Restrukturisasi yang efektif guna meningkatkan kinerja Bank

Krisis finansial global menyebabkan Bank banyak yang mengerem laju pertumbuhan kredit menengah dan korporasi, sebaliknya meningkatkan portofolio di segmen ritel dan mikro. Sektor UKM diyakini mampu bertahan terhadap krisis. Bank banyak yang agresif melakukan ekspansi di sektor mikro ini. Berhasilkah ekspansi di bidang ini? Dari data Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia, terlihat bahwa NPL (Non Performing Loan) di sektor UMKM mulai merangkak naik. Posisi earning asset (Aktiva Produktif)  seluruh Perbankan sampai dengan akhir Desember 2009 sebesar Rp. 2.464.256 milyar, meningkat sebesar 1,2   persen, dibanding akhir Desember 2008 yang mencapai sebesar Rp. 2.242.282 miliar. NPL secara nasional secara prosentase juga meningkat, dari 3,20 persen  menjadi 3,31 persen, namun masih di bawah standar yang diperkenankan yaitu 5 (lima) persen. Yang dikawatirkan, justru terjadi kenaikan NPL yang cukup besar di sektor UMKM, dari sebesar Rp. 18,803 milyar pada akhir Desember 2008 menjadi Rp. 22.720 miliar pada akhir Desember 2009 atau naik 1,2 persen. Total NPL sektor UMKM ini menduduki porsi 48 persen dibanding total NPL secara nasional.

Apabila kita membaca Kontan (no.33 edisi8 – 14 Maret 2010 hal.33-35) serta beberapa pemberitaan di media, maka Perbankan patut mewaspadai dan segera melakukan langkah perbaikan. Bagaimanapun, membengkaknya NPL akan meningkatkan risiko kredit, yang kalau tak segera diperbaiki akan menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan pada manajemen, menurunkan credit ratings, serta meningkatkan cost borrowing, sehingga pada gilirannya akan semakin mahal untuk upaya peningkatan modal Bank. Bila terus berlanjut, maka dapat menurunkan reputasi, yang dapat menyebabkan liquidity problem, dan pada akhirnya bisa menyebabkan Bank gagal. Dalam kaitan untuk melakukan sharing session, IPRA (Indonesian Risk Professional Association) mengadakan workshop selama dua hari kerja pada tanggal 24-25 maret 2010,  yang berjudul ” Rekstrukturisasi yang efektif guna meningkatkan kinerja Bank“, diselenggarakan di hotel Ibis, Arcadia, Jakarta Pusat. Peserta dari berbagai Bank, antara lain Bank BTN, Bank Syariah Mandiri, Bank DKI, serta Bank BRI berdiskusi, sharing pengalaman dalam upaya agar dapat mengelola NPL pada tingkat yang tidak membahayakan bagi kelanjutan Bank.

Pembicara, dan peserta berpose bersama (foto diambil dari FB Ibu Gayatri, Ketua IRPA)

Pengertian Restrukturisai dalam arti luas (menurut Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia atau PAPI, revisi 2001), mencakup perubahan struktur organisasi, manajemen, operasional, sistem dan prosedur, keuangan, aset, utang, pemegang saham, legal dan sebagainya.  Restrukturisasi Kredit menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya pada Bank. Restrukturisasi dapat dilakukan dalam berbagai cara,  serta dapat dilakukan pada saat kredit belum termasuk kriteria Non Performing Loan. Restrukturisasi kredit bertujuan untuk penyelamatan kredit sekaligus menyelamatkan usaha debitur agar kembali sehat. Restrukturisasi kredit dapat dilakukan apabila Bank mempunyai keyakinan bahwa debitur masih mempunyai prospek usaha yang baik, dan mampu memenuhi kewajibannya setelah kreditnya direstrukturisasi (Papi, rev 2001).

Dasar Hukum Pelaksanaan Program Restrukturisasi Kredit

  • Undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan uu no.10 tahun 1998
  • PBI No.7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 dan SE BI No.7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Kualitas Aktiva Produktif
  • PBI no.2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000 tentang perubahan Surat Keputusan Direksi bank Indonesia No.31/150/Kep/Dir tanggal 12 Nopemer 1998 tentang Restrukturisasi Kredit
  • SE BI no.7/190/DPNP/IDPnP  tanggal 26 April 2005, dan SE BI no.7/319/DPNP/IDPnP tanggal 27 Juni 2005 tentang Kebijakan Restrukturisasi Kredit
  • PP no.14 tahun 2005 yang diubah dengan PP no.3 tahun 2006 tentang Tata Cara Penyelesaian Piutang Negara/Daerah

Bank harus memperhatikan ketentuan tentang kriteria apa saja yang perlu mendapat perhatian dalam restrukturisasi kredit di dasarkan ketentuan dan perundang-undangan sebagaimana yang telah ditentukan. Selain itu, dalam melakukan restrukturisasi, Bank wajib mengikuti Standar Akuntansi Keuangan  dan PAPI (PSAK 31 dan 54,  PSAK 50/55, PAPI revisi 2001), terutama perhitungan Present Value dan pengakuan  kerugian restrukturisasi. Selain itu, Bank harus memiliki Kebijakan dan Pedoman secara tertulis sebagai panduan dalam melakukan restrukturisasi kredit.

Prinsip dasar Restrukturisasi Kredit

Agar restrukturisasi berhasil dengan baik, diperlukan itikad debitur sebagai berikut: a) Berinisiatif, b) Full disclosure, c) Bersedia memikul kerugian, d) mempunyai Bisnis Plan. Debitur harus mempunyai insiatif atau semangat untuk terus berjuang menghadapi kesulitan bisnisnya. Ibaratnya seorang pasien yang sedang sakit, maka debitur harus punya semangat juang dan keinginan untuk tetap hidup. Full disclosure diperlukan, karena Bank disini bertindak sebagai seorang dokter yang akan menyembuhkan penyakit, jadi debitur harus transparan, agar penyakitnya benar-benar dapat dideteksi, sehingga pengobatannya juga tepat. Bersedia memikul kerugian, karena dalam restrukturisasi, kita tak berbicara mendapatkan keuntungan, namun mengurangi  risiko kerugian, sehingga pada dasarnya debitur dan Bank sama-sama mendapatkan kerugian atau kehilangan beberapa kesempatan. Dari sisi Bank, harus mencadangkan PPAP, yang mengurangi kesempatan Bank untuk mengelola dana yang dihimpunnya guna membiayai bisnis debitur lain yang membutuhkan. Mengapa debitur harus mempunyai Bisnis Plan, karena dengan membuat Bisnis Plan, debitur masih dapat melihat prospek usaha ke depan, dapat membuat proyeksi arah perusahaan, dan membuat cash flow nya. Bagi nasabah kecil, debitur bisa mengemukakan rencananya pada Account Officer, dan nantinya AO akan membantu dalam membuat rencana cash flow nya.

Dari sisi Prospek usaha, maka restrukturisasi akan berhasil jika: a) net cash flow positif, yang berarti debitur masih mempunyai laba operasional, masih dapat menutup biaya untuk operasional perusahaan, membiayai gaji karyawan, serta biaya lain agar usaha tetap berjalan.b) Ada multiplier effect. Usaha yang mempunyai efek multiplier harus mendapat perhatian, karena dengan restrukturisasi diharapkan perusahaan dapat tetap hidup, yang kehidupan ini akan mempengaruhi perkembangan usaha lainnya.c) Prospek produk dan Jasa. Dari sisi produk dan jasa yang dihasilkan, masih ada kemungkinan untuk tumbuh dan bisa mampu bersaing. Disini diperlukan riset agar mampu menghasilkan produk dan jasa, yang dapat menembus pasar. d) Ada peluang efisiensi. Usaha debitur, selain berupaya menghasilkan produk dan jasa yang mampu bersaing di pasar, juga masih ada peluang efisiensi yang dapat dilakukan, sehingga bilamana target cash flow tak tercapai, masih ada margin yang berasal dari efisiensi. e) Daya saing. Ini masih berkaitan dengan butir d) diharapkan produk dan jasa yang dihasilkan mempunyai daya saing untuk mempertahankan perusahaan tetap hidup.

Pada akhirnya yang penting adalah kemauan kerjasama dari debitur. Dalam restrukturisasi kredit, sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan di atas, maka sebetulnya Bank hanya berfungsi membantu dari sisi strategi finansial, serta berperan sebagai konsultan dan risk doctor, namun upaya lainnya harus dilakukan oleh debitur. Debitur harus bisa menilai dan memperbaiki berbagai fungsi dalam perusahaan, seperti fungsi manajemen, operasional, organisasi, sumber daya manusia, Research & Development serta pemasaran. Bisnis Plan diperlukan agar Bank dan debitur dapat bersama-sama menilai strategi restrukturisasi secara komprehensip yang dilakukan debitur, sehingga Bank dalam membantu dari sisi finansial, sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan.

Peran negosiator

Bank dalam kapasitas membantu perbaikan usaha debitur, berperan sebagai konsultan, sebagai risk doctor, untuk mencari dan meneliti dimana sebetulnya letak kesulitan dan apa yang menjadi problem utama, sehingga bisa disusun strategi restrukturisasi untuk penyelematan usaha, yang pada gilirannya juga akan menyelamatkan fasilitas kredit yang dinikmati debitur di Bank. Peran negosiator, yang biasanya diperankan oleh AO, manajer bisnis, manajer bidang restrukturisasi kredit, sangat penting untuk keberhasilan restukturisasi kredit.

Karakteristik negosiator ini, antara lain:

  • Sangat saksama dan memahami implikasi penyelesaian masalah
  • Sabar dan tidak kenal lelah
  • Tidak pro dan kontra terhadap konflik
  • Selalu meneliti, bertanya, mendengar dan belajar
  • Yakin, optimis, tanpa sifat arogan
  • Mampu membujuk atau mengancam jika diperlukan

Dari kriteria tersebut, Bank harus mampu melatih dan mendidik para stafnya menjadi negosiator yang ulung. Para staf ini harus memahami masalah hukum dan perundang-undangan agar tidak salah langkah,  memahami ilmu ekonomi dan kuat di bidang matematika, karena analisa restrukturisasi memerlukan berbagai alternatif perhitungan dengan berbagai perbandingan, memahami ilmu psikologi manusia, karena berhadapan dengan debitur pada saat kondisi debitur yang sedang stres. Pada akhirnya, yang paling penting adalah usaha keras, keinginan untuk memperbaiki, berpikir positif, karena dengan selalu berpikir positif dan kerja keras, kita dapat melalui berbagai hambatan dan rintangan.

Sumber Bacaan;

  1. Angreni dkk. “Restrukturisasi yang efektif guna meningkatkan kinerja Bank.” Workshop series, IRPA, 24-25 Maret 2010. Hotel Ibis Arcadia, Jakarta.
  2. Berbagai peraturan (PAPI, PSAK, Peraturan BI, Surat Edaran BI, Undang-undang Perbankan)
  3. Triyono. “Kredit Bermasalah dan Risiko Kredit.” Assistant to Deputy Governor, Bank Indonesia. Dibawakan dalam seminar “Perlakuan Kredit Macet Bermasalah (Impairment) PP no.14 tahun 2005 vs PSAK 50/55: Sinkronisasi Tata Laksana Hapus Buku & Hapus Tagih.” Seminar RMCI: Hotel JW Marriot, 9-10 Maret 2010.
  4. Statistik Perbankan Indonesia.
  5. Pengalaman penulis di bidang restrukturisasi kredit.