karena saat lupa bawa masker untuk si bungsu saat keberangkatan tempo hari, saya beli di bandara. Namun masih bisa dikembangkan lagi.

  9. hihihihi bener banget tuh Bun, emang kudu ditunjang fasilitas yang mengenakkan buat nunggu 😛

    Dan kelihatannya makin banyak yang datang kepagian…kalau ngepas, takut malah telat, jalan tak bisa diprediksi

  10. bu, mungkin kalau buat toko buku kombinasi dgn perpus, yg ada sofanya biar bisa selonjoran, ada buku yg bisa dibaca di tempat, kalau tertarik kan bisa dibeli

    Yup…inilah yang saya harapkan…rasanya saya tak pernah tangan kosong deh kalau mampir toko buku

  11. wah, betul, setuju dengan mba monda.. terutama sofa yg buat selonjoran kaki, hihi.. asik banget, santai deh acara menunggunya.. 😉

    Justru mungkin bandara nggak mau ada sofa, ntar makin banyak yang tiduran…
    Kalau di terminal kedatangan, bahkan kursi duduk dari bangku hanya di luar yang gerah tanpa AC..paling tersiksa deh kalau menjemput orang dan lama di bandara…mau bacapun terasa gerah dan bau rokok dimana-mana…yang bikin pusing

  12. Iya bun kalo di lobby bandara limited banget toko2nya…

    Bunda di terminal mana? Kalo terminal 2 (eh kalo Garuda terminal brp bun?) lumayan lengkap toko2 untuk jadi temen sambil nunggu.

    Tapi kalo terminal satunya lagi… selamat deh bun… silahkan manyun…

    Selama ini memang selalu di terminal dua…tapi sekarang juga sudah crowded…dan kayaknya fenomena orang yang datang kepagian makin banyak, karena terkadang ke bandara memerlukan waktu lama, yang dulu bisa dicapai 30 menit di awal tahun 90 an, sekarang paling tidak 2 jam…itupun kalau nggak macet. Kalau dini hari saya baru berani berangkat 3 jam sebelumnya dari rumah Jakarta…saat mengantar si bungsu malah berangkat 7 jam sebelumnya…itupun macet sejak pintu Tol Pondok Gede sampai Slipi yang nyaris menghabiskan 2 jam sendiri.

  13. abughalib

    menunggu memang terkadang bikinn jenuh, tapi bagi org2 cerdas, wkt luang saat menunggu bisa digunakan untuk kegiatan positif seperti baca buku atau kerja pakai laptop.

    kalau di bandara ada kursi pijat untuk refleksi bagus juga kali ya? satu lagi, studio humor yg didesain seperti mini cinema untuk pertunjukan bagi org2 yg butuh hiburan. kan banyak tuh org yg suka stress saat nunggu terlalu lama, hehehe…

    Mudah2an idenya bisa menjadi perhatian pengelola bandara yang bisa menambah pemasukan

  14. Sabtu kemarin di soekarno-hatta : iya Bun, kalau di ruang tunggu sudah ada toko buku-majalah, terus untuk di ruang keberangkatan terminal !A gak ada hotspotnya, makanya saya langsung ingat postingan ini untuk komentar, saya buka laptop…wah gak iso konek

    Betul kan pak…coba bisa langsung konek..bapak tak bosen menunggu

  15. menunggu memang pekerjaan paling membosankan.
    namun, sebenarnya kita semua di sini adalah sedang menunggu.
    salam.

    Yup…menunggu akan selalu merupakan kosa kata sehar-hari….dan kita semua memang sedang menunggu

  16. ada 3 hal Bu Enny….

    1. Saya juga paling males kalau harus menunggu di bandara Suta di area luar lobi check in karena kurang nyaman. Meskipun sudah bawa buku, tapi membaca di area itu tak enak sama sekali, karena banyak gangguan sehingga nggak bisa konsentrasi membaca. Seperti pengalaman Ibu, saya juga sering ditawarin parfum yg dijual sembunyi-sembunyi itu.

    2. Kalau saya punya modal (nyali dan finansial) barangkali saya mau bikin usaha reflexi dan salon di situ deh Bu… 🙂

    3. Benar, menunggu itu melelahkan. Saya pernah belajar meditasi prana selama beberapa waktu. Dari situ saya belajar, bahwa ternyata, saat kita berbaur dengan banyak orang, terutama dengan mereka yang tak punya tujuan jelas a.k.a bingung mau kemana; gelisah, kemrungsung, penuh amarah dsb… energi kita terserap oleh orang-orang dgn energi negatif tersebut.
    Mungkin Ibu pernah mengalami saat jalan-jalan di mall meski hanya 1 jam dan HANYA duduk-duduk, makan, ngobrol; Ibu mungkin merasa capek tanpa alasan jelas; di situ energi kita terserap oleh aneka rupa orang yang-kita-tak-pernah-tau-apa-kepentingannya- di mall itu.
    Menunggu sendirian sudah melelahkan, apalagi di tengah keramaian di mana tanpa kita sadari, mereka telah “mencuri” energi kita.

    salam hangat…

    Pijat refleksi itu yang benar…pas pesawat delay di bandara Juanda, saya sempat pijat refleksi…sambil terkantuk-kantuk. Tapi itu di ruang tunggu yang sedah melalui check in
    Jadi kepengin belajar meditasi prana……
    Memang benar, menunggu bisa dilakukan sambil membaca, asal suasana nyaman dan tenang..ganggauan penjual parfum yang nggak kira-kira membuat kita lelah, setiap kali harus menjawab tidaaak

  17. Mbak Enny, setiap bepergian saya selalu membawa buku di dalam tas, sehingga kalau terpaksa harus menunggu lama, tidak terasa membosankan karena waktu saya terisi dengan membaca.

    Iya mbak, memang selalu ada buku di tas…namun mungkin karena kemarin mengantar anak, dan kepagian…pilihan nya terbatas di lobby untuk pengantar. Untungnya AC dingin, tapi bangkunya keras…mau makan juga pilihan terbatas.
    Biasanya kalau berangkat sendiri, saya segera check in, terus ke toko buku yang di dalam…atau duduk-duduk di lounge sambil membaca dan makan makanan kecil..tak terasa 2-3 jam berlalu.

Tinggalkan komentar