Komunikasi, banyak caranya

Hari-hari ini saya gembira, si pelit pujian, mulai menghargai dan memuji tulisanku. Bukan…bukan dari seorang sastrawan atau editor terkenal, tapi bagi saya, pujian itu terasa sangat tulus dan membahagiakan. Terutama bagi saya, yang baru belajar menulis, dan tentu saja, tujuan menulis di blog antara lain sebagai sarana komunikasi dengan anak yang jauh di seberang benua. Yahh…tulisan ini hanya sekedar tulisan ringan, tulisan curhat, yang ga penting, tapi mungkin berguna bagi kaum ortu yang anaknya jauh.

Lama-lama saya mulai merasa bosan menulis, kayaknya kok gaya tulisan di blog ini cuma begitu-begitu saja. Jadi ceritanya mau mencoba nulis yang lain. Ternyata tak mudah juga, banyak komentar yang mengatakan, itu bukan fiksi ( komentar anakku, mas Kopdang, terakhir paman Tyo). Memang benar, saya sendiri masih bingung membedakan antara fiksi dan non fiksi……mungkin pak Sawali atau kang Daniel Mahendra bisa membuat postingan tentang ini……. Akibat penasaran, saya mencoba lagi, dan akhirnya ……. anakku memberi komentar dan menulis di blognya seperti ini:

Hihihi… Fiksi Nyokap

Akhir-akhir ini, nyokap bikin tulisan dalam kategori baru: “Fiksi”.
Tapi kok fiksinya berat-berat yah? Rasanya lebih mirip membaca sebuah studi kasus daripada baca cerita.

Tetapi fiksi yang terakhir akhirnya bisa kunikmati sebagai fiksi. Karakternya mengingatkanku pada karakter Bu As yang ada di tabloid Nova zaman dulu (tetapi sekarang rubriknya sudah tidak ada yah?)

Entah kenapa, mungkin bukan pujiannya, tapi saya hanya melihat bahwa dari nada kalimatnya yang gembira, dia juga pasti menikmati kehidupan yang menyenangkan disana. Agak aneh memang, tapi saya justru sering bertelepon ria dengan menantuku, atau sekedar saling chat di tengah malam, dengan risiko esoknya mengantuk. Risiko yang pantas dilakukan bukan, untuk sekedar mengetahui kabar anak dan menantu tercinta? Jadi ini bukan cerita pujian anakku terhadap tulisan nyokapnya, tapi ada bentuk komunikasi lain….bahwa dari tulisan seseorang kita bisa memahami seperti apa kondisi perasaan penulisnya saat menuliskannya, terutama jika kita punya hubungan yang sangat dekat.

44 pemikiran pada “Komunikasi, banyak caranya

  1. Saya setuju Bu, tulisan seseorang seringkali secara tak langsung merupakan gambaran perasaan penulisnya.

    Suhadinet
    ,
    Betul pak, terutama jika kita kenal dekat dengan penulisnya, tahu kebiasaan sehari-hari dsb nya.

  2. Kadangkala “brainstorming” memang perlu.. mencoba hal baru yang jauh beda dari apa yang biasa kita kerjakan, bahkan dalam dunia tulis menulis. Dan nggak jarang, hasil “brainstorming” itu bisa dicela juga.

    Bu Enny, jangan berkecil hati. Namanya juga coba-coba dan kalo dari awal sudah sempurna, maka gak akan ada lagi pembelajaran. Bukankah malah jadi membosankan kalo semua hal yang diinginkan didapat dengan mudah? 😀 *sotoi mode : on*

    Darnia,
    Mungkin enaknya nggak pake tag ya….jadi malah nggak bingung…hehehe.
    Iyalah, yang penting tetap semangat menulis, dan mudah2an ada ide terus untuk ditulis.

  3. Ternyata kalau terbiasa menulis sesuatu yang bersifat non-fiksi untuk kemudian beralih menulis fiksi, susah juga Bu ya? Nanti saya coba ah. 😀

    Rafki RS,
    Iya…yang susah kan, karena setiap kali mencoba berperan sebagai tokoh yang dikhayalkan itu….
    Tapi dulu menulispun terasa sulit sekali….rasanya tetap lebih mudah menjelaskan atau mengajar, karena bisa tatap muka dan diskusi. Menulis juga memerlukan perenungan, dan setiap kali masih berpikir layakkah tulisan ini diposting?

  4. Eit, iya Bu. Siap Bu. Bentar Bu. Sudah mulai kusiapkan kok, Bu. Hehe.

    Wah, pasti menyenangkan sekali dapat pujian dari si sulung. Terasa tulus tuh, Bu.

    Hmm… sedang gembira nih si Ibu… 🙂

    Daniel Mahendra,
    Wahh iya…seneng banget…..dan saya tahu kok dia selalu baca tulisanku…justru itu yang mendorong keinginan untuk menulis lebih baik…duhh susah juga ya ternyata menulis yang bagus itu….

  5. Nah, hari ini aku mencoba (mencoba lho, Bu, hehe), mulai membacai cerita-cerita Ibu. Aku cicil ya…

    Beberapa hari terakhir ini, hufh, repotnya bukan main. Nggak bisa mampir-mampir ke blog sahabat-sahabat. Kehabisan energi. Nah, kini akan kukucicil. Semoga bisa.

    Terus menulis, Bu!

    Daniel Mahendra,
    Ehh ….jangan salah, maksudku bukan untuk tulisanku, tapi saya berharap Daniel bisa menuliskan di blog mu, sehingga bermanfaat bagi yang lain juga. Saya, walaupun ingin, tak mau membuat Daniel hanya memberi komentar untuk saya saja….sayang kan…tapi tulisan di blogmu akan sangat bermanfaat bagi banyak orang…saya yakin, banyak kok yang masih bingung seperti saya (atau saya yang salah ya, cuma saya sendiri yang bingung???)

  6. kok lagi pada demen fiksi para blogger kondang? noh sesepuh2 nyang komen di atas sedikit demi sedikit udah mem”fiksi”kan blog mereka. hahaha

    saya yakin anak ibu memuji tuh, tapi gak ditulis di blog nya :mrgreen: biar ibu tambah penasaran dan lebih semangat 😆

    Catra
    ,
    Tulisan yang saya kutip di atas ada di blog anak saya…justru karena itu membuatku senang….hahaha…karena anak saya jarang sekali memuji, dan biasanya si ibu ini di kritik terus.
    Tentu saja, pujian itu tak boleh membuatku lupa diri, justru harus semangat untuk menulis yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain.

    Fiksi? Karena sebenarnya dengan fiksi, akan membuat orang tak tersinggung (namanya juga fiksi), dan menulis fiksi bisa berguna, jika tulisan tsb dapat diselipkan ilmu pengetahuan, ataupun bahasan lain yang sangat bermanfaat bagi pembacanya. Seperti tulisan ES Ito, saya salut tentang pengetahuan dia tentang sejarah pergerakan, padahal kalau tak salah dia dari ekonomi.

  7. Memang Bu, kalau biasanya nulis non fiksi terus mencoba untuk nulis fiksi, biasanya susah…

    Sama susahnya seperti mencoba menulis non fiksi padahal biasanya nulis yang bermodal imajinasi, seperti saya ini… hahaha….

    Mengkomentari tentang komunikasi yang banyak caranya itu, saya setuju, Bu..
    Dunia sudah semakin mencanggih.
    Manfaatkan saya dengan baik.

    Salam saya buat si Menantu yang kocak itu 🙂

    Lala,
    Saya baca novelmu sambil tersenyum sendiri…bahasamu lucu habis, jadi ingat bahasa anakku dan teman-temannya. Kapan buku kedua terbit?

    Ehh tulisan di atas itu saya kutip dari tulisan di blog anakku, dan kalau menantuku disini.

  8. aihhhh ibu sedang bahagia…
    pasti hari ini pakai baju merah
    (saya hari ini pakai baju merah bu, karena hujan di luar. Hari yang suram, tapi semoga dgn baju merahku semua tertular bersemangat….)
    hubungan ibu dengan anak lelaki yang sudah dewasa memang sulit diungkapkan ya….
    tabik
    EM

    Ikkyu_san
    ,
    Tra la la….iya sedang senang nih….dan kalau senang pake baju warna ceria…bisa merah, pink….
    Kebetulan anak lelakiku memang usil, tukang kritik, tapi juga lucu…duhh jadi kangen….

  9. Hmm……saya merasa kesetrum membaca tulisan ini, ternyata memang betul, kata2 itu punya jiwa! Bahkan kalo saya tanda titik2 panjang dan pendek pun mengartikan sesuatu, OK saya memang hipersensitif soal makna tersembunyi dibalik huruf dan tanda2 baca, heheheee… (^^p) Tapi baru kali ini saya menemukan bahwa ada juga yg menyuarakan ‘kepekaan’ yang sama ttg bisa melihat senyum, kegembiraan, pokoe ada ‘rasa’ di sana… YESSS….! karena memang ada rasa di sana…

    Terimakasih sudah mampir dan membaca ‘hatiku’ dan isi kepalaku–yg seringkali justru lebih berantakan daripada kamar sendiri.. (^^p)

    -G-
    Saya percaya itu…justru karena membaca komentarmu di blog teman, saya jadi ingin menengok rumahmu…kok ya tulisanmu mirip dengan tulisanku ini. Aneh ya….

  10. Wahm salut buat Bu Enny nih yang telah mengembangkan iprah kepenulisannya hingga ke genre fiksi. saya lihat ada sekitar 3 postingan nih, bu yang masuk kategori fiksi: Harapan yang tak pernah padam, Pak tuam dan Bos besar. sepanjang yang saya tahu, ke-3 tulisan tersebut memang masuk pada kategori fiksi. dalam pemahaman awam saya, genre fiksi bisa dilihat berdasarkan struktur dan alur ceritanya. kalau memang berupa rekaan imajinasi, meski terinspirasi dan kehidupabn nyata, tulisan semacam itu sudah masuk kategori fiksi. non-fiksi, sebaliknya, mnegisahkan peristiwa nyata apa adanya, tanpa menggunakan struktur dan alur cerita yang imajinatif. waduh, maaf, bu, kok jadi sok tahu, saya, hehehe … yang pasti, cerita apa pun yang ibu posting, entah itu genres fiksi atau nonfiksi, bagi saya tetep menarik. ok, deh, bu, semoga melalui tulisan, ibu bisa terus menjalin komunikasi dengan putra dan menantu tersayang, sanak kerabat, dan juga temen2 bloger yang lain. salam kreatif!

    Sawali Tuhusetya
    ,
    Makasih pak, penjelasannya, menjadi lebih jelas.
    Tapi ternyata menulis fiksi lebih sulit…..hehehe…benar kata si sulung, kok jadi kayak studi kasus…hahaha…
    Ini kan kayak orang mau masak apem, tapi jadinya kue cucur…hehehe

  11. untuk dikonsumsi pribadi fiksi dan nonfiksi tetap menarik jika seorang ibu yang menulis. Harus jelas perbedaannya jika sudah dikonsumsi oleh masyarakat, dengan tema seperti politik…tulisan mengenai ini harus tegas batasan fiksi dan non fiksinya…salah-salah kita membuat masyarakat semakin bingung seperti yang biasa para politisi lakukan.

    Calegindonesia
    ,
    Makasih pendapatnya…paling tidak membuatku berani terus menulis.
    Maaf jika berkunjung ke blogmu tak pernah meninggalkan komentar, karena saya tak terlalu paham tentang politik, daripada mengomentari nya salah.

  12. komunikasi memang banyak caranya, bu. bahkan ada yang bilang kalau diam itu adalah salah satu bentuk komunikasi. hwehe…

    (^_^)v

    kalau soal fiksi, keknya cerita2 ibu masih bisa dikategorikan fiksi, deh. kan fiksi itu rekaan, bukan berdasarkan kenyataan.

    Farijs van Java,
    Kalau diam itu artinya apa ya? Konon zaman dulu, jika cewek dilamar dan jawabannya diam, artinya setuju.
    Lha kalau sekarang apa masih sama…..diam bisa berarti ya, bisa berarti tidak….atau masih bingung, dan silahkan menerka sendiri

  13. adipati kademangan

    Komunikasi sebagai alat penyampai rasa. nah “rasa” inilah yang tidak bisa tergantikan walau harus melakukan hal-hal yang berat, telepon, resiko mengantuk dan resiko yang lain-lain. “Rasa” itulah yang sungguh tidak ternilai harganya.

    Adipati Kademangan
    ,
    Betul…..rasa itu tak bisa digambarkan, hanya yang terlibat yang paham.
    Bagaikan semilir angin yang bisa terasakan tapi tak bisa dipegang. Dan hubungan yang dekat bisa menularkan rasa itu, untuk saling menyetrum.

  14. Ia bu…tulisan saya sendiri berubah – ubah terus ngikutin mood. Padahal pengennya bisa nulis dengan gaya yang konsisten!

    Nadin
    ,
    Ternyata menulis secara konsisten sulit ya…justru karena tergantung “mood” inilah, maka pembaca akan bisa merasakan, bagaimana kondisi penulis saat menuliskan tulisan itu. Tapi ini hanya dipahami jika kita sering membaca tulisan penulis tsb, dan mulai mengenal karakter tulisannya.

  15. Mang Kumlod

    Berat sekali tulisannya, bu…. 😆 *dilempar kapur sama bu ratna*

    BTW, IPB ngadain pulang kampus tapi di mol, dateng ga bu?

    Mang Kumlod,
    Berat ya…iya deh, mudah2an selanjutnya makin baik
    Di Mal? Ogah ahh…kenangannya udah banyak yang hilang

  16. Ternyata sebuah komentar singkat dan sederhana bisa membuat Ibu bahagianya awet lama hehehe…
    Sudah nggak capek lagi kan Bu? 🙂 Tentang komunikasi.. nggak disangkal lagi yang ditulis Ibu benar adanya.

    Yoga,
    Hehehe….betul, ternyata komentar, kritik atau pujian dari anak sendiri malah berperan penting. Paling tidak, saya tahu dia selalu membaca tulisanku, karena dia jugalah dulu yang mendorong si ibu ini untuk berani menulis. Dia juga yang mengeprint term n condition untuk dipelajari, sebelum menulis di blog….apa yang oleh dan apa yang tak boleh.

    Capek?…langsung deh hilang capeknya.

  17. Bentuk komunikasi memang banyak, ada yang langsung ada yang tidak langsung, ada yang efektif dan ada yang tidak efektif, ada yang terbuka ada yang rahasia, dan sebagainya. Semua terpakai pada saat dan situasi yang tepat.

    Dari tulisan memang kita dapat mengetahui mood seseorang, walaupun tentu itu mungkin hanya efektif untuk orang yang sudah sangat dekat. Karena banyak juga orang yang pandai menutupi perasaannya, dari tulisannya happy padahal sebenarnya mungkin tidak begitu….. Ya… yang penting asal bentuk komunikasi tersebut tidak membutuhkan presisi yang tepat, tentu komunikasi semacam itu dapat “mengasyikan” juga karena dapat juga menjadi teka-teki menebak perasaan seseorang….. hehehe….

    Yari NK
    ,
    Justru itulah mengapa kalau sebuah novel terkenal, menjadi tantangan bagi penulis skenario, sutradara, untuk menuangkannya menjadi sebuah film…karena pembaca telah punya persepsi masing-masing….

  18. Tatapan mata pun merupakan komunikasi yang ampuh pada saat kita “Fall in Luv” 🙂

    Devry,
    Betul…bukankah mata adalah jendela hati?
    Tataplah matanya, engkau akan menemukan apakah dia bohong apa tidak…hanya orang yang sangat pandai bersandiwara, yang bisa menipu dengan matanya.

  19. iya…menulis fiksi amatsulit..apalaghi membangun hayalan..salam kenallll

    Imoe
    ,
    Saya juga belajar dari tulisanmu…awalnya karena sering baca komentarmu di blog Marshmallow…dan ternyata tulisan di blogmu bagus sekali.

  20. Hehehee pujian emang punya kekuatan sendiri untuk memberikan semangat 🙂 terus semangat menulis bu 🙂

    Parvian,
    Betul…
    Tapi maaf ya, saya sulit memberi komentar di blogmu (diluar bidang kemampuanku), karena kawatir malah keliru…tapi saya mencoba memahami ilmu yang kau tulis disana.

  21. Postingan kita pun sebenarnya merupakan salah satu bentuk komunikasi, walaupun bukan berupa cerita atau ungkapan perasaan.

    Mufti AM
    ,
    Betul…..ternyata tulisan di blog seperti menjadi ajang komunikasi…hal yang tak pernah saya duga sebelumnya…

  22. waaah..kalau si pelit pujian sudah memberi apresiasi,berarti sudah sangat luar biasa.
    Saya tidak bisa membayangkan…kalau saya bisa menulis fiksi..wah..bakal berlama lama di komputer nih..

    Dyahsuminar,
    Ahh ibu jangan begitu…siapa tahu malah bagus sekali..dicoba aja bu…

  23. Jay

    Wah… salut deh buat Mbak.
    Nih kita sdg melakukan komunikasi…. Meskipun hanya di dunia Maya.

    Semoga sukses aja…

    Jay,
    sama-sama…..semoga jay juga.

  24. […]saya sendiri masih bingung membedakan antara fiksi dan non fiksi[…]

    yang penting berkarya terus saja bu Enny…
    paling tidak untuk selingan, melewati kejenuhan.
    salam hangat dari saya 🙂

    Goenoeng,
    Betul….siapa tahu makin bisa terasa mana yang paling pas….
    Makasih suka membaca tulisanku.

  25. Saya malah lebih parah, cuman asal tulis sesuatu yang terjadi dan apa yang sedang ada dikepala. Tulisan Bunda sangat bermanfaat, apapun bentuknya. Berkarya terus Bunda dan sukese selalu untuk keluarga. thanks

    Yulism,
    Saya juga suka tulisanmu, terutama tentang wisata di sana, dan kulinernya….
    Banyak hal yang bisa menambah pengetahuan saya.

  26. Pasti ada rasa yang lain ketika pujian itu datang. Gak semua orang bisa memuji dan gak semua tulisan harus dipuji. Komunikasi ibu dengan buah hati dan menantu, saya mencita-cita hal seperti itu.

    Alris
    ,
    Kuncinya hanya saling memahami dan mencoba untuk mengerti…maka hubungan akan lancar

  27. saya sendiri juga baru belajar menulis fiksi, bu enny, sekitar ramadhan lalu saat menulis cerpen “kolak pisang raja”. tentunya berbeda, termasuk suasana hati saat menuliskannya, karena kita harus mencoba berada di posisi tokoh-tokoh khayalan yang diceritakan.

    sejauh ini tulisan fiksi saya baru segelintir, dan semuanya saya pos di blog, termasuk serial “kampung blagu”. namun dari yang sedikit itu, saya mendapat pengalaman baru yang sangat berbeda, karena menulis fiksi jauh lebih santai. walaupun ada pakem-pakem yang musti diikuti dan tetap bersifat persuasif, tapi lebih bisa dinikmati. entahlah, bisa jadi ini subyektif sekali.

    komunikasi melalui blog ternyata efektif juga ya, bu? senang membaca ibu senang sekali hari ini. (tapi sepertinya ibu enny memang terus in the light mood, deh)

    salam prosa, ibu. dan terus menulis!

    Marshmallow,
    Waduhh…tulisanmu bagus-bagus…tapi memang orang Minang sangat piawai dalam menulis.
    Coba baru belajar aja, kalibernya sudah seperti itu, membuat pembaca terbuai, tersenyum,
    ter pingkal-pingkal…..

    Entahlah, lama-lama saya juga semakin bisa memahami kondisi penulis, jika saya rajin membaca tulisannya….apa dalam ilmu kedokteran atau psikologi namanya? Walau mungkin setelah ketemu, bisa jadi berbeda….

  28. Anak dan orang tua kalau sudah ngeblog kayak gini, jadi kompak ya, Bu.

    Fiksi maupun non fiksi, tulis aja Bu. Nggak apa-apa, yang penting menarik.

    Edi Psw,
    Betul pak Edy….selama ada ide, tulis aja ya….
    Hmm memang ngeblog mengasyikkan, apalagi jika tahu buah hatiku ikut membaca….

  29. wew keren uy…
    anak n mother sama sama penulis..
    pengen bisa nulis bagus..kasi tips dan triksnya dunk 😀
    salut~~~

    Kuro,
    Kami masih sama-sama baru belajar….

  30. Tapi… beberapa kali saya berkunjung ke nyokap, -menurut saya- tulisannya keren-keren kok…
    *kalau berkomentar juga selalu padat berisi…

    Andy MSE,
    Wahh makasih pak…semoga juga makin bagus, doakan ya

  31. Tulisan ibu Ratna bagus sekali, saya suka dan pengin bisa menulis seperti itu. Mengapa harus berubah bu? Menjadi ibu Ratna sendiri kan lebih nyaman di hati.

    Bu Noor,
    Hmm bagaimana ya menjawabnya…karena juga ingin mempunyai kemampuan yang berbeda, dan memperluas kompetensi….
    Tapi semua itu memang tetap harus dipelajari…

  32. eric

    wah kok mirip saya ya,pelit pujian tapi pelit juga hinaan hehe.. maklum orang plegmatis bu

    Eric,
    Wahh berarti dapat pujian dari Eric, benar-benar istimewa ya…..

  33. Pakde

    Berteriak seperti Tarzan? ini juga bentuk komunikasi kan? dihalaman kantor lagi rame pada teriak tuh bun.

    Nah setelah anaknya respon begitu…terus bunda angkat disini kutipannya…respon selanjutnya apa kira2 ya…

    Saya sih nuggu cerita bersambungnya nih bun…

    Pakde,
    Cerita bersambungnya…..ntar kapan-kapan ya…..hehehe….
    Dia juga nulis di blognya.

  34. Iya, Bu Enny. Aku menangkap kok maksud Ibu dalam SMS dan E-mail kemarin. Akan aku tulis di blog. Semoga bisa cepat kukelarkan. hehe.

    Daniel Mahendra,
    Kapan aja jika Daniel udah longgar….

  35. wah, anak ibu edratna baca nova ya. Jadi teringat, waktu saya kecil saya suka baca nova. Dan saya suka Bu As. Aaaaaaah, anak ibu so swit loh…
    ..serius..

    Ikankering,
    Iya …si sulung suka baca masalah sosial, politik, bahasa…apa aja deh….

  36. heheheheh tapi emang da bu fiksinya ibu berat berat.. tapi gapapa, kan ada juga yang butuh menikmati cerita yang kisahnya bersentuhan dengan kesehariannya sendiri… yang mungkin diambilnya juga dari keseharian sendiri yah bu? hehe

    Natazya,
    Masih terlalu berat ya…..memang ternyata lebih sulit ya, menulis fiksi itu…..

Tinggalkan komentar