Hujan makin sering turun di bulan Desember, membuat kami bertiga hanya mengobrol di kamar kost. Kamar kost itu tak bisa dikatakan lebar, apalagi ditempati oleh 3 (tiga) mahasiswi, namun cukup nyaman karena dekat dengan kampus, serta punya kamar mandi sendiri. Mereka asyik mengobrol tentang kehidupan seputar kuliahnya. Kami cukup akrab, walau tak satu perguruan tinggi, kedua temanku yang lain kuliah di Akademi Kimia Analisis.
Salah satu temen sekamarku berbisik..”Udah dengar gosip?”
“Gosip apa?” kedua teman sekamar yang lain langsung menyahut.
“Kayaknya tante kost mau menaikkan uang kost,” kata A.
Malam itu aku langsung memikirkan oleh kata-kata teman sekamar tadi. Dengan orangtua yang penghasilan nya pas-pas an, kenaikan uang kost bukanlah berita yang menggembirakan. Ternyata besoknya, teman kost di rumah yang lain, dan satu jalan dengan tempat kost ku membenarkan gosip itu. “Bagaimana jika mengontrak rumah di daerah B saja?” kata salah satu teman mengusulkan. “Daerah B cukup dekat dengan kampus, dan harganya murah karena masih di daerah kampung, ” teman yang lain menimpali. “Baiklah, kita pikirkan lagi,” kata teman yang lain.
Aku mulai menghitung kembali berapa gaji ayah ibu, biaya untukku danadik-adik ku, rasanya kasihan ayah ibu jika harus menambah kiriman uang kost. Walau telah berusaha hidup seirit mungkin, tetap biaya hidup makin lama makin mahal. Kapan ya aku bisa membantu menambah uang untuk kuliah? Aku makin merenung untuk mencoba mencari jalan keluar. Besoknya teman-teman berkumpul sambil menunggu jam kuliah dimulai. Tak lama kemudian terlihat mbak Sinta, senior dua tingkat di atasku mendekat. “Kudengar kalian mau cari kontrakan ya?” kata mbak Sinta. “Iya mbak, ” kami menjawab hampir bersamaan. “Kusarankan kalian jangan mengontrak rumah. Karena nanti kalian akan banyak mendapat tamu, baik dari teman-teman yang datang untuk keperluan belajar atau lainnya, tapi tak bisa menolak. Apalagi daerah Babakan masih termasuk kampung, yang aturannya masih ketat, bagaiamana nanti jika kalian harus praktikum dan baru selesai malam hari? Nanti akan menjadi omongan tetangga dan kalian akan terganggu belajarnya,” Mbak Sinta menjelaskan. “Jika ada ibu kost, paling tidak kalian bisa mengatakan bahwa aturan di tempat kost ketat, tak boleh menerima tamu melebihi jam 9 malam,” kata mbak Sinta melanjutkan.
Seminggu kemudian surat ibu datang, menganjurkan agar aku tetap kost saja, apalagi tingkat TPB adalah masa yang masih merupakan penyesuaian, serta banyak yang di DO. Bukan rahasia lagi, jika dua tahun pertama adalah masa yang paling rawan. Jika telah melewati tingkat dua, tergantung dari kerajinan mahasiswa itu sendiri, ini menurut Guru Besar di kampus kami. Ibu, yang tahu aku suka malas makan sangat kawatir, karena kalau kontrak bersama teman-teman, makannya bisa tak teratur. Kalau di tempat kost, paling tidak makannya terurus. Nggak usah dipikirkan tentang kebutuhan kiriman uang, ibu dan bapak akan berusaha mencukupi kebutuhanmu, tulis ibu pada surat yang dikirimkannya.
Walau ibu telah menenteramkan hatiku, namun aku berjanji dalam hati untuk mencari jalan keluar. Tak terbayangkan bagaimana sulitnya kondisi keuangan keluargaku jika nanti adikku juga mulai kuliah di Perguruan Tinggi. Aku mulai bertanya-tanya tentang kemungkinan tinggal di asrama, apa persyaratannya. Persyaratan tinggal di asrama putri sebetulnya sederhana, asal orangtua tidak tinggal di kota tempatku kuliah, dan hanya mengisi form. Perasaan takut dan kawatir menggelayuti hatiku, terbayang harus tinggal bersama teman-teman dari berbagai daerah yang berbeda adat kebiasaan, apalagi aku berasal dari keluarga kecil, yang walau bukan orang kaya namun kehidupan keluarga sangat tenang. Ayah ibu sebagai guru, sangat memperhatikan anak-anaknya, dan rumah kami cukup besar di kampung sehingga terasa tenang. Namun aku juga mesti memikirkan kelanjutan sekolah adik-adik ku, agar biaya tak terlalu membebani ayah ibu.
Saat aku naik ke tingkat Sarjana Muda 1, pada awal semester 2 mendapat surat bahwa aku diterima masuk salah satu asrama putri. Hatiku berdebar, namun aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku harus mampu. Di asrama putri ini tak ada ibu asrama, namun ada banyak bibi yang bertugas membantu membersihkan kamar, mencuci dan menyetrika baju, mengepel, serta memasak. Di asrama ini, walau ada dua bibi tukang masak, namun kami bergiliran masak untuk seluruh penghuni asrama. Setiap kamar mendapat giliran masak dua hari berturut-turut untuk memasak buat seluruh penghuni asrama yang berjumlah 50 orang. Agar murah, maka yang belanja adalah penghuni yang mendapat giliran, bisa dibayangkan jika pas kena giliran, kami berbelanja untuk dua hari, dan bemo akan penuh dengan barang belanjaan kami. Pada akhirnya masing-masing penghuni punya langganan di pasar, jadi kalau beli daging, oleh penjual sudah dipotong-potong dalam bentuk irisan kecil sehingga tidak sulit membaginya.
Masakan yang disajikan harus memenuhi kriteria ini:
Makan pagi: lauknya setara dengan setengah telor atau daging, dapat dimasak dalam bentuk masakan apapun. Ditambah dua jenis sambal, ada yang menggunakan terasi dan satunya sambal tanpa terasi
Makan siang: harus ada telor atau daging, sayur, kemudian tempe/tahu yang bisa diganti lainnya. Juga sambal dua macam tak boleh ketinggalan serta buah.
Malam hari: Jenis masakan seperti makan siang hanya dikurangi buah.
Sedangkan masak nasi telah ada tukang masaknya, dan nasi siap jam 5.30 pagi. Makan siang dan makan malam harus di ruang makan, tak boleh memakai daster saat makan, namun pagi hari dapat makan di kamar masing-masing.
Sebetulnya urusan masak memasak ini tidak sulit, asalkan saat kena giliran bukan waktunya ujian atau banyak tugas. Setiap kamar mempunyai masakan yang menjadi ciri khas masing-masing. Ada yang masak apapun enak, namun juga yang rasanya tak karu-karuan. jadi, jika kamar yang kena giliran masak adalah kamar tertentu yang bisa dipastikan kurang enak, maka ruang makan akan sepi karena banyak yang diam-diam makan di luar. Teman sekamarku dari Minang, yang paling senior diantara penghuni kamar, jadi bisa dibayangkan kalau teman ini yang jadi komando. Awalnya, dia stres melihatku, mengiris bawang merah nggak bisa tipis, memarut kelapa bolak balik terkena tangan (kan saat itu belum ada kara), menggoreng gosong…hehehe. Dan selesai masak…aduhh rasanya pengin mandi dan keramas, karena badan bau sekali, tapi urusan belum selesai karena harus membagi masakan untuk seluruh penghuni.
Tak terasa aku tinggal 3 tahun lebih di asrama dengan segala suka dukanya. Dan hasilnya…paling tidak, aku bisa memasakl enam jenis masakan. Saat awal menikah, karena calon suami tahu aku nggak bisa masak (kan mending mengaku dulu…walau memang benar nggak bisa masak), di minggu pertama dia memberiku secarik kertas. Tahu nggak apa isinya? Ternyata resep “ayam bumbu rujak” tulisan ibunya… hahaha……Ibu mertuaku memang pandai memasak, dan suami sejak awal telah mengatakan pada ibunya, bahwa calon isterinya tak bisa memasak (api bisa bantu cari uang kan?…ngeles :P), jadi ibu dengan sukarela memberikan catatan resep masakan kesayangan putranya.
Kalo menurut prediksi Triunt urutannya.
Dari yang Paling enak.
Mengontrak Rumah, Menyewa Rumah Susun/Kost, baru asrama.
soalnya biasanya asrama itu disiplin banget, jadinya dikit2 lapor, dan pulang malem2 lapor.
Dan pengalaman Triunt yang dilaporin itu bukan orang yg ramah 😦
Entah kenapa, asrama selalu diletakkan pada urutan paling belakang…padahal di asrama bayarnya murah (disubsidi universitas), bebas mengekspresikan diri, dan belajar bergaul (bagi orang pendiam mungkin agak berat disini)
Tetep lebih enak tinggal di rumah sendiri
hehehehehe
Pertanyaannya kan nggak termasuk rumah sendiri
hehehe suka duka di asrama….
dulu saya ngga bisa masak mbak, pas ada tugas memasak dari akademi, saya ber 3 teman perempuan saya lebih parah, tapi teman laki2 di regu saya bisa memasak, dia ngajarin kami membedakan ketumbar dan merica bulat…katanya gerus dua2 nya, colek dikit masukin ke hidung..yg bikin kamu bersin itu merica….hehehehehe
Wieda, sebetulnya paling nyaman hidup di asrama jika kita bisa menyiasati nya…kita terpaksa atau dipaksa bisa membagi waktu, antara kegiatan kuliah, praktikum dan sosialisasi yang wajib diikuti di asrama. Dan kalau lapar..bisa berjalan-jalan ke kamar lain, siapa tahu ada yang dapat kiriman kue dari ortu nya.
Dulu, di rumahku ada 5 pohon mangga, kalau lagi musim saya dapat kiriman 2-3 karung..wahh seasrama jadi pesta mangga
..
Ceritanya nostalgia ya buk..
..
Saya pilih kontrak, karena lebih privasi..
..
Teman2ku cowok banyak yang suka mengontrak rumah rame-rame, tapi temanku cewek, jika tak tinggal di keluarga, pilihan lain adalah kost atau asrama. Saya sendiri kawatir jika anakku ngontrak, saya lebih suka mereka kost karena makannya menjadi teratur
kost yg paling enak mbak.
nggak usah ngurus rumah yg gede
Kost ini memang paling nyaman….tapi saya akhirnya merasa jika hanya kost mungkin pengalaman saya tak bertambah, disamping uang kost yang setiap kali naik.
selama kuliah 5 tahun di Yogya, selalu kos, bu. gak pernah tinggal di asrama karena ngeri dg ospeknya 🙂 tapi kos fety dulu murah banget, tahun 2006 awal meninggalkan kos harga perbulannya masih 100 ribu. Ah, jadi kangen yogya.
Kost di Yogya memang murah…saya pernah tinggal di asrama Putri UGM yang di Sagan lho, saat mau test masuk UGM. Dulu kan kalau test harus datang ke Universitasnya masing-masing, saya ikut tidur di kakak sahabatku yang tinggal di asrama putri.
Menurut saya enakan tinggal dirumah sendiri.
Rumahku surgaku, hehehe..
Itu mah, bukan menjawab pertanyaan. Siapapun akan ingin tinggal di rumah sendiri.
Kan cerita di atas pilihan antara kost, kontrak rumah atau tinggal di asrama….karena kalau orangtua tak satu kota dengan tempat kuliah anaknya, mau tak mau si anak harus memilih dari tiga hal tsb.
wah cerita jaman dulu nih ..
jadi inget jaman dulu saya, PGT (Penghuni Gelap Tetap) di kos teman hahaha.
Hehehe…PGT ini memang terkenal ya, terutama untuk kalangan cowok..kalau cewek kayaknya nggak ada deh
Wah pengalaman masa muda ya, Bu…
Saya dulu waktu SMA pernah juga tinggal di asrama dan kuliah dilanjutkan di kost2an.
Menurutku asrama itu lebih disiplin dan sebenarnya lebih menyenangkan karena semua bisa teratur dengan lebih mudah dan ada aturan sementara kost biasanya bebas sebebas-bebasnya (meski kost2an cewe biasanya tetap ada aturan).
Tapi yang lucu kok asrama tempat Bu Eni tinggal dulu ada bibi-nya? Enak bener ya hehehe :))
Asramaku memang termasuk mewah kok Don, ada bantuan dari universitas, sehingga iuran hanya untuk makan…listrik, air dan gas, serta perbaikan asrama oleh IPB.
Setiap tiga kamar mendapatkan dua bibi untuk membereskan kamar, mengepel, menyiram tanaman. Terus ada khusus bibi yang mencuci seprei…jadi si bibi akan menurunkan seprei pada hari tertentu, seprei ini juga gratis karena inventaris asrama. Terus ada dua bibi tukang masak. Terus ada tukang kebun merangkap tukang masak nasi, kalau yang ini cowok dan tinggal di asrama. Bibi lainnya hanya datang jam 6.30 pagi dan pulang jam 4 sore…makanya memasak nya giliran per kamar.
Tukang kebun, tukang masak nasi, penjaga malam (pak K) tinggal di kamar belakang asrama bersama anak isterinya. Dan karena asrama cewek, kalau ada lampu mati, semua berteriak..pak K…..Terus kalau ada yang lulus, kita semua memakai baju teman yang lulus tadi, beramai-ramai guyur mengguyur air..bayangkan baju yang nempel di badan…dan pak K yang mengepel…hehehe.
Dan kalau pulang pacaran, atau nge lab sampai malam, kita masuk asrama lewat pintu belakang, dibalik pintu ada dipan tempat tidur pak K….hahaha…jadi akhirnya pak K ini hampir tiap tahun punya anak, keresahannya ditumpukan ke isterinya, lha tiap hari diteriaki dan dimintai tolong cewek2 manja penghuni asrama …hehehe
Terima kasih mbak … terima kasih.
Tahun ajaran baru putriku mulai kuliah, sharing Mbak Ratna benar-benar bermanfaat bagiku.
Tentang mangga, jadi ingat masa kuliah. Saya juga sering mendapat kiriman buah dari desa, srikaya, mangga, pisang, jambu. Dikirim via travel jadi dalam 4 jam sudah sampai. Karena lidahku lidah desa jadi ndak suka makan buah peraman/imbon, jadi terpaksa …. makan buahnya nunggu kiriman dari desa. Dimakan ramai-ramai. Bahagia sekali.
Selamat pagi semoga mBak Ratna sekeluarga selalu bahagia.Amin.
Sama-sama mbak, semoga putrinya sukses.
Dulu ibu memang berhati-hati sekali, saya harus kost yang termasuk makan, agar tahun pertama dan kedua kuliah bisa berjalan lancar
mending ikutan di rumah mertua……
.
*alah
Lha! Kan pilihan hanya kost, ngontrak atau asrama. Dan itu cerita saat mahasiswa, jadi belum berkeluarga
belum pernah ngalamin “asrama” Bu.. 🙂
dan kayanya udah sedikit banget mahasiswa jaman sekarang yg ngalamin “asrama”
tapi antara kos dan ngontrak sih tergantung status Bu klo aldi sih, klo ‘single’ lebi enak ngekos klo ‘double’ enak ngontrak ..
status terakhir sih ‘double’ tapi kondisinya ngontrak sendirian hahahaha karena pasangan nun dekat di Bandung … yaaa menunggu rumah kecil itu jadi, soalnya mo balik ngekos udah ga mungkin, barang2 di kontrakan udah keburu banyak
baca cerita Ibu (dan orang tua aldi), jaman dulu kuliah kok ribet banget ya? ada sarjana muda .. klo di swasta, ada ujian negeri dll
Saat ini asrama memang terbatas, karena jumlah mahasiswa jauh lebih banyak. Dulu kan setiap penerimaan nggak banyak, sehingga tertampung di asrama, hanya yang memang tak mau tinggal di asrama yang kost di luar…atau belum memenuhi persyaratan.
Dulu kuliah memang banyak yang DO….kalau nilai ujian ada yang mati (nilai 4), walau yang lainnya lulus, akan mengulang semua tahun depan…Tapi memang kuliah mendapat banyak dukungan, hanya bayar uang kuliah, buku-buku tidak beli, penelitian yang nilainya jutaan pun tak bayar, bahkan dapat uang honor…itu kalau udah melewati masa Sarjana Muda.
Kuliah di swasta saat itu memang harus ujian negeri, kecuali yang dipersamakan.
Bu, dulu waktu kuliah saya juga di asrama. Awalnya sih kagok, tp lama2 menikmati juga. Memang kadang saya pengen juga kost, tp sama ortu nggak boleh. Setelah lulus sempat kos, tapi cuma sebulan. Entah kenapa, saya kurang bisa menikmati kos. Mungkin karena kelamaan di asrama ya? Dan akhirnya ortu bikin rumah di Jogja. Jadi, ya akhirnya lebih menikmati rumah sendiri… hehehe… Tapi saya terkesan sekali masa2 di asrama. Saya dapat teman2 baik selama di sana. Dan sampai sekarang masih berkontak, masih akrab. Menyenangkan 🙂
Awalnya memang deg2an masuk asrama, yang ditakutkan kan ospek nya…apalagi cewek semua…
Memang grogi juga, tapi setelah dilalui lebih banyak sukanya
Saya masuk asrama putri sejak SMA. serunya ketemu dgn teman-teman dari kota yang jauh-jauh…rame sangat…
Waktu kuliah pun saya tetap memilih tinggal di asrama mahasisiwi.. lebih seru…lebih heboh..soalnya lebih banyak penghuninya…
Memang mengesankan tinggal di asrama Bu…pengalaman saya jadi bertambah, nggak pusing soal makanan tiap harinya..
pokoknya asyik deh…
Sebetulnya memang asyik di asrama. lebih murah (karena ada subsidi dari universitas)….cuma mau masuk awalnya agak-agak serem…
Hiks … saya nggak punya pengalaman tinggal di kost atau asrama, karena selamanya sekolah dan kuliah di Yogya, jadi tinggal di rumah orangtua sendiri. Wah, pengalaman hidup kurang lengkap deh … 😦
Seru ya Mbak tinggal di asrama (eh, itu asrama yang angker itu ya? Yang kalau Mbak Enny pulang habis malem Mingguan, copot sepatu terus lari ke kamar? hihihi … 😀 )
Lha kan malah enak mbak Tuti….bagaimanapun di rumah sendiri memang paling nyaman.
Ndutz suka kost Bun..hehe soale kan kalo plg kuliah malem setelah capek kerja bisa langsung tidur, nggak bingung musti mbersihin apa2 dl 😀
Setelah kerja, dan masih lajang, saya juga kost…tapi kalau udah akhir pekan bosen kalau cuma di kamar aja….jadi mesti banyak kesibukan
saya termasuk golongan yang beruntung, Alhamdulillah… Tidak perlu pusing memikirkan soal biaya kuliah dan kost, jadi kalau ada kenaikan uang kost ga terlalu terasa
Itu sekarang, saat masih kuliah di Malang kost kan?
asrama: ketat banget. kontrak: pembengkakan biaya hidup aliaz lebih boros. kost: lumayan irit, soal aturan lebih fleksibel.
Betulkah kost lebih murah, dan aturan feksibel? Mungkin jika kost nya tanpa ibu pemilik rumah ya
tks buat infonya, nti sy coba survey asrama putrinya buat anak saya..