Benarkah riset pasar tak selalu mencerminkan keinginan pasar?

Sebetulnya saya bukan orang yang ahli di bidang marketing, latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja lebih banyak di bidang keuangan dan manajemen, namun gara-gara menulis tentang “Apakah anda mempunyai indra keenam dan intuisi?, maka saya mendapat tanggapan dari seorang ahli di bidang psikologi industri, dan beliau menyarankan saya untuk membaca “Blink” karangan Malcolm Galdwell. Buku ini sebetulnya telah saya beli sejak Oktober 2007, namun membacanya tak pernah selesai, tertunda terus oleh hal-hal lain. Dari buku “ Blink” ini, saya ingin membagi pengetahuan, pada bab bahwa ternyata riset pasar tak selalu mencerminkan keinginan pasar.

Untuk menunjukkan bagaimana riset pasar tak mencerminkan keinginan pasar, buku ini memberikan contoh-contoh sebagai berikut:

1. Mencermati Kesan Pertama

Dari hasil survey pasar yang menanyai konsumen, apakah menyukai sebuah lagu yang baru diputar atau sebuah film yang baru ditonton, atau seorang politisi yang baru berpidato, seberapa besar kepercayaan kita atas jawaban mereka? Misalkan, mencari tahu pendapat orang tentang lagu rock kelihatannya mudah, padahal orang yang menjalankan focus group dan jajak pendapat tak selalu peka terhadap kenyataan ini. Untuk menjawab seberapa bagus sebuah lagu, perlu menggali lebih dalam, dan betapa rumitnya rincian yang diperoleh dalam kesimpulan sekejap.

Pengalaman saya sendiri, jika kita membuat kuestioner meminta orang menilai sesuatu, untuk menjawab dalam range nilai 1 sampai 10, kita akan melihat sebagian besar jawaban akan berada pada range di tengah, jarang sekali yang cenderung menjawab nilai di antara nilai 1-3 atau nilai 9-10.

2. Pepsi Challenge

Kasus Pepsi Vs Coca cola merupakan hal yang menarik. Pada awal 80 an, Pepsi pelan-pelan mulai menggerogoti kepemimpinan Coke. Selanjutnya diadakan acara untuk mempertandingkan Coke secara langsung dengan Pepsi, dan acara tersebut dikenal dengan Pepsi Challenge. Sejumlah peminum fanatik Coke diminta mencicipi minuman dari dua gelas, satu bertanda Q dan lainnya M. Ternyata 57 persen dari juru cicip tersebut memilih Pepsi. Ahli riset Coke, mulai memikirkan adanya permasalahan pada rasa, karena rasa Pepsi lebih manis. Para ilmuwan Coke ber eksperimen, membuat rasa Coke menjadi lebih ringan dan lebih manis, seperti rasa Pepsi, dan lahirlah ”New Coke”. Para responden, dengan cara sederhana dan langsung, diminta menceritakan reaksi mereka, dan rata-rata mengatakan tidak menyukai Coke lama, tetapi lebih suka pada rasa Coke baru.

Ternyata malah terjadi kegagalan setelah dijual ke pasar, bahkan menjadi sebuah bencana. Para penggemar Coca-cola serentak bangkit menyatakan kemarahan mereka terhadap New Coke, dan Coke terhunjam pada situasi krisis. Hanya beberapa bulan kemudian, perusahaan dipaksa kembali ke resep asli mereka, dengan sebutan Classic Coke. Kenyataannya, kenaikan pangsa Pepsi yang diramalkan oleh riset pasar bakal tak terhentikan juga tidak pernah terwujud. Selama duapuluh tahun terakhir, Coke telah bersaing langsung dengan Pepsi. Coca Cola tetap dengan produk yang menurut uji rasa kalah dari Pepsi, namun Coke masih menjadi minuman ringan nomor satu di dunia. Dengan demikian, cerita tentang Coke menunjukkan contoh yang bagus sekali, betapa sulit mencari tahu bagaimana sesungguhnya jalan pikiran orang banyak.

3. Orang buta menuntun orang buta

Carol Dollard, yang bekerja untuk Pepsi selama bertahun-tahun dalam pengembangan produk baru, mengatakan bahwa salah satu yang bisa menyesatkan dari sebuah uji rasa, terkait dengan rasa manis.” Jika yang anda lakukan hanya uji rasa, konsumen akan lebih menyukai produk yang lebih manis. Akan tetapi jika mereka harus minum sebotol atau sekaleng penuh, rasa manis itu bisa menimbulkan rasa mual.” Pepsi lebih manis dibanding Coke, maka peluangnya dalam uji rasa besar. Pepsi juga dicirikan dengan rasa jeruk yang ”meledak”, tidak seperti Coke yang rasanya lebih mirip vanila kismis. Akan tetapi rasa meledak cenderung turun ketika anda meminumnya sekaleng penuh, dan itu pula alasannya mengapa Coke kalah dalam pembandingan. Hal tsb juga menyingkapkan bahwa kita mempunyai dua reaksi berbeda terhadap minuman Cola. Kita mempunyai reaksi tertentu ketika meminumnya barang satu dua teguk, dan mempunyai reaksi lain sesudah meminum sebotol atau sekaleng penuh.

Selanjutnya ada masalah transferensi sensasi. Louis Cheskin, ahli pemasaran abad kedua puluh, menjelaskan bahwa ketika orang membuat penilaian mengenai sesuatu yang akan mereka beli di supermarket atau departmen store, tanpa menyadarinya, mereka memindahkan sensasi atau kesan yang mereka dapatkan dari kemasan produksi ke produknya sendiri. Cheskin percaya, kebanyakan kita tidak membedakan, ditingkat bawah sadar, antara kemasan dan produk didalamnya. Contohnya margarin, sekitar tahun 40 an margarin belum populer. Konsumen tak tertarik untuk membelinya, hal ini yang membuat Cheskin penasaran. Mengapa orang tidak menyukai margarin? Apakah terkait langsung dengan makanannya sendiri, atau masalah asosiasi orang dengan margarin? Pada saat itu margarin berwarna putih, Cheskin memberinya warna kuning sehingga tampak seperti mentega. Kemudian Cheskin membuat perjamuan, menyediakan mangkuk margarin dan mentega, yang karena warnanya sama-sama kuning, orang sulit membedakannya. Seusai acara, tiap orang diminta membuat penilaian untuk pembicara dan makanan yang dihidangkan, dan hampir semua orang mengatakan bahwa “mentega” itu lezat. Padahal riset pasar mengatakan bahwa margarin tak mempunyai masa depan. Masalahnya kemudian adalah meningkatkan penjualan. Cheskin meminta kliennya menyebut namanya dengan ”Imperial margarine”, sehingga mereka bisa menaruh mahkota yang mengesankan pada kemasannya. Kemudian Cheskin meminta untuk dibungkus dengan aluminium, sebab pada masa itu, kemasan kertas aluminium diasosiasikan dengan mutu yang tinggi. Dan tentu saja, jika orang menyajikan dua kerat roti yang sama, yang satu diolesi margarin putih dan lainnya diolesi imperial margarine kuning, dikemas kertas aluminium, maka keratan roti kedua akan selalu memenangkan uji coba.

Masten dan Rhea, konsultan pemasaran tidak percaya bahwa kemasan yang cerdas bisa membebaskan perusahaan dari produk yang tidak enak. Tujuan manipulasi kemasan hanyalah agar ketika kita menaruh penganan itu kedalam mulut, maka sekejapan mata kita akan memutuskan apakah rasanya enak atau tidak.Dari beberapa contoh ini, terlihat bahwa kita bereaksi tidak hanya terhadap bukti dari alat pengecap dan kelenjar ludah, tetapi juga bukti nyata dari mata, ingatan, dan daya cipta kita, maka perusahaan tidak boleh hanya memuskan salah satu dimensi namun mengabaikan dimensi yang lain.

Kesalahan yang pernah diperbuat Coca-cola, adalah mengaitkan direbutnya pangsa pasar mereka oleh Pepsi, sepenuhnya pada kegagalan produk. Padahal yang berperan banyak sekali dalam dunia Cola adalah ”citra merk”, dan dahulu mereka mengabaikan faktor ini. Semua keputusan mereka terfokus pada pengolahan produk semata, sementara Pepsi peduli sekali pada kalangan muda, dan menjadikan Michael Jackson sebagai juru bicara, selain banyak hal lain yang sangat menaikkan citra mereka. Jelas, orang menyukai produk yang lebih manis pada uji rasa, namun orang tidak mengandalkan keputusan mereka untuk membeli hanya pada uji rasa.

Cerita di atas mengingatkan saya saat anak-anak masih kecil dan sulit makan. Dokter anak menyarankan, supaya anak-anak tertarik minum susu, maka susu bisa diberi tambahan warna, jadi bisa warna kemerahan, kekuningan, dan ternyata anak-anak menjadi suka. Anak bungsuku saat kecil tak menyukai makanan yang bentuknya tidak indah, sampai suami saya bilang…”Anakmu itu, kalau semua makanan berwarna merah muda, hijau, biru, maka dia akan mau makan lebih banyak” Sekarang saya memahami, betapa sebetulnya mata dan daya khayal atau sensasi kita mempengaruhi untuk memilih jenis makanan yang kita beli.

Sumber bacaan:
Malcom Gladwell. ” Blink: The Power of Thinking Without Thinking” Terjemahan dalam bahasa Indonesia. PT Ikrar Mandiriabadi. Jakarta, 2006. hal.176-225

16 pemikiran pada “Benarkah riset pasar tak selalu mencerminkan keinginan pasar?

  1. iya bu….. kadang-kadang yang dilihat orang adalah merk. contoh kasus lain adalah xenia-avanza. orang toh lebih memilih avanza yang lebih mahal dari xenia padahal sebenarnya sama saja.

    Itik kecil
    ,
    Makanya ahli pemasaran juga harus memahami psikologi manusia, agar bisa menjual produknya secara tepat, dengan strategi pemasaran yang tepat. Saya membaca buku Blink sebetulnya lebih pada ingin tahu tentang manusia….hehehe…jadi nyabrang kemana-mana ya minatnya.

    Dan, saya kalau punya uang, akan lebih memilih Avanza daripada Zenia. Mengapa? Karena saya termasuk orang konservatif, dan karena mobil sebelumnya merk Toyota, dan saya merasa puas dengan pelayanannya, maka saya lebih tahu tentang Toyota dibanding merk lain. Di buku tadi juga diceritakan hal ini…kalau di posting semua terlalu panjang. Menantuku, di Hawai juga belinya Toyota, gara-gara dia kenalnya merk itu, kalau pake merk lain kawatir, harus belajar lagi.

    Juga bajuku…kalau beli ya di toko-toko itu aja…payah ya….hehehe

  2. kalau begitu, sudah pasti salah bahwa suara rakyat suara Tuhan. karena mayoritas belum tentu benar. artinya demokrasi tidak sepenuhnya benar.

    *jadi ke politik hehe

    Trian,
    Waduhh kalau ke politik saya tak tahu jawabannya…tapi semakin banyak pemilih terpelajar, maka suara mengambang ini juga makin banyak…dan baru menentukan sikapnya pada D-day.

  3. Memang kalau sudah berhadapan dengan konsumen yang fanatik repot. Untuk kasus mobil bukan hanya Avanza dan Xenia, masih ada Rush dan Terios.

    Yoga,
    Hehehe….saya termasuk seorang konsumen yang tidak cocok untuk berperan sebagai yang ditanya tentang pasar…

  4. ini juga mungkin salah satu sebabnya mengapa hegemoni para pionir produk cenderung sulit digoyahkan oleh para follower atau pengusaha penganut konsep me too

    Indra kh,
    Memang setidaknya kita belajar dari perilaku manusia, dan ini juga ditentukan oleh tipe manusianya. Maka kalau mau riset, kita sebetulnya harus membatasi, produk/jasa ini mau dilempar ke segmen apa, yang tipe orangnya seperti apa…nahh orang yang menulis dan memberikan pendapat haruslah orang yang ahli. Tapi dari pelajaran marketing, juga ada tipe produk/jasa, yang bersifat mengedukasi pasar….memang perlu jangka waktu lama….tapi hasilnya juga sering memuaskan. Jadi, tetap berhati-hati dalam membaca riset pasar.
    Masih banyak kok ceruk pasar yang masih bisa dimasuki produk baru, tapi segmen yang dituju sejak awal harus jelas, begitu juga bentuk marketingnya.

  5. Hmm…hmmm…
    PASTI deh Anaknya bu Ratna suka sama PELANGI, apalgi permen NANO NANO

    heks…hek….

    Nggelesod…menyimak tulisan yg lain

    Santri gundul,
    Duhh saya nggak ngerti maksudnya…

  6. Toba nan Indah

    Bagus referensinya hampir sama seperti yang saya baca di Copycat Marketing karya Roy Janis, terbukti juga di perusahaan saya di bidang riset awalnya hasil riset konsumen cukup antusias tetapi di kenyataan pasar belum/tidak seperti yg diharapkan. Jadi bagaimana cara risetnya biar sesuai keinginan pasar ya? thanks

    Toba nan indah,
    Pertama-tama kita harus tahu persis pasar yang akan kita tuju seperti apa? Kemudian apakah hasil produk/jasa kita memungkinkan memenuhi tipe pasar seperti itu?
    Yang penting tak boleh latah, kita harus mengenal produk/jasa yang kita tawarkan, dan tahu perilaku konsumen pada pasar yang dituju.

  7. Sebenarnya maksud hati setiap riset pasar pasti adalah keinginan di pasar, namun karena terlalu banyaknya variabel2 yang terlibat di dalamnya dan variabel2 (yang mempengaruhi selera pasar) tersebut sangat dinamis dari waktu ke waktu, maka seringkali riset tersebut tidak mencerminkan riset pasar! Bahkan hal tersebut dapat terjadi di perusahaan2 besar seperti: Coca Cola dengan New Coke-nya, seperti yang digambarkan ibu di atas, juga Kodak dengan Disc Filmnya yang gagal total di pasaran dan masih banyak lagi……….

    Kang Yari NK,
    Memang sulit memahami pasar, sebagaimana sifat orang yang selalu berubah-ubah. Tapi justru disini menariknya kan? Dengan mempelajari kasus-kasus seperti Coke vs Pepsi dan yang lain, kita bisa belajar banyak, agar tak mudah puas, tak mudah menilai, dan membaca hasil riset dengan hati-hati.
    Dulu di perusahaan, harus ada job opening untuk jabatan tertentu, untuk wawancara sebelum dengan manajemen, semua dilakukan oleh psikolog. Saya termasuk yang diwawancara dan lulus…karena saya lulus, saya berani bilang pada manajemen, bahwa konsultan tadi sebetulnya tak sesuai…karena dia hanya tahu perilaku manusia secara umum…sedang bidang ilmu tertentu, seperti untuk perbankan, IT, teknik…haruslah wawancara dilakukan oleh orang yang ahli di bidang itu, kalau tidak banyak biaya terhambur percuma….apalagi ini untuk kelas senior manager, yang job nya sangat spesifik.

  8. Taufik

    Wah, posting yg sangat bermanfaat.

    Mungkin ini bisa menjelaskan kenapa pangsa pasar Apple Inc. meningkat belakangan ini

    Taufik,
    Kita bisa belajar dari kasus-kasus yang pernah terjadi.

  9. Artikel di blog Anda sangat menarik dan berguna sekali. Anda bisa lebih mempopulerkannya lagi di infoGue.com dan promosikan Artikel Anda menjadi topik yang terbaik bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Tersedia plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!

    http://ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com
    http://ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com/benarkah_riset_pasar_tak_selalu_mencerminkan_keinginan_pasar_

  10. mestinya riset yang dilakukan dapat mencerminkan keinginan pasar. apa maunya pasar itulah sebenarnya yang harus dipikirkan oleh para industriwan. tapi ternyata memang ada variabel lain, ya, bu, sehingga produk2 industri tak melulu berdasarkan hasil riset tapi juga ada unsur psikologinya di situ. tapi sepertinya kalau yang melakukan riset saja masih gagal, lantas bagaimana yang sama sekali tdk melakukan riste, ya, bu?

    Pak Sawali,
    Justru disini menariknya, karena yang namanya manusia, keinginannya selalu berubah….untuk riset pasar harus dilakukan dengan hati-hati. Tujuan barang/jasa yang dipasarkan harus jelas, memenuhi kualifikasi untuk pasar yang mana…dan tentunya orang yang dipakai sebagai nara sumber riset pasar harus sesuai. Hehehe…baca blink saya makin yakin, bahwa pengalaman seseorang sangat penting untuk bisa menilai..

    Dan juga harus mengenal barang/produk yang hendak ditawarkan…seperti Coke dengan mentega…ada lagi cerita es krim (kapan-kapan di posting)….semuanya ternyata mempunyai karakteristik manusia yang menikmatinya.

  11. Posting yg sangat dalam dan informatif. Waktu saya dulu mbaca ttg blink, ndak sampe kayak gini nih ulasannya. Emg kesaktiannya udah beda kok 😛

    Perihal bahwa kita tyt punya dua reaksi yg berbeda thd cola tu amat menarik. Tyt bukan subyektif ya sifatnya.

    Terkait bahwa familiaritas thd produk tu amat mempengaruhi preferensi, saya pikir ini nih yg baru amat subyektif. Untuk keperluan2 yg secara value atau tingkat kepentingan tidak dianggap terlalu penting, maka adl lebih enak bg seseorang utk ngikut pendapat orang lain yg sudah punya pengalaman. Hemat waktu dan effort riset.

    Tapi beda lagi klo barang yg dibeli masuk dlm kategori hobi atau yg dianggap amat penting. Misal saja penggemar fotografi, meskipun orang lain bilang gimana, tapi dia pasti akan lebih suka klo lakukan riset sendiri. Ndak keberatan bila harus belajar hal yg baru.

    Akhmad Guntar,
    Mungkin saya dan mas Guntar melihat dari sisi berbeda..tapi justru disini menariknya. Sebuah buku, bisa dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda…bayangkan jika ini dijadikan riset pasar.
    Hmm ya, untuk barang-barang tertentu, memang pasarnya berbeda…terutama barang yang merupakan hobi. Jadi sama kalau kita mau menilai suatu usaha barang antik, kita tak bisa menilai sama dengan usaha perdagangan lainnya…disini pasarnya sangat terbatas, tapi mereka adalah orang-orang yang sangat fanatik, yang akan mengejar kemana pun barang itu berada.

  12. Riset maupun survey gak tepat sasaran, jadi gak menggambarkan keinginan pasar

    Bambosi,
    Hmm ya, memang ternyata tak mudah untuk membuat riset pasar, harus tepat sasaran, agar hasilnya tak bias….teorinya mudah, tapi prrakteknya sulit.

  13. Tukang Ketik

    jadi kayak ini:

    http://adiwirasta.blogspot.com/2008/04/brand.html

    Tukang ketik,
    Memang sulit menebak keinginan pelanggan, dan penelitian atau survey benar-benar harus sesuai dengan produk/jasa yang akan dipasarkan.
    Ada contoh, suatu perusahaan rokok mengeluarkan produk baru, iklan digenjot, diamati…kok penjualan naiknya pelan…akhirnya diubah iklannya, untuk segmen anak muda menengah atas yang gaul…dan karena segmen pasarnya disitu, maka harga dinaikkan (malu kan, kalau beli produk murah)…tahu nggak apa yang terjadi? Penjualan melesat….padahal cuma ganti iklan dan harga dinaikan, dan merubah packaging sedikit…itulan konsumen dan ini kisah nyata (cuma off the record)

  14. Salam kenal. Saya, suharno, dosen progdi akuntansi Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo. Terima kasih atas tulisan2 ibu yang banyak memberikan wawasan dan tambahan wacana bagi saya. Mohon ijin sebagian tulisan ibu saya gunakan untuk bahan pembelajaran. Nuwun.

    Suharno,
    Salam kenal juga….silahkan mas, saya malah senang jika bisa membantu, walaupun tulisan saya bukan dari segi ilmiah, tapi berdasarkan pengalaman saya selama ini.

  15. NFAN

    DAS SEIN & DAS SOLEN
    APAKAH DENGAN DEMIKIAN KITA AKAN MENYALAHKAN TEORI RISET YANG SELAMA INI KITA AGUNGKAN DI MARKETING.MEMANG KUNCI MARKETING INTUISI DAN IMAJINASI TETAPI KEDUANYA TIDAK AKAN BERHASIL BILA TDK DENGAN RISET. DAN ITULAH FAKTA YANG ADA ….

  16. Adi Utama

    Pentingnya mengetahui perilaku orang dan kelas mereka, apakah mereka jenis konsumen tetap atau sesekali beli saja. Ini melibatkan askpek psikologis dan tidak semata-mata atas dasar brand. Kalo buyer berdasarkan brand lebih segmented yang susah ini kan buyer yang random.

Tinggalkan komentar