Unit Gawat Darurat, yang benar-benar gawat darurat

Pernahkah anda pergi ke UGD, mengantar saudara, teman, atau anda sendiri yang sedang sakit mendadak? Tentu tak ada siapapun yang ingin sakit, apalagi sampai diantar atau mengantar ke Unit Gawat Darurat. Pengalamanan pertama saya berhubungan dengan UGD adalah saat teman sekamar di asrama putri sakit usus buntu. Beberapa hari dia merasa perutnya sakit, setelah dibawa ke dokter diagnosa nya sakit lambung (maag). Tengah malam dia sudah nggak tahan, kesakitan…kami, penghuni asrama putri di Bogor rame-rame mengantar ke RS PMI Bogor dengan mencarter bemo. Bisa dibayangkan malam itu, para pengantar dan yang sakit rata-rata pakai daster (pakaian tidur), ada yang sempat pakai jaket, ada yang masih pake baju tidur menerawang (yang langsung dipinjami jaket oleh teman lain), ada yang masih pakai rol-rol an rambut. Tentu saja RS PMI Bogor langsung heboh diserbu para cewek.

Pengalaman selanjutnya setelah menikah, mengantar suami yang sesak nafas ke UGD di RSCM, setelah diperiksa ternyata harus dirawat….dan RSCM penuh sesak, sehingga disarankan ke rumah sakit lain. Saat itu tahun 82, belum ada kartu kredit, dan buku tabungan hanya bisa diambil sebulan dua kali, padahal harus membayar uang muka. Syukurlah RS Jakarta mau menerima pasien tanpa uang muka, dan saya berjanji besok akan melunasi uang muka itu. Perkenalan selanjutnya saat si bungsu yang masih SD, jatuh dan kena bangku, bibirnya sobek dan berdarah. Saya yang masih di kantor ditelepon, langsung panik melihat anak yang berdarah-darah. Saya langsung ke UGD RS Pertamina, begitu masuk ke halaman rumah sakit saya langsung loncat sambil menggendong si bungsu, syukurlah petugasnya sigap, langsung membawa kereta dorong dan si bungsu ditidurkan disitu. Rupanya suami kesulitan cari tempat parkir, jadi terlambat masuk UGD. Bibir si bungsu dijahit, saya kawatir sekali apalagi dia anak perempuan, kawatir kalau berbekas. Dua hari kemudian saya cari dokter bedah kosmetik di daerah Jakarta Selatan, yang praktek persis di depan RS Fatmawati. Menurut dokter, saat ke UGD seharusnya saya langsung minta dijahit oleh dokter bedah kosmetik, beliau tak tahu kondisi rumah sakit lain, tapi saya dipesan, setelah tahu rumah saya dekat RS Fatmawati, bahwa di UGD RS Fatmawati selalu siap dokter spesialis dan bisa ditelpon dalam keadaan darurat, termasuk dokter bedah kosmetik. Syukurlah bibir si bungsu hanya membekas sedikit, sehingga tak perlu operasi kosmetik untuk memperbaikinya.

Paling berkesan dan bikin menguras emosi adalah  UDG nya RS** , saya  week end kemarin menunggu suami di UGD. Saat itu, ketegangan baru saja reda karena adik bungsuku yang baru operasi jantung di RS Harkit sudah dipindah ke ruang intermediate, dan hari Minggu diperkirakan akan bisa pindah ke ruang perawatan. Sabtu pagi, suami sms dari Bandung kalau dia sedang di UGD RS Muhamadyah (RS M), Bandung. “Ada apa, siapa yang sakit,” tanya saya lewat telepon. Rupanya suami saya terserang vertigo, pusing dan pandangan berputar, serta muntah. Setelah di UGD RS M, sempat muntah sekali lagi, dan setelah itu penglihatan terasa terang, akibatnya suami tak mau dirawat di sana. Saya kawatir dan bingung, jadi saya segera pamitan dari RS Harkit, siap-siap jika harus pergi ke Bandung, tapi suami menjamin kalau sudah sembuh. Saya yang memang lelah banget, memanfaatkan waktu untuk tidur siang. Malam hari suami sms kalau dia terserang vertigo lagi, dan ingin ke Jakarta, agar kalau sakit ada saya. Jadilah malam itu suami ditemani si mbak yang bisa nyopir sampai Jakarta jam 23.15 wib, langsung menjemput saya untuk diajak ke RS**, rumah sakit tertua dan terbesar di Indonesia. Awalnya ingin ke RS** Kencana, yang masih baru dan untuk eksekutif, tapi saya berpikir pasti tak dijamin oleh ASKES, dan jika diminta uang jaminan malam itu juga agak repot. Kami baru sekali ke RS** Kencana untuk konsultasi ke dokter ahli, setelah itu belum pernah ke sana lagi.

Memasuki halaman parkir RS** yang biasa penuh, terlihat lengang karena memang tengah malam, kami langsung menuju ke UGD. Memasuki UGD, dokter yang berpakaian putih-putih menanyakan sakit apa, dan segera memerintahkan untuk membawa kursi dorong. Setelah saya menjelaskan apa yang dirasakan suami, beserta riwayat kesehatannya, apa yang saya kawatirkan (stroke ringan, diabetes, tekanan darah tinggi dll), saya mengatakan bagaimana jika suami saya dirawat di RS** ini agar bisa dimonitor dan diketahui apa saja permasalahannya. Dokter jaga setuju, dan mengatakan..”Bu, harus dimonitor di UGD dulu, kami tak bisa melepas langsung ke ruang perawatan, kawatir terjadi apa-apa. DI UGD ini dokter siap 24 jam, dan di cek terus-menerus, setelah stabil, mudah2an besok pagi sudah bisa dipindah ke ruang perawatan.

Saya setuju, jadilah saya memperhatikan isi ruang UGD itu yang benar-benar dalam keadaan darurat. RS** sedang merehabilitasi gedungnya, termasuk UGD, sehingga saat ini UGD diletakkan di ruang yang sempit dan panas (AC sudah tak terasa), dengan bau yang bermacam-macam, maklum semua orang yang sakit kesini dulu. Dokter muda itu cekatan, suami diberi infus Na Cl, diperiksa tekanan darahnya, disuruh menggerak-gerakkan tangannya, disuruh minum untuk mengecek tersedak atau bukan. Mereka masih muda-muda, saya tanya mereka masuk UI tahun berapa, jawabannya bermacam-macam, ada tahun 2007, 2009, 2010 ….waduhh, masih dibawah si bungsu. Rupanya mereka tahu saya kawatir, langsung bertanya…”Ibu seorang dokter ya?” Saya menjawab, tidak. “Kalau begitu ada putranya atau suami yang sakit ini dokter?” Saya jawab lagi, tidak. Dia menunjukkan raut tak percaya, entah kenapa kok punya pemikiran saya seorang dokter, atau karena saya banyak bertanya, dan ikut-ikutan melihat hasil CT Scan.….hahaha. Sebenarnya mereka sopan dan baik, semua dicatat dalam buku besar, yang nanti akan dilaporkan pada dokter saat kunjungan untuk laporan status pasien. Jadilah malam itu, saya mondar mandir menemani ke CT Scan, ke radiolog, menjawab pertanyaan yang rasanya tak ada habis-habis nya. Saya akhirnya bilang..“Mas, tanyanya yang terorganisir dong, saya udah mau pingsan nih…apalagi bau darah seperti ini.” Maklum, namanya gawat darurat, pasien yang masuk punya riwayat kesehatan bermacam-macam, ada dari kecelakaan sepeda motor, ada yang jatuh dari mobil, ada yang sesak nafas, ada juga yang tawuran. Dokter yang saya panggil mas hanya tersenyum, “Ibu lelah ya, biar mbak yang menemani, ibu minum aja dulu di kantin.”

Paginya, si mbak menelpon, kalau ada dokter yang visit ke UGD, dan benar..suami saya dikerumuni seorang dokter senior dan lebih dari lima dokter yunior (atau belum dokter ya). Semua memegang buku besar penuh catatan, dan begitu mas dokter yang merawat suami menjelaskan keadaan suami dan dugaan diagnosanya, dokter senior mengangguk-angguk, menyetujui diagnosanya. Si mas ini berbalik badan, menunjukkan jempolnya ke saya sambil tersenyum lebar…jika saat itu saya tak lelah, dan sebal karena bau anyir, saya pasti udah tak bisa menahan ketawa. Betapa mudanya dia, mungkin masih seumuran si bungsu. Setelah itu terjadi pergantian dokter jaga, kali ini si mas yang murah senyum akan digantikan oleh dokter muda cewek. Saya masih setia menjawab pertanyaan yang kemudian ditulis dibukunya. Saya kemudian pergi ke kantin, memaksa diri makan bubur ayam dan minum segelas teh panas manis. Kemudian saya kembali ke UGD dan minta si mbak untuk gantian makan.

Saya menunggu, dan menunggu…jam sudah menunjukkan jam 9 pagi..kok nggak di panggil dan dipindah ya. Saya datangi dokter muda N, yang menggantikan si mas tadi malam. Ehh..dia tanya lagi secara detail, apa obatnya, bagaimana kejadiannya, untuk melengkapi catetannya. Saya yang sudah lelah setengah mati dan telah menjawab pertanyaan yang sama ketiga kalinya, meledak dan marah. “Lho, si mas AR dan Nn tak memberikan catetannya to? Jadi ngapain aja, kami ini sudah lelah setengah mati. Saya tahu bagi anda ini situasi belajar, tapi lihat dong kami sudah lelah sekali, berdiri terus di ruangan yang sumpeg dan bau anyir ini, tak ada kursi satupun yang bisa diduduki. Bisa-bisa yang mengantar ikut pingsan.” Mbak Dokter kaget, terus bilang kalau catatan rekan sejawatnya ada yang belum lengkap. Ganti saya marah..”Lha anda sistem prosedurnya bagaimana, mestinya ada sistem prosedur baku, jadi yang ditanya ada panduannya, jangan diulang-ulang dong.” Terus saya pergi saja daripada makin marah. Saya duduk-duduk di bangku taman, rasanya sudah ingin menangis. Andai tak dibawa ke UGD, saya juga tak bisa tidur, dibawa ke UGD, saya sudah lelah setengah mati…bayangkan sudah nyaris 10 jam saya di UGD belum tahu kapan pindah ke ruangan.

Akhirnya, saya boleh pesan kamar untuk perawatan, dan syukurlah masih ada ruang yang kosong, dan hanya satu-satu nya. Rasanya legaa….melihat gedung A, tempat ruang rawat yang adem dan bersih. Rupanya penderitaan saya belum berakhir, begitu balik lagi ke UGD, suami saya sedang di cek dokter muda THT…ditanya lagi macam-macam. Bisa dibayangkan betapa saya akhirnya meledak, saya sudah tak bisa marah, suaraku penuh campuran emosi dan tangis. “Mas, tak bisakah anda punya sedikiiit aja empati untuk kami….tolong dong perbaiki prosedur di UGD ini…Jangan kami terus ditanya berulang-ulang tak jelas seperti ini. Biarkan sekarang masuk ruang perawatan, dokter THT bisa menunggu kan, atau bisa saja di ruang perawatan nantinya.” Si mas dokter memahami, dia terlihat tak enak banget, dan mengatakan..“Baik bu, nanti biar dilanjutkan di ruang perawatan.

Suami akhirnya masuk ruang perawatan jam 11.30 wib hari minggu, setelah 11,5   jam di UGD…rasaya legaaa sekali. Kamar perawatan berisi dua bed, dua televisi dan satu kamar mandi. Wahh sayang tak sempat memotret, karena saya sudah terlalu lelah. Setiap kamar ada nama penanggung jawab yang ditempel di pintu, ada dokter jaga, suster kepala dan juga perawat yang bertanggung jawab di kamar ini. Dokter jaga memeriksa suami, memperkenalkan diri, kemudian bertanya, suami menginginkan dokter saraf (untuk stroke nya) siapa, juga dokter jantung dan THT. Saya tenang, karena RS** ini melakukan perawatan secara komprehensip. Lega rasanya, tapi kenapa mesti melalui situasi UGD yang benar-benar melelahkan itu?

Saat makan siang di cafe yang bersih (seperti bumi dan langit dibandingkan kantin di dekat UGD), saya duduk menikmati nasi gudeg dan teh manis panas, serta pesan nasi ayam kremes untuk si mbak yang jaga di kamar suami. Tak lama ada tiga perempuan sebaya, salah satunya berpakaian dokter menuju tempat duduk saya, menanyakan apakah bisa bergabung. Saya tak keberatan, dan langsung ikut terlibat obrolan seru. Kami berbagi cerita, dan dokter Hani (?) mohon maaf kalau fasilitas UGD memang benar-benar gawat dan darurat, dalam arti tempatnya tak memadai. Mudah-mudah an bulan Maret sudah bisa pindah di tempat baru yang lebih manusiawi. Setelah saya cerita, tentang bagaimana saya ditanya berulang-ulang, dia bilang, “ibu berhak protes, mereka memang sedang mengambil spesialis, tapi mereka berhak menghormati keluarga pasien yang sudah lelah. Terimakasih masukannya, kami memang sedang bebenah bu, agar menjadi rumah sakit yang lebih layak.” Setelah mendengar ceritaku, bahwa adikku sedang dirawat di RS Harkit,  dokter Hani bilang, RS Harkit prosedurnya ketat, lebih fokus karena yang datang memang khusus untuk penyakit jantung. Aturan bagi para dokter dan perawat ketat, karena jika terjadi sesuatu tak boleh berpikir lebih dari satu detik untuk memutuskan, karena menyangkut hidup dan mati. Di RS** ini, masih tercampur, ini masalahnya, sehingga UGD menampung segala jenis penyakit. Dan dokter tak berani melepas pasien (pulang atau dirawat) sebelum dicek kondisi nya stabil, maklum kalau di ruang perawatan kan hanya saat dokter kunjungan yang memeriksanya, dan sesekali oleh perawat. Jadi mohon dimaklumi ya bu. Saya senang mendengarnya, saya tahu, mungkin saya emosi karena terlalu lelah berjaga 2 minggu berturut-turut saat di RS Harkit, apalagi adikku sempat mengalami masa kritis yang membuat kami tak tidur dua hari berturut-turut.

Keluar dari kantin, saya tak melihat ada tangga menurun, atau memang saya sudah terlalu lelah.. tahu-tahu saya sudah jatuh tertelungkup dan sayup-sayup mendengar teriakan orang dan tiga dokter berlari mendekat. Pantat dan lututku sakit sekali, betisku berdarah…Ya Allah, teh panas untuk mbak berceceran, rupanya saya sempat limbung tadi.  Oleh dokter saya disuruh duduk dulu di susuran tangga menenangkan diri, setelah dicek, hanya luka lecet sedikit. Saya tertatih-tatih bangun, dan pergi ke ruang perawatan di lantai 5. Ternyata betisku berdarah, syukurlah saya selalu siap band aid, jadi bisa langsung ditutup. Malam itu begitu turun dari taksi, si mbak di rumah langsung bilang..”Ibu langsung aja ke Haji Naim, takutnya ada yang keseleo.” Saya malas, rasanya cuma ingin mandi air panas, dan langsung tidur, tapi si mbak memaksa, dia takut kalau saya jatuh sakit. Akhirnya saya pergi ke Haji Naim, dipijat sambil mengaduh-aduh, syukurlah tak parah, tapi tetap aja saat untuk duduk pas sholat sakit sekali.

Malamnya suami menelepon kalau dia mau pulang aja, karena sudah enakan. Aduhh duhh….ini bagaimana sih, kenapa nggak tunggu sampai besok aja. Tapi saya memahami, biar kamar perawatan enak kayak apapun, tetap lebih enak tidur di rumah yang sederhana. Jadilah malam itu suami pulang ke rumah, yang lain bisa dilakukan dengan rawat jalan. Ahh betapa indahnya sehat….saya merasa badanku babak belur pagi ini, tapi harus bekerja. Mohon doanya agar semua baik-baik aja.

 

32 pemikiran pada “Unit Gawat Darurat, yang benar-benar gawat darurat

  1. Ah ibu terlalu capek…sampai limbung begitu. Bawa dan isap permen atau coklat bu. Semoga ibu sudah bisa istirahat ya. Semoga bapak juga sudah menjadi lebih sehat
    EM

    Benar EM, kayaknya memang kecapekan..lha sadar-sadar udah dikerubuti tiga dokter, nggak tahu bagaimana kejadiannya….

  2. ya ampun bu… iya itu ibu pasti kecapean…
    harus banyak istirahat ya bu… dan moga2 bapak juga segera pulih… 😀

    saya punya pengalaman bawa esther ke UGD, pake ambulans pula. gara2 nya tengah malem dia kebangun tapi gak bisa gerak, gak bisa ngomong pula. sampe serem banget.
    tapi akhirnya setelah rangkaian segala macem tes termasuk mri, semuanya baik2 aja. jadi kemungkinannya either kecapean atau panic attack aja.

    Suami sudah boleh pulang, tapi masih harus cek MRI dan Echo…
    Vertigo yang dikawatirkan dari syaraf, ternyata bukan….

  3. Membaca tulisan Bu Enny yang satu ini, saya bisa merasakan apa yang bu Enny rasa. Entah kenapa ya Bu, kalo sudah berurusan sama rumah sakit itu bawaannya ada aura-aura bete, pengen cepet pergi dari situ hehehehe. Saya saja yang hanya menunggui ibu saya di rumah sakit hingga sekarang masih trauma kalau harus berkunjung ke rumah sakit.. Apalagi Ibu yang harus kesana kemari

    Benar Momo, namun kadang hal itu tak bisa dihindari…..
    Sehat memang mahal harganya ya

  4. Saya pernah Bu melihat langsung orang meregang nyawa di UGD RS Persahabatan! Waktu itu langsung saya posting tulisan ini: Live Report: Aura K.

    Seram sekali. Betapa kematian sangat dekat dengan kita. Maka saya ingat bahwa betapa Allah jauh lebih dekat daripada urat leher kita…

    Terus terang saya tidak suka dengan rumah sakit, lebih-lebih UGD-nya.

    Kita semua berharap selalu sehat, ya Farisj?
    Tapi saya salut dengan pengabdian para dokter itu…tanpa mereka tak terbayangkan bagaimana jika kita jatuh sakit. Hanya melihat orang berdarah-darah, saya sudah mau pingsan.

  5. Aduh.. sampai dibawa ke Haji Naim? Parah sekali kah?

    Lumayan, ada yang keseleo…sekarang tinggal njarem (apa ya bahasa Indonesia nya), terutama jika dipakai sujud saat sholat.

  6. Semoga sekarang kondisi ibu & bapak sudah sehat kembali… Dalam keadaan lelah fisik, lelah batin juga mudah terjadi ya bu…

    Iya Mechta, dan saya memang dulu mudah pingsan kalau tekanan darah drop….tapi udah lama tak merasakan itu.
    Kemarin mungkin sangat lelah…tak sempat istirahat.

  7. Beberapa kali sempat berkunjung ke rumah sakit itu, dan saya pun merasakan kalau RS itu sangat kumuh, apalagi UGD nya. Entahlah kalau betul akan dipindahkan ke lokasi yang lebih representatif, tapi jika tidak kayaknya mending ga usah ke sana deh. Saya dari dulu, wlo tau RS itu bagus karena banyak dokter pinternya, tapi kalau bisa menemui dokter tsb di RS lain, mendingan ke RS lain deh. Abis ga sanggup liat pemandangan di sana, apalagi yang kelas super ekonomi, duh …. yang datangnya masih sehat, langsung rasanya mau pingsan.

    Ibu jaga kesehatan yah, apalagi Bapak tidak lebih fit dari Ibu, jadi ibu kan harus siaga, semoga Tuhan selalu menjaga Ibu dan Bapak yah 🙂

    Rumah Sakit ini sedang pembenahan besar-besar an…namanya juga RS umum, dari segala penjuru datang dengan berbagai keluhan. Tentu beda dengan RS swasta atau RS yang khusus seperti RS Harapan Kita yang khusus untuk jantung.
    Tapi disatu sisi saya puas terhadap pelayanan dokternya, mereka merawat dengan sungguh-sungguh, memonitor minimal setiap 30 menit (selama di UGD), pasien baru dilepas (pulang.dirawat inap) jika semua telah stabil.

    Ruang perawatan beda sekali dengan dulu, zaman ibu mertua saya di rawat di RS ini..sekarang gedung A terlihat bersih, dapat dicapai melalui jalan Kimia, mendapat parkir gratis selama tiga hari, dan makanannya enak (kata yang sakit lho…saya belum pernah melihat suami makan lahap makanan rumah sakit, seperti itu). Dokter juga secara komprehensip dalam mendiagnosa penyakit, sehingga dapat dicari akar masalahnya.

  8. Masya Allah, Bu.. rasanya saya ikut2an lelah saat membaca tulisan Ibu. Puluhan jam tanpa istirahat yang berarti, pasti sangat melelahkan lahir dan bathin ya…
    Semoga ibu sekeluarga kembali pulih dan sehat lagi…

  9. Aku sedih baca ini..
    Udh gimana keadaan bunda and bapak bun?
    semog baik2 yah…
    Sptnya bunda kecapean yah, sampe terjatuh begitu…

    Soal UGD.. ah sakit hati bun liatnya.. tapi untuk saat ini selain complain apa lagi yg bs kita buat ya bun…keadaannya memang mengenaskan

  10. Wah Bu, kupikir ini awalnya postingan tentang Adik ibu tapi ternyata tentang Bapak..
    Wah semoga cepat sembuh ya, Bu..

    Jangan terlalu lelah, Bu…

  11. semoga bu enny sekarang lebih sehat ya. begitu pula dengan bapak, semoga sudah benar2 pulih. memang mengurus orang sakit itu melelahkan. untung pula ibu punya si mbak yg bisa diandalkan, jadi pasti banyak membantu ya?

    saya pernah ke UGD. waktu itu saya masih di jogja. ketika itu saya yg sakit. diare agak parah. saya minta diantar ke panti rapih, karena saya rasanya cuma percaya ke rs swasta. perawatnya baik dan ramah. dan saya juga segera mendapat ruang perawatan. tapi kalau disuruh milih, saya milih nggak sakit hehe

  12. Memang sehat itu indah ya, Bu.
    Saya belum pernah sih masuk UGD. Untunglah waktu anak saya sakit dulu dan harus masuk RS juga masih tahap observasi jadi langsung opname tp bukan di UGD. Saat pindah RS karena RS lama tidak ada kemajuan, baru masuk IGD, dicek ini itu, padahal sebenarnya sudah agak lumayan….

    Ah takut deh klo harus masuk UGD bu. Inginnya sih kalau ada apa2 ya sakit biasa saja….

  13. Bagaimana kabar bapak sekarang, Mbak? Semoga sudah semakin sehat ya. Kakak saya kalau pas terserang vertigo juga sudah nggak bisa apa-apa lagi, terkapar saja di tempat tidur.

    Menjaga keluarga yang sakit memang melelahkan, oleh karena itu harus pandai-pandai menjaga kesehatan diri sendiri, agar tidak ikut jatuh sakit. Menunggu di rumah sakit, meskipun sepertinya tidak melakukan apa-apa, cuma duduk-duduk saja, tapi secara mental melelahkan.

    Semoga Mbak Enny sekeluarga selalu dikaruniai kesehatan. Amin …

  14. Waahh…Ibu sampai kecapekan begitu…semoga sekarang sudah pulih ya Bu… begitupun dengan Bapak dan adiknya Ibu Enny..

    Saya bisa mengerti apa yang Ibu rasakan… panik, lelah, kuatir, takut.. ah ya, di saat seperti itu kita (keluarga pasien) lebih membutuhkan sentuhan dan sapaan yang menentramkan dan keyakinan bahwa keluarga kita ditangani oleh dokter yang tepat..

    Saya pernah masuk UGD setidaknya 2 kali.. dan memang di sana rasanya nggak karuan. untuk urusan Rumah sakit, saya lebih nyaman berobat di RS yang berkualitas dan humanis.
    Saya menghindari RSUD, karena pengalaman nggak enak, juga RSUP karena banyak calon dokter yang sedang ko-as disana.

    Saya mencoba untuk mendukung ilmu sains dan kesehatan di Indonesia, tapi dalam hal seandainya saya sakit, saya benar-benar tidak mau dijadikan “kasus studi” dan “kelinci percobaan”.. saya lebih merasa nyaman di tangan seorang dokter, daripada “dikeroyok” dokter-dokter muda yang menjadikan saya sebagai kasus studi mereka.

    Semoga semua baik-baik saja ya Bu…

    salam hangat…

  15. hm…
    berasa berlari saya baca postingan Bunda enny..
    tapi segala sesuatunya sudah baik2 aja kan?
    semoga Bnda dan keluarga sehat selalu.. amin.

    bicara soal UGD, saya pernah Bunda..
    ada 2 pengalaman yang nggak ngenakin..

    1. saat saya nge-flek dan berujung keguguran.. sedih kalo inget. tapi apapun kejadiannya, saya yakin itu yg terbaik dari Allah.
    2. saat tiba2 perut saya (pencernaan) sakit sekali… ternyta saya terkena maag. pada saat yang bersamaan, di sebelah saya ada korban kecelakaan. mungkin karena kesaikitan, orang itu berteriak2.. sayangnya bukannya berdoa tapi malah -maaf- misuh2 gak karuan, kebun binatang keluar semua…. masya Allah. sampe para petugas RS nya agak kurang nyaman dengan kata2 si pasien itu.

  16. Selamat pagi mbak Ratna, semoga pagi ini mbak dan Suami diberi kesehatan dan kebahagiaan. Amin. Saya hanya bisa berdoa dari jauh. Panjenengan memang luar biasa.

  17. semoga suami Ibu cepat sembuh dan sehat selalu ya Bu..

    kalo ndak salah, UGD memang isinya dokter2 muda jaga, tapi dgn supervisi dokter senior.. kalo ngeliat di serial2 cem Grey’s Anatomy, di luar juga kayanya gitu
    waktu terakhir ke RS gara2 aldi mendadak panas, muntah juga mesti masuk UGD karena polikliniknya tutup semua, agak heran juga sih diagnosanya cepet banget lgs kasi obat gitu.. pikir2 lagi besoknya dateng lagi utk ke dokter spesialis, 2nd opinion boleh kan? 🙂

  18. julianusginting

    sepertinya bapak ibu lg kelelahan…dah gt asupan makan yg bergizi dan seimbang tak dibarengi. oleh karena itu perlunya istirahat cukup dan menjaga pola makan..semoga lekas sembuh…

  19. Ping-balik: SALAM HORMAT, Perp « BayuPutra

  20. Ping-balik: Selamat Berlibur | Vulkanis Blog's

  21. Banyak istirahat Bu.. berat banget kayanya, saya jadi merasa bersyukur jarang sakit, karena kalo sakit udah cukup menyebalkan, apalagi ditambah dokter2nya ga profesional, makin mumet deh

Tinggalkan komentar