Mengelola Keuangan Rumah Tangga

Mengelola keuangan rumah tangga kelihatannya sepele karena uang yang dikelola relatif sederhana. Namun bertambahnya usia pernikahan, anak-anak makin besar, diperlukan ketrampilan mengelola keuangan, agar orang tua dapat membiayai pendidikan anaknya sampai ke jenjang yang tertinggi. Disadari biaya pendidikan ini sangat mahal, sehingga harus dipersiapakan sejak anak-anak masih kecil. Mengelola keuangan rumah tangga saat ini tentu berbeda dengan zaman tahun 80-90 an, yang saat itu internet masih terbatas, serta fasilitas perbankan juga tidak sebanyak saat ini.

Mengapa saya menulis ini? Awalnya dipicu dari obrolan di meja makan dengan si sulung. Dia bertanya berbagai hal, tentang bagaimana sebaiknya mengelola uang, bagaimana menghadapi teman atau saudara yang meminjam uang, yang akhirnya menjadi semacam ketergantungan. Diakui, di Indonesia ini kita terbiasa tidak hanya memikirkan keluarga batih (terdiri dari ayah ibu dan anak-anak), namun juga extented family,  ialah satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan suatu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas daripada keluarga batih. Susahnya, adalah sering keluarga di luar keluarga batih atau teman ini, begitu mudah meminjam uang, tanpa mengingat untuk mengembalikan. Dan seringnya menjadi ketergantungan. Pada saat kita sedang tidak punya uang, dan tidak memberi pinjaman, sering terlontar kata-kata yang seolah kita tidak memberi perhatian pada teman atau saudara.

Bagaimana cara kita mendidik orang yang sering meminjam?

Pada umumnya, orang yang berani meminjam adalah orang yang hubungannya dengan kita sudah dekat, entah karena pertemanan atau saudara. Masalahnya, kadang-kadang orang ini akan terus menerus meminjam, dan malah kita jadi merasa mendapat kewajiban untuk membantu secara terus menerus, padahal kita sendiri masih banyak kebutuhan. Ditambah kita sendiri punya kewajiban menabung untuk keperluan pendidikan anak.

Jika kita tahu bahwa teman yang suka meminjam tadi adalah ASN atau pegawai dari perusahaan yang cukup besar atau BUMN, maka kita bisa menyarankan agar dia meminjam melalui bank, dengan jaminan SK pegawai. Memang umumnya sulit meyakinkan orang tersebut, alasannya bermacam-macam, malu dan sebagainya. Padahal caranya sangat mudah, dan memang meminjam dari lembaga seperti perbankan atau lembaga keuangan non bank, akan mempunyai konsekuensi langsung, yaitu tidak bisa menolak untuk mengangsur karena angsuran dibayar langsung dengan cara memotong gaji. Nahh mungkin ini yang membuat orang lebih suka meminjam pada teman dan saudara, karena bisa menghindari kewajiban dengan berbagai alasan.

Meminjam uang, sebaiknya dari mana?

a. Meminjam dari bank. Kita mengenal pinjaman produktif dan pinjaman konsumtif. Pinjaman produktif adalah pinjaman yang digunakan untuk mendukung usaha agar lebih maju. Pembayaran pinjaman ini didasarkan oleh cash flow usaha, setelah dipotong dengan biaya produksi sampai menghasilkan barang atau jasa. Bank biasanya meminta agar kita membuat proposal dan proyeksi cash flow usaha untuk bisa memahami berapa sebetulnya keperluan pinjam yang tepat sesuai kebutuhannya.

Sedangkan pinjaman konsumen, cash flow didasarkan atas penghasilan atau gaji, setelah dikurangi biaya hidup, biaya pendidikan anak dan lain-lain. Pada umumnya, bagi orang yang konservatif hanya meminjam sesuai besaran tertentu, agar angsuran yang berasal dari potong gaji tidak melebihi 40 persen.

Jadi, sebetulnya bank atau lembaga keuangan akan melihat cash flow dari peminjam, karena pinjaman hanya bisa dibayar lunas jika cash flownya mencukupi. Selain itu, bank akan meminta agar peminjam memberikan asuransi, yang akan menjamin pinjaman dilunasi oleh perusahaan asuransi jika terjadi musibah yang menyebabkan peminjam berhenti kerja atau meninggal dunia, sehingga tidak dapat melunai usahanya.

Apakah saya sendiri pernah meminjam pinjaman konsumtif ini? Jawaban saya, iya…saya pernah meminjam. Namun saya juga membeli asuransi, sehingga jika terjadi apa-apa terhadap saya pinjaman saya akan lunas, sehingga tidak membebani anak cucu. Mengapa? Jika kita orang yang beragama Islam, maka dalam surat Al Bagarah ayat 282 tertulis:

“Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis menolak menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah ia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau dia sendiri tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila mereka dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidak raguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambilah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian,) maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Dalam suatu tausiah yang dipimpin salah seorang Ustadz saat saya menghadiri pengajian, dijelaskan bahwa jika kita berhutang maka hubungan yang terjadi adalah antara kita, di antara manusia, dan hutang itu harus dibayar. Apabila orang yang berhutang meninggal, maka ahli warisnya wajib membayarnya, agar yang meninggal tidak mempunyai beban lagi. Jika ternyata tidak ada yang mampu membayar, serta yang memberi piutang tidak rela, maka hutang tersebut akan tetap tercatat. Ini yang harus kita perhatikan, mengapa kita harus berpikir jernih dan benar-berhitung pada saat akan berhutang.

Pinjaman on line (Pinjol)

Kehadiran teknologi digital telah mendorong inovasi di berbagai sektor dan industri termasuk pada sektor keuangan. Kondisi ini mendorong hadirnya financial technology (fintech), yang fokus memberikan layanan jasa keuangan yang belum digarap sepenuhnya oleh bank konvensional. Pemberian layanan jasa pinjam uang yang selama ini tidak mampu diakses oleh masyarakat, yang termasuk unbanked atau unbankable, menjadi ceruk yang mudah dimasuki oleh fintech. Muncul fintech pendanaan atau pembiayaan berbasis peer to peer (P2P) lending. Pemberian layanan pinjaman berbasis digital memudahkan akses secara cepat dan murah.Layanan pinjaman yang diberikan bank tradisional umumnya hanya diberikan kepada mereka yang memiliki rekening bank ataupun memiliki instrumen keuangan yang dikeluarkan oleh bank tersebut seperti kartu debit maupun kartu pra bayar lainnya.

Peminjam yang ingin meminjam melalui fintech atau umum dikenal dengan pinjol, sangat mudah karena semua dapat dilakukan hanya melalui handphone. Hal ini memerlukan kedisiplinan peminjam, jangan karena begitu mudahnya, peminjam dapat meminjam di berbagai perusahaan pinjol tanpa memperhatikan kemampuan bayarnya. Ini yang akhir-akhir ini menjadi permasalahan. Di bank telah dikenal adanya SLIK (Sistim Layanan Informasi Keuangan), sehingga bank dapat mengecek apakah calon peminjam juga mempunyai pinjaman di bank lain. Hal ini sebetulnya mengamankan peminjam agar tidak meminjam di luar kemampuan bayarnya. Namun, setahu saya hal ini belum ada dalam pinjaman on line, sehingga sampai saat ini masih ada satu peminjam mempunyai pinjaman di berbagai perusahaan pinjol, yang mengakibatkan gagal bayar. Dan karena perusahaan yang memberikan pinjol menagih dengan melalui debt collecteor, urusannya menjadi runyam.

Jadi, apa yang sebaiknya kita perhatikan dalam mengelola keuangan rumah tangga?

  1. Buat anggaran bulanan serta satu tahun. Disini kita akan mengetahui apa saja yang akan kita terima, dan pengeluaran apa saja. Kemudian analisis dan teliti, pisahkan yang prioritas dan tidak. Ingat, kita hanya mengeluarkan uang sesuai kebutuhan, namun bukan karena keinginan. Mengapa perlu anggaran satu tahun? Karena pengeluaran setiap bulan tidak sama. Ada bulan dimana kita harus mengeluarkan untuk perpanjangan STNK, membayar uang sekolah, atau kuliah anak.
  2. Dalam keadaan terpaksa karena harus mengeluarkan uang untuk skala prioritas, pikirkan akan meminjam dari mana? Pinjaman ini juga harus dihitung berapa maksimal yang memungkinkan kita akan mencicil angsurannya, agar kita masih tetap hidup tenang dan tidak dikejar oleh hutang.
  3. Diskusi dengan pasangan. Jika pasangan kita pintar dan ketat dalam menggunakan uang, maka sebaiknya kendali keuangan dipegang oleh pasangan yang bisa berlaku ketat ini. Bagaimana mengendalikan teman atau saudara yang mau pinjam? Saya ingat petuah orang tua. “Meminjamkan uang pada teman atau saudara bisa membuat kehilangan teman atau saudara tersebut. Pinjamkan hanya sebatas kamu rela jika tidak akan dibayar kembali, anggap sedekah. Jika teman atau saudara meminjam dalam skala besar dan kita tidak mempunyai uang, jelaskan dengan baik dan tegas, bahwa kita tidak mempunyai uang sebesar itu. Arahkan teman dapat meminjam kepada bank jika dia mempunyai gaji tetap, karena bank dapat meminjamkan dalam jangka menengah (sampai dengan tiga tahun) sehingga angsuran tidak terlalu membebani.”

Tinggalkan komentar