Jika terpaksa harus berjauhan

Pada saat sekarang, ketika kaum perempuan semakin banyak yang berkarir di luar rumah dan menduduki posisi penting, maka pasangan yang tinggal berjauhan merupakan hal yang sangat umum. Jika dahulu, atasan tidak berani memberi tugas karyawati untuk bepergian ke daerah yang kurang dijamin kenyamanan dan atau keamanan nya, sekarang  tak ada lagi perbedaan gender. Perusahaan juga mengakomodasi untuk menanggung  biaya pengobatan keluarga karyawati. Adalah hal biasa saat ini,  jika suami atau anak sakit, perusahaan di tempat karyawati bekerja dapat menanggung biaya rumah sakit, dokter dan biaya operasi, sama halnya jika yang bekerja adalah kaum laki-laki. Hal yang tak pernah terbayangkan di zaman saya awal  bekerja.

Kondisi tersebut tentu juga mempunyai risiko, sekarang baik pria maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama, sesuai hasil kinerja nya. Suatu pagi saya mendapatkan sms dari teman saya, bahwa sejak sebulan yang lalu dia dipindahkan ke Kantor Cabang Mataram. Saya bertanya bagaimana dengan anak-anak? Temanku menjawab, anak-anak lebih memilih tetap sekolah di Bogor bersama ayahnya. Hal yang sangat biasa, bahkan di perusahaan saya, banyak sekali karyawati yang harus berjauhan dengan suami, karena ditempatkan di luar Jawa, serta setiap kali bisa diikutkan dalam mutasi (pindah tugas).

Saya sendiri, dalam sejarah pernikahan kami, nyaris 90 persen  tinggal berjauhan, karena saat itu kami telah setuju bahwa pernikahan tidak berarti karir salah satu pasangan harus tamat. Kami menganut pemikiran, bahwa pernikahan yang bahagia adalah jika masing-masing tetap punya “room” untuk meningkatkan karirnya, untuk melaksanakan hobi, sepanjang tetap bertanggung jawab untuk memperhatikan anak-anak. Banyak teman saya yang sama kondisinya seperti saya, dan tetap aman-aman saja, semua tergantung komitmen pada pasangan. Memang ada juga yang mengkritik, memberi saran, biasanya saya hanya mengucapkan terimakasih, karena pada dasarnya masing-masing rumah tangga adalah unik, berbeda antara rumah tangga yang satu dengan lainnya.

Jika selama ini saya kadang suka merasa bersalah, apakah yang saya lakukan benar, ternyata dari sisi psikologi apa yang saya lakukan tidak salah, bahkan bisa membuat pernikahan kuat, sepanjang komitmen antar pasangan tetap kuat. Dari artikel yang saya baca di Kompas Minggu, tanggal 5 Juni 2011 halaman 18, pada rubrik  psikologi, ada surat pembaca dari seorang laki-laki yang baru menikah 8 bulan, saat pacaran  bahkan setelah berumah tangga tinggal berlainan kota, kira-kira jarak tempuh 1 (satu) jam melalui udara, atau 10 jam melalui jalan darat. Saya langsung mengkopi rubrik tersebut dan saya kirimkan ke anak sulungku, yang juga mengalami persoalan yang sama.

Inilah ringkasan jawaban psikolog Agustine Dwiputri atas pertanyaan tersebut:

Davidson and Moore (1996), menyimpulkan (berdasar penelitian) bahwa perkawinan jarak jauh atau commuter marriage,  memberikan  keuntungan, karena:

  • Kebebasan gaya hidup seperti ini memungkinkan setiap pihak untuk mengejar tujuan karir nya dan mengabdikan diri sepenuhnya pada waktu kerja yang panjang tanpa gangguan. Sebagian besar pasangan melaporkan bahwa lebih mudah untuk menyelesaikan pekerjaan dan mencapai kebutuhan mereka dalam mencapai karier. Kesempatan untuk peningkatan karir menjadi lebih besar karena berkurangnya tekanan sehari-hari dan kemampuan untuk mengabdi pada pekerjaan tidak terganggu oleh waktu, termasuk malam hari dan akhir pekan.
  • Tiap pasangan memiliki peluang lebih besar untuk memilah pekerjaan dan peran keluarga karena mereka bekerja di lokasi yang terpisah dari keluarga.

Kerugian:

  • Pasangan mungkin mengalami perasaan terasing dan mengembangkan kecenderungan kuat untuk menjadi seorang pecandu kerja (workaholic). Pada kenyataannya banyak pasangan sering terlibat dalam hari kerja yang panjang untuk mengisi waktu mereka. Beberapa orang lain mungkin saja awalnya sering menghabiskan waktu secara tidak efisien dan tidak mampu berkonsentrasi dalam lingkungan kerjanya.
  • Biaya hidup bagi pasangan semacam ini biasanya sangat mahal karena mereka harus membiayai dua rumah tangga yang terpisah. Keadaan ini akan terasa bila masa perkawinan sudah cukup panjang dan lahir anak-anak dalam perkawinan mereka.

Perkawinan jarak jauh hanya memiliki stress minimal bila pasangan memiliki komitmen karir yang kuat, baik bagi dirinya sendiri maupun pasangannya. Ketersediaan sumber keuangan yang memadai untuk memenuhi pembiayaan dua rumah tangga dan pemantapan pola komunikasi yang efektif akan berfungsi untuk mengurangi stress. Mereka juga cenderung lebih sedikit mempunyai anak yang terlalu bergantung.

Bagi pasangan muda yang masih perlu lebih banyak waktu untuk saling menyesuaikan, mungkin ada konflik lebih lanjut mengenai karir siapa yang harus dipertahankan dan dikalahkan, agar bisa tinggal satu atap. Kebanyakan orang berasumsi bahwa perkawinan jarak jauh memiliki pernikahan yang lemah, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Mereka justru lebih sering mengupayakan lebih banyak waktu, uang dan usaha untuk kehidupan pernikahan mereka. Perkawinan semacam ini sebenarnya memungkinkan pasangan untuk mengevaluasi kembali pernikahan mereka dan mempertimbangkan perubahan yang sesuai dalam hubungan perkawinan yang mungkin perlu dilaksanakan setelah bersatu kembali.

Berlainan dengan anggapan umum, ternyata perkawinan semacam ini kurang mungkin berakhir dengan perceraian, karena pasangan lebih berkomitmen untuk pernikahan mereka, jika tidak mereka tidak akan repot-repot dengan upaya tambahan yang dibutuhkan untuk mempertahankannya. Selain itu, mereka juga tidak cenderung melakukan hubungan seksual di luar nikah, daripada pasangan yang hidup serumah. Menurut Kantrowitz (1985), jika perkawinan tersebut sejak awal memang sudah lemah, mungkin memang akan gagal.

Menurut Tina Tesina (2008), seorang terapis yang tinggal di California dan penulis buku tentang hal ini, mengatakan  menghabiskan waktu terpisah sebagai pasangan adalah merupakan berkah dan sekaligus masalah. Bila anda memiliki kesempatan untuk hidup terpisah, hal itu dapat menyegarkan hubungan anda dan mengingatkan tentang apa yang paling anda cintai dari pasangan anda. Di sisi lain, jika anda mulai membenci perpisahan dan tidak berkomunikasi dengan baik saat anda sedang terpisah, pernikahan anda mempunyai potensi untuk cepat terurai.

Pengalaman saya sendiri:

Apa yang diuraikan oleh psikolog tersebut benar. Jika komitmen pasangan kuat, segala sesuatu mudah untuk dikomunikasikan. Yang sering membuat lelah, adalah komentar para pihak di luar pasangan itu sendiri, namun jika tidak ditanggapi, maka mereka juga tak bisa mempengaruhi.  Pada akhirnya semua kembali pada tujuan awal mengapa menikah, serta komitmen antara kedua pasangan. Pasangan yang saling mencintai, dan mendukung karir masing-masing tidak pernah mempunyai masalah serius, kebetulan pada lingkungan kerja saya banyak pasangan yang terpaksa berpisah kota tempat tinggal karena karir. Semoga bagi yang menjalani tinggal berjauhan dengan pasangan, pendapat dari psikolog tadi dapat memberikan pencerahan, karena pada akhirnya terpulang pada keinginan dan keputusan masing-masing.

Bahan bacaan:

  1. Agustine Dwiputri. “ Cintaku Berat di Ongkos.” Kompas minggu, 5 Juni 2011 halaman 18.
  2. Pengalaman penulis menjalani commuter marriage.
Iklan

23 pemikiran pada “Jika terpaksa harus berjauhan

  1. Saya belum pernah membayangkan untuk hidup terpisah dgn pasangan bu. Bukan tidak bisa, tapi lebih ke anak-anak. Padahal dulu saya sebetulnya ingin tetap single dan tidak menikah. Tapi jika keadaan memaksa, mungkin memang harus menjalaninya. Untuk sementara ini masih belum perlu.

    EM

    Mau nggak mau pekerjaan saya sering menuntut tinggal berjauhan dengan pasangan…risiko pasti ada, namun karena jaraknya masih lumayan dekat (4-5 jam zaman dulu, setelah ada Cipularang cukup 1,5 – 2 jam jika malam hari), jadi tak masalah. Anak-anak menjadi lebih mandiri…saat mereka kecil memang agak kawatir, namun karena saya tinggal di perumahan dinas, yang tetangganya banyak yang seperti saya, suasana mirip keluarga besar. Bahkan saat saya turne, si mbak kena tifus, tetangga yang membawa ke rumah sakit dan di rawat…saya pulang-pulang tinggal bayar tagihan.
    Tinggal di rumah dinas, dengan dua rumah tangga, yang berat di masalah keuangan, namun dengan hidup sederhana, yang penting anak-anak bisa sekolah, kursus bidang yang disukai….ternyata menyenangkan. Dan saat saya turne dan tidur di hotel, jika kebetulan di kota tempat anak-anak kuliah…maka anak-anak dan temannya bisa ikut ditraktir, makan dan tidur di hotel, tentu biaya pribadi.

  2. salah sih enggak ya bu… cuma pasti berat sekali ya harus pisahan begitu…..
    dulu pas masih pacaran aja ngejalanin ldr gitu susah banget, apalagi kalo udah ada anak ya…

    tapi ya kadang emang situasi mengharuskan begitu ya mau gimana lagi ya. dulu papa saya juga sempat kerja di bangka, tapi kita semua tetep milih untuk tinggal di jakarta. yah berat.. tapi mau gimana lagi…

    Kondisi saat ini membuat pasangan banyak yang terpaksa tinggal terpisah. Walau kadang isteri menjadi ibu rumah tangga, namun karena kantor tempat saya bekerja mempunyai banyak cabang di seluruh Indonesia, maka mutasi sering terjadi. Pada saat anak-anak besar, harus memilih tinggal dimana…risikonya, isteri yang harus membagi tugas, pulang pergi mengunjungi suami dan anak.
    Saat anak menjelang remaja, pada umumnya pasangan sudah memilih tempat tinggal yang tetap, di kota tempat anak-anaknya sekolah…dan anak sekarang tak mau ikutan pindah lho…apalagi cuma dua tahun, pindah lagi….

  3. Teman yang baru bisa bertemu suami setiap 2 minggu sekali bercerita dengan kondisi ini jika memiliki persoalan jadi berusaha cepat menyelesaikan dan merasa setiap pertemuan selalu berkualitas.

    Adik saya juga berbeda pulau dari ipar saya, bayinya sedang lucu-lucunya. Alhamdulillah ada video call yang bisa mempersempit jarak.

    Terimakasih sharing-nya Bu, siapa tahu kelak berguna untuk saya. 🙂

    Saat ini, tinggal satu atap benar-benar sebuah karunia…bahkan untuk keluarga yang isterinya tak bekerja.
    Teman suami, bekerja di perusahaan minyak..tinggal di luar pulau Jawa, kecantol isteri nya ya pas kerja di perusahaan itu, kemudian isterinya berhenti bekerja karena tak boleh menikah dan bekerja pada satu perusahaan.
    Setelah anaknya besar (usia sekolah SMP), keluarga itu boyongan ke Bandung, agar anak-anaknya mendapat tempat sekolah yang bagus. Ayahnya pulang pergi setiap dua minggu sekali…lama-lama capek..sekarang pindah kerja di Jakarta. Isteri dan anak tetap di Bandung, anaknya sekarang sudah lulus kuliah dua-dua nya…barulah tugas isteri lebih ringan karena berani meninggalkan anaknya di rumah.

  4. ..
    jika harus berjauhan.. siapa takut.. hehehe..
    memang kelihatan berat, tapi semuanya kalau sudah dijalani maka akan terbiasa.. tul gak Bu..?
    ..

    Iya, semua tergantung komitmen sama pasangan….ada juga yang tak bisa ditinggal jauh, ada juga yang ingin punya isteri tak bekerja dan lain-lain.
    Jadi..pada akhirnya kita memang memilih pasangan yang sesuai dengan karakter dan tujuan hidup yang sama.

  5. ibu enni,,,saya pun sempat terpisah dengan suami selama 1 tahun 4 bulan, hanya sebentar ya bu…tapi itu kan dengan masa pernikahan yg baru 5 th…
    untuk kedepannya suami mengatakan bisa jadi akan dipindahkan ke kota lain. sedangkan saya sendiri di kantor hanya mendapat kesempatan 2 kali untuk mutasi mengikuti suami, karena suami saya tidak sekantor dengan saya, dia swasta yang juga memiliki cabang-cabang di kota lain. kalau memikirkannya tentu saja berat ya bu,,tapi jika sudah dijalani insya allah dengan komitmen kita akan mampu…

    di kantor saya banyak sekali pasangan yang berpisah jauh dengan keluarganya..dan itu sudah biasa.

    Iya…dulu memang jarang, namun di satu sisi karir perempuan juga terbatas, untuk naik jabatan harus berjuang berlipat kali baru terlihat. Sekarang perbedaan gender masih ada, tapi hanya sedikit dan kesempatn perempuan terbuka lebar, hanya kita mau memilih kemana.
    Mungkin..karena saya lahir dan dibesarkan oleh ibu pekerja, jadi rasanya tak ada masalah..kebetulan suami mendukung sejak belum jadi suami, bahwa pernikahan bahagia antara lain, jika karir masing-masing juga sukses. Justru dia yang menyemangati saya kalau saya ragu-ragu untuk ambil tantangan.

  6. Salah satu hal yang saya kagumi dari Mbak Enny adalah ini : Mbak Enny mampu membangun keluarga yang bahagia dan anak-anak sukses padahal hidup berjauhan dengan suami.

    Memang betul Mbak, kunci keberhasilan perkawinan adalah pada komitmen yang ada antara pasangan. Meskipun hidup serumah, jika komitmen antar pasangan lemah, bisa saja salah satu (atau dua-duanya) selingkuh, tidak bertanggung jawab pada keluarga dan anak-anak, dan akhirnya pernikahan berantakan.

    Selamat buat Mbak Enny, patut dijadikan contoh bagi pasangan-pasangan muda yang terpaksa hidup berjauhan 🙂

    Alhamdulillah mbak..saya beruntung mendapat pasangan yang mengerti ….
    Karena dibesarkan dari kedua orangtua bekerja, saya juga menginginkan karir yang terbuka lebar…..setinggi apapun saya bisa meraihnya. Memang saat anak-anak kecil “agak tersendat” karena saya lebih memilih dekat dengan anak-anak, agar bisa menemani membuat PR, bisa menenangkan kalau mereka resah…namun semakin mereka besar dan mandiri, saya juga berani mengambil tantangan yang disodorkan pada saya. Dan suami bangga atas setiap kemajuan yang saya peroleh, mendorongku, memback up kegiatan anak-anak jika saya harus turne dan lain-lain. Oleh karena itu saya percaya, di balik wanita karir, ada seorang pendamping yang mau memahami….untuk itu saya nggak jadi supermom…namun mengandalkan bantuan si mbak, yang akhirnya menjadi seperti keluarga karena telah ikut dan tinggal di rumah belasan tahun,

  7. Subhanallah.. Ibu bisa menjalani kehidupan pernikahan berjauhan seperti itu, dengan baik. Karena toleransi yang tinggi pada setiap anggota keluarga 🙂
    Sudah banyak contoh di sekitar saya yang rumah tangganya tidak ‘mulus’ karena berjauhan, Bu…

    Saya juga bersyukur Akin, mempunyai pasangan yang memahami saya….
    Memang banyak yang berakhir tak bahagia, tapi itu lebih karena komitmen mereka tak kuat, bukan karena berjauhan.
    Di satu sisi, di sekeliling saya banyak yang seperti saya…teman suami juga sama…jadi memang sebetulnya yang dijaga terus komitmen masing-masing.

  8. setiap pilihan mempunyai resiko masing-masing ya bu… semoga saja pengalaman ibu ini bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi kita jika suatu saat dihadapkan pada masalah yg sama…

    Betul Mechta, ini sudah saya sadari sejak lulus kuliah dan bergabung di perusahaan. Namun karena lingkungan saya semuanya hampir mirip….jadi ya tak masalah.
    Sekarang, walau isteri tak bekerja, suatu saat juga terpaksa tinggal berjauhan, jika suami ditempatkan di kota kecil, isteri dan anak-anak tetap di kota yang ada fasilitas sekolah lengkap. Jadi isteri yang mondar-mandir. Ikut pindah sudah bukan pilihan lagi, karena setiap 2-3 tahun akan pindah lagi ke tempat baru.

  9. mbaaaaa…
    memang balik lagi ke komitmen dari masing masing pasangan ya mba…walopun waktu jaman kerja dulu aku seneng karena dapet duit sendiri, tapi jujur aja aku gak ngerasa terlalu bersemangat untuk punya karir disitu…biasa biasa aja…

    Malahan kepikiran kalo anak2 udah rada gede, pengen punya sampingan…tapi yang sesuai ama passion aku…jadi kerjaanku ada ‘feel’nya gitu…tapi belum tau mau yang kayak gimana…mungkin sesuatu yang ada hubungannya ama drama korea kali…hihihi…jadi artis korea khusus adegan romantis ajah…hihihi…

    Tapi pengalamanku LDR sama ama abah adalah…ketika berjauhan, kita berusaha untuk tidak meributkan hal hal sepele yang gak penting…tapi sekalinya berantem…seringnya sih nanggung…hihihi…lagi heboh berantem tiba tiba…pret…pulsa abis…hihihi…

    Betul Erry, balik ke komitmen pasangan masing-masing…juga kembali pada karakter kita, ada yang ingin bekerja sesuai passion nya, ada yang ingin mendaki karir dengan jelas setiap tahapannya (ini mungkin saya, pengin tahu seberapa bisa saya naik….dengan tantangan yang makin berat, jam kerja yang makin panjang, tapi anak-anak harus tetap menjadi anak baik…..dan saya suka tantangan).
    Dan karena LDR, saya mengandalkan pihak ketiga jika terjadi sesuatu….jadi punya tukang yang siap perbaiki jika sewaktu ada keadaan darurat. Dan saya tinggal di kompleks rumah dinas…sehingga fasilitasnya memenuhi, semua tetangga seperti keluarga, karena mereka semua teman satu kantor….anak-anak bisa bermain, bersepeda, yang sayangnya tak ada pohon yang bisa dipanjat…maklum halaman rumah dinas kan ditanami bunga, bukan pohon besar. Dan saya punya langganan dokter anak yang bisa di gedor di rumahnya setiap saat (karena isterinya juga dokter), dokter gigi langganan yang bayarnya belakangan, serta kompleks rumah saya dekat Puskesmas yang Kepala Puskesmas nya isteri teman suami….Jadi saya tak kawatir meninggalkan anak-anak saat turne, bahkan saat ayahnya tak ada di rumah, karena tahu jika darurat ada aja yang menolong. Saya bersyukur atas semua lingkungan ini. Namun kenyamanan ini dengan sedih harus ditinggalkan, saat saya MPP (Masa Persiapan Pensiun) dan harus pindah ke rumah sendiri. Syukurlah para tetangga di rumah sendiri ini juga baik, walau rata-rata suami isteri bekerja….si mbak pun krasan karena bisa kenal dengan si mbak rumah tetangga, saling menolong jika ada kesulitan…

  10. Saya sih ngga mau meski peluang itu hidup terpisah karena pekerjaan ada (beberapa waktu lalu ada beberapa tawaran kerja buatku dari kota lain).

    Kenapa, karena selama pacaran pun kami sudah pisah negara, sekarang nggak mau ah heheheh…

    Kalau bisa bersama dalam satu kota, kenapa tidak? Cerita saya kan kalau kita bekerja di perusahaan yang cabangnya banyak, dan sejak awal tahu (bahkan belum menikah) kalau bakal di pindah2. Sebenarnya menantang karena mengalami dan kenal berbagai budaya….saya masih bersyukur hanya di Jakarta…coba bayangkan kalau saya juga mesti pindah, sempat ada rumor juga…syukurlah tak terjadi.
    Masalah ini sebenarnya tak sulit, asalkan pasangan kita mendukung…..dan suami saya mendukung lho…1000% malahan.

  11. He he he yang sabar mbak…

    Lho! Mungkin karena baru datang ke blog ini dan tak baca semua…jadi salah menangkap ya…
    Saya sendiri sudah lewat mas…lha sekarang udah pensiun, tulisan ini saya persembahkan untuk yuniorku, untuk teman-temanku, keponakan…yang mengalami konndisi commuter mariage.

  12. memang kalo keadaan terdesak kita tidak lagi punya pilihan, tapi dalam keadaan berpisah tersebut biasanya kami mencari solusi untuk berpindah pekerjaan agar bisa tinggal bersama. karena kedua ortu dan mertua juga tidak setuju, sperti yg pernah saya lakukan waktu bekerja di vietnam dan istri di kamboja. dalam setahun akhirnya diberi jalan juga oleh yang diAtas untuk bersama kembali.

    Hmm biasanya ortu, mertua dll…penginnya seatap…tapi banyak pekerjaan walau tetap serumah, namun bepergian terus. Juga teman-teman yang bekerja di pertambangan, pasti jarang di rumah, juga TNI…
    Mungkin karena saya berada dilingkungan yang ayah ibu sering bepergian karena tugas, hal tsb tak menjadi masalah. Kuncinya, komitmen dan jangan terpengaruh komentar orang lain..yang penting antara pasangan itu sendiri, beserta anak-anak nya. Kenyataan nya…anakku tak ada masalah…karena teman-teman nya juga mengalami hal sama.

  13. Saya juga membaca artikel yang Ibu maksud. Saya bisa membayangkan untung ruginya, karena dulu waktu kami pacaran jg beda kota. Memang itu semua kembali kepada pasangan masing2, bagaimana komitmennya. Dan memang biasanya yg membuat goyah adalah masukan dan komentar dari orang2 di luar. Kalau kita yang menjalaninya asyik2 saja, saya pikir itu tidak apa2. Tapi saya sendiri memilih untuk tidak berjauhan dengan suami. Karena itu pula, saya melepas pekerjaan yang sudah saya jalani hampir 7 thn.

    Iya artikel itu saya simpan…saya copy dan dikirimkan ke anak-anak. Muncul untuk menuliskannya, beserta pendapat psikolog itu, siapa tahu ada yang tak sempat baca di Kompas…apalagi setelah saya cek di Kompas.com tidak ada. Semua memang terpulang pada pasangan masing-masing Kris, justru disitulah letak kuncinya.
    Suami, karena dosen, selalu mendorong isteri, anak keponakan mengejar karir setinggi mungkin…walau masing-masing pada akhirnya menyesuaikan dengan kondisi keluarganya.

  14. salut bu, beberapa teman saya juga tinggal berjauhan dengan pasangannya, dan biasanya semua karena faktor pekerjaan. Sebagian besar sih tetap langgeng, malah katanya lebih berkualitas hubungan mereka.

    Saya sendiri, selalu mematok tidak mau dapat pasangan yang pekerjaannya menuntut berpindah2 lokasi 😀 saya, yang kata orang termasuk perempuan mandiri, justru tidak yakin akan sanggup menjalankan roda pemerintahan rumah tangga saya sendirian. bertolak belakang yah?

    Dan saya sangat bersyukur ketika akhirnya berjodoh dengan laki2 yang bisa bekerja di rumah, jadi bisa setiap saat bersama. Tetapi ketika berpikir tentang perpisahan (meninggal), saya pikir mungkin pasangan yang terbiasa berjauhan akan lebih siap kehilangan pasangannya, ketimbang saya yang sudah terbiasa ‘manja’ yang ketergantungan dengan keberadaan suami. semoga saja, ketika waktu kami tiba, saya tetap bisa dikuatkan.

    Eh kenapa saya mikirnya jauh begitu ya? Hehehe … tau deh bu, apa mungkin ada faktor blum punya momongan sehingga maunya dekat2 suami terus ya hehehe …

    Nique,
    Pemikiran itu tak salah..karena kita memang harus siap setiap saat. Pasangan yang berkualitas, akan membuat pasangan mandiri, walaupun berkarir (entah di rmah, di kantor, atau karir sebagai ibu rumah tangga), tapi masing-masing pasangan harus tetap punya “room” untuk menyalurkan hobinya…sehingga tercipta hubungan relasi dalam perkawinan yang sehat.

  15. ibu artikelnya bagus sekali. Sudah menikah hampir 3.5 tahun, baru sekitar 4 bulan kita mmg bisa bareng-bareng. Alhamdulillah ada jalannya. Dulu juga sama mikirnya, bu, gpp jauh-jauhan tapi karena beberapa hal yang terjadi di awal tahun ini akhirnya kita berdua memutuskan sebisa mungkin untuk bisa bareng.

    Kalau boleh memilih sih, tak ada yang ingin berjauhan….namun kadang keinginan tak sesuai dengan kenyataan…justru kita harus siap menghadapi kenyataan apapun.

  16. Benar Bu, justru orang2 di luar pernikahan yang menjadi pengganggu dan kadang2 concern mereka itu, meskipun saya tau itu baik, tapi terasa mengganggu.. padahal saya dan suami yang menjalani malah biasa2 aja dan saling percaya.. 🙂

    Yang penting komitmen berdua dulu kok..lainnya kan bisa kita diskusikan, buruk baiknya….kadang mereka tak tahu semua alasan kita kan?

  17. Wah, dulu pernah merasakan tinggal terpisah waktu suami ke tehran sementara saya belum bisa ikut, bu. Ffiiuuhhh, gag enak bener hehehehehe… waktu itu cuma 3 bulan. Terus waktu ke Jeddah juga pisah dulu, ditotal bisa setahun, tapi per 3 ato 4 bulan ada ketemunya. Sama-sama merasa gag cocok kalo jauh-jauhan :D, jadi yah… kalo buat saya, resign dari karir yang sudah dirintis selama 7 tahun adalah yang terbaik *buatKamiPribadi* 😉 … salut buat yang sanggup menghadapinya seperti Ibu Enny 🙂

    Kalau pisahnya jauh sekali memang berat….suami saya kan masih di dalam negeri, dan jaraknya ya tak terlalu jauh.
    Berat jika saat saya sibuk, suami sibuk, anak-anak sakit…tapi semua harus dihadapi..karena saya mengalami masa kecil yang kedua orangtua bekerja, malah lebih mandiri.

  18. saya kerja d tangerang tetapi calon istri di djogja baru menyusun skripsi . tetapi kita sudah mempunyai komitment kuat menikah bulan februari 2012,,tapi keluarga calon istri masih berat ,, gmn ya
    tp menurut kami,kita bisa dan saling percaya karena kedewasaan kita…?
    terimakasih

  19. agus

    Sejak baru pertama kali menikah saya dan istri sudah hidup berjauhan. Saya bekerja di kalimantan barat, istri kuliah di jogja. Ketika istri lulus kuliah, kami memutuskan untuk punya anak dulu, karena saya sering bertugas ke luar kota selama berhari2, kami sepakat agar istri tinggal dg orang tuanya d jawa barat. Ga enak ninggalin istri sedang hamil d daerah asing sendirian. Karena pekerjaan saya yg mobilitasnya sangat tinggi , akhirnya istri tetap tinggal d jawa barat. Sekarang dah 4 tahun dan masih seperti itu.

  20. Rony

    Kesabaran itu diuji ketika dari pihak keluarga, orang lain, orang-orang terdekat yg sering kasih saran, kritik tanpa bisa kasih solusi seakan kita seperti suami yg kurang bertanggung jawab membiarkan istrinya diluar jangkauan. Bisa maklum mereka belum paham dan menganggap hal ini keliru. Modalnya komitmen dan komunikasi. Bagaimanapun juga gk ada pasangan yang bercita-cita menjalani hidup model seperti ini, karena semua masih dalam proses. Hanya yakin dan terus berusaha supaya bisa bersatu.
    Terimakasih mbak bagi pengalamannya ,,, 2 th berjauhan kerja (pasuruan-jakarta, ketemu setahun bs diitung jari), mohon doanya buat semuanya semoga kami bisa segera bersatu dalam atap yang sama.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s