Pada postingan sebelumnya, saya menceritakan bagaimana pada saat pensiun, saya justru membayar pajak lebih besar. Hal tsb disebabkan, saya memulai pensiun pada bulan Nopember, yang sejak bulan tersebut, pemotongan Pph adalah sebesar 5 persen dari penghasilan. Sedangkan pelaporan SPT dibuat tahunan, sehingga kalau digabung dengan penghasilan selama bulan Januari-Oktober 2007, sesuai ketentuan saya termasuk yang dipotong 35 persen. Bayangkan, pada saat pensiun, yang jelas penerimaan sangat kecil, saya malah harus membayar kekurangan pajak. Dan kalau mengingat tak semuanya melaporkan SPT seperti saya, kadang memang terasa menyakitkan. Namun sebagai warga negara yang baik, saya tetap mengikuti peraturan, dan menyetorkan kekurangan pembayaran pajak pada tanggal 24 maret 2008.
Sesuai form SPT tahunan pada kolom F, tercantum bahwa apabila saya pada SPT tahun 2007 membayar kekurangan pajak, maka saya harus mengisi kolom F, dengan membagi besarnya kekurangan bayar pajak dibagi 12 (Pph pasal 25 tahun pajak berikutnya). Walaupun aneh, saya tetap mengisinya, dan pada tanggal 12 Mei 2008, saya mengajukan surat permohonan ke KPP Pratama Jakarta Selatan, dengan melampirkan dokumen pendukung disertai penjelasan sbb:
- Kekurangan membayar pajak yang telah dilunasi pada tanggal 24 Maret 2008 terjadi karena adanya peralihan prosentase tarif pajak, dari tarif 35 % menjadi 15 % karena telah pensiun.
- Sampai akhir tahun 2008, penghasilan pensiun selama setahun, adalah 5,275 % dari PPH terhutang tahun 2007.
- Prosentase Pph terhutang 2008, jauh lebih kecil dari batas <75% yang ditetapkan Kep Dirjen Pajak No.Kep-537/PJ.2000 tanggal 29 Desember 2000 pasal 7
- Sehubungan telah dipenuhi persyaratan pasal 7 tsb, maka saya mengajukan permohonan agar dapat dibebaskan dari ketentuan melakukan angsuran Pph 25 sebagaimana yang telah saya isikan pada kolom Pph pasal 25 pada SPT tahun 2007.
Saya dan suami membawa barkas permohonan yang telah dilampiri dokumen pendukung ke Kantor KPP Pratama Jakarta Selatan, dan kemudian dipertemukan dengan AR nya, yaitu mbak DS. Beliau sangat simpatik, dan kami berdiskusi sampai lama. Setelah membaca barkas, mbak DS mengatakan barkas telah lengkap, dan saya diminta menunggu keputusan dari Dirjen Pajak yang akan dikirim ke rumah. Mbak DS juga bersedia diminta nomor Hp nya untuk memudahkan berhubungan, atau menghubungi saya bilamana ada dokumen yang masih kurang.
Syukurlah, pada hari ini pak pos mengantarkan surat yang berupa Keputusan Dirjen Pajak tertanggal 6 Juni 2008 (yang baru saya terima tanggal 14 Juli 2008), bahwa Dirjen Pajak telah menetapkan besarnya angsuran Pajak Penghasilan pasal 25 tahun pajak 2008, menjadi nihil. Dengan demikian untuk SPT tahunan tahun 2008, saya membayar pajak sesuai penghasilan yang riil, karena selisih tsb sebenarnya bukan karena adanya tambahan penghasilan (malahan jauh menurun), namun karena perbedaan pengenaan tarif pajak.
Saya sangat berharap, agar pelayanan dari Kantor pajak dapat terus ditingkatkan, agar para pembayar pajak tidak segan untuk bertanya dan berdiskusi dengan staf kantor pajak, tanpa merasa dihakimi. Memang sudah seharusnya terjadi perubahan paradigma pada Kantor Pajak. Saya percaya, bahwa pak Darmin Nasution, saya sempat mengenal beliau saat beliau masih menjabat Dirjen LK, bisa membawa Kantor Pajak ke arah yang lebih baik, dan membuat para pembayar pajak tak merasa takut. Adanya diskusi yang transparan, dan adanya built in control (pemisahan antara administrasi, analisa dan pemutus) akan membawa peningkatan pemasukan pajak, yang sangat berguna untuk membangun negara ini.
ambil pertamax dulu ah…
saya sepakat dengan bahwa perlu perubahan paradigma di kantor pajak. Sebagai salah satu sumber pendapatan bagi negara, kantor pajak semestinya ramah masyarakat. Masyarakat bisa mendapatkan penjelasan sedini mungkin tentang pajak.
Qizinklaziva,
Saya merasakan perubahan paradigma ini di KPP Pratama Jakarta Selatan. Bagi para WP, bila ingin berurusan atau bertanya tentang perpajakan, bisa datang langsung, mengabil nomor urut dan menunggu panggilan. Nanti petugas counter akan menjelaskan dan memberitahukan pada siapa sebaiknya kita berhubungan, misalnya dengan mbak XX yang ada di lantai 2. Di lantai 2 pun, ada beberapa ruang yang dibatasi kaca transparan, dan ada meja bundar dengan empat kursi, tempat kita bisa berdiskusi dengan staf pajak. Mereka melayani dengan baik, menjelaskan, bahkan saat saya kesana, sayapun membawa buku uu perpajakan untuk didiskusikan.
Nampaknya saya harus belajar banyak mengenai pajak ini Bu … sebab saat ini saya sudah memulai memegang kartu NPWP he he he…
Selama ini? malas! π
Harjo,
Memang sebaiknya kita mempelajari pajak sejak dari uu dan petunjuk pelaksanaannya. Bukunya banyak dijual di Gramedia atau TGA dan toko buku lainnya. Sebagaimana layaknya warga negara, maka kita memang harus mengerti hak dan kewajiban kita….dan mempelajarinya sesuai ketentuan, Jika masih bingung, bisa diskusi kok ke kantor pajak, mereka mau melayani dengan tangan terbuka, apalagi saat ini kliennya tak banyak, beda saat bulan Maret yang merupakan bulan pembayaran pajak dan pelaporan SPT tahun perpajakan.
Kalau bagi orang Bank, saat menilai laporan keuangan nasabah, yang pertama kali dilihat adalah kewajiban pajaknya telah dibayar lunas apa belum. Karena sesuai uu, pembayaran pajak mempunyai hak preference dibanding yang lain.
Kalau ada yang mau berubah jadi lebih baik saya dengan senang hati mendukung. Asalkan perubahan itu bukan cuma slogan dan membuat patah hati. π
Yoga,
Agar bisa diskusi dengan baik kita sendiri juga harus mempelajari lebih dulu. Dan kebetulan tipe saya seperti itu, jadi kalau tak sepahampun berdebat, namun selalu berdasarkan ketentuan….dan kenyataannya mereka menanggapi dengan baik kok…
terkadang terlihat ya, bu kalau sebuah instansi itu membutuhkan figur demi perubahan seharusnya kita menyandarkan harapan kita pd sistem namun semoga sosok yg ibu harapkan bisa jadi yg kita semua harapkan π
Uwiuw,
Untuk merubah paradigma memang dibutuhkan pimpinan atau leadership yang kuat. Hal ini saya alami sendiri, di perusahaan tempat saya bekerja dulu sebelum pensiun. Disamping itu, juga dibutuhkan juklak yang jelas, diikuti oleh strategi implementasi yang memberikan titik-titik untuk monitoring dan kemungkinan untuk melakukan diskusi dan review.
hohoho. jadi keinget surat permohonan pembukaan npwp yang belum kukirim….
(^_^)v
Farijs van Java,
Udah ada undang-undangnya berikut sanksi….yang telah mempunyai penghasilan di atas PTKP (Penghasilan Tanpa Kena Pajak), harus punya NPWP.
Kalau kita memperolehnya telah net (seperti saya, telah dipotong pajak), nantinya tinggal melaporkan dan bayar pajaknya nihil, karena telah dipotong oleh pemberi kerja, cuma harus dilampirkan dolumen pemotongan dari pemberi kerja tsb.
Form-form pajak bikin mumet bu, jadi sekarang saya juga pake konsultan aja, untung konsultannya temen, jadi ga terlalu makan biaya besar.
Ubadbmarko,
Sebaiknya kita juga mengetahui persis aturannya pak, sehingga bisa memeriksa hasil konsultan.
Konsultan yang baik, akan memberikan cara pengaturan pajak yang ringan, namun tetap sesuai peraturan…..misalkan, apakah perlu sewa peralatan berat atau beli….kalau beli, pajaknya berapa…sedang kalau sewa berapa…semacam hal-hal seperti ini.
Kantor pajak adalah garda terdepan dari pemerintah untuk mendapatkan penghasilan. Kalau kantor pajak tampil ‘menyeramkan’ otomatis target-target penerimaan pajak yang ditetapkan pemerintah akan sulit tercapai.
Setuju dengan Ibu Edratna, bahwa kantor pajak harus tampil bersahabat, terbuka, dan siap setiap saat menerima keluhan maupun pertanyaan wajib pajak.
Apa kata dunia kalau kantor pajak masih tampil angkuh dan arogan.
Rafki RS,
Kompas hari ini juga menulis pendapat pak Darmin Nasution (Dirken Pajak), perlunya perubahan paradigma tersebut, serta adanya kebijakan sunset policy.
Tidak hanya NPWP yang ada persoalan. Dulu pernah juga mengalami persoalan pajak tanah dan bangunan. Sepertinya tukang pajaknya tidak survei langsung, tapi menetapkan harga pajak dengan sistem pukul rata. Selain itu ketika diadukan, mereka tidak tanggap terhadap aduan, malah santai aja dan malas mengupdate informasi yang diberikan.
Saut,
Memang masih banyak kelemahan, dan semoga kantor pajak membuka diri terhadap keluhan ini. Update data memang masih merupakan kelemahan kantor pajak, saya sudah melaporkan secara tertulis berkali-kali, tetap saja suratnya nyasar ke alamat lama, padahal saya sudah pindah alamat dua kali….tentu saja surat tadi tak saya terima.
makanya bu, saya mesti bikin npwp. kalo ga nanti ga terima tunjangan lagi saya. huhu.
baru saja sudah kukirim surat permohonannya ke kpp. semoga lekas terkirim.
(^_^)v
iya, bu. tinggal melaporkan spt tahunan saja. ga bayar.
(^_^)v
Farijs van Java,
Pengisian SPT tahunan sekarang sudah lebih sederhana, kalau tak salah hanya ada 3 lembar (dulu berlembar-lembar). Apalagi jika gaji sudah net, dipotong oleh perusahaan pemberi kerja…jadi ya sekedar lapor aja….dan nihil (karena memang sudah dibayarkan kantor).
Yang penting juga, jangan cepat2 “mencurigai” apalagi kalau kita sudah bermaksud baik melaporkan SPT kita.
Mengenai perpajakan sendiri saya sudah lupa2 ingat, sebenarnya tidak sulit sih, hanya saja memang terlalu banyak peraturan dan kurang sederhana dan terkesan tumpang tindih. Nggak tahu deh maksudnya apa,
mungkin biar konsultan pajak laku kali. Hehehe……Yari NK,
Saya juga melihatnya seperti itu. Ini tantangan bagi Kantor pajak, agar peraturannya mudah dipahami…. Saya malah cuma nelepon pak Agus Setiawan (pengarang buku perpajakan), dan beliau bersedia ketemu di suatu cafe di Mal Bintaro. Disitu kami diskusi, dan memahami benar…..memang memahami uu perpajakan, yang setiap tahun tata caranya berubah, ini yang bikin pusing. Bukunya pak Agus membuat saya dan suami mudah untuk memahami berbagai aturan perpajakan.
Betul saya juga punya NPWP pribadi hanya saja nggak pernah lapor. Walau NPWP perusahaan yang atas nama saya selalu taat. Hanya saja ada keluhan masalah restitusi yang sudah diambil. Misalnya perusahaan saya punya hak uang lebih ( restitusi ) dari Pajak PPH. Begitu mau klaim, petugas pajak menyodorkan alternatif, bisa dikembalikan uangnya namun dengan resiko perusahaan saya diobok obok diperiksa detail. Jadi kalau kurang pajak kita ditagih tagih, cuma kalau kelebihan ya relakan saja.
hm hm
Iman Brotoseno,
Memang dari diskusi saya mendapat kesimpulan, kalau dari SPT nya ada kelebihan bayar, itu yang prioritas diperiksa. Saya sempat diperiksa sekali, repot banget mana pas sibuk-sibuknya kerja…diminta copy tagihan kartu kredit selama setahun dsb nya…sempat saat itu stafnya keseleo ngomong rada ga nyaman…langsung saya berondong, dan saya bilang mau ketemu pimpinannya langsung…syukurlah dia langsung jadi sopan. Saya menduga hal seperti ini masih terjadi, jadi saya menulis ini karena saya melihat kantor pajak dimana saya melaporkan SPT tahunan orang-orangnya sudah berubah, sopan, melayani, dan kita juga merasa nyaman. Kalau memang peraturan dan ada dasarmya, pasti kita lakukan sesuai aturan, karena saya memegang prinsip hukum karma…
Direktorat Jenderal Pajak memang sedang melakukan perubahan yang disebut modernisasi. Proses modernisasi ini ditandai dengan perubahan paradigma dan pola pikir di mana pelayanan kepada Wajib Pajak diutamakan. Dan memang kenyataannya, sekarang ini, untuk mengurus masalah-masalah perpajakan, Wajib Pajak akan dipermudah dan tanpa biaya.
Namun sayang, banyak fihak menanggapi sinis atas perubahan ini. Fihak-fihak ini kalau ditelusuri ternyata bukan orang yang sering berurusan dengan pajak, malah banyak yang belum ber NPWP.
Nah, saya sangat menghargai tulisan Bu Edratna ini, karena bisa memberikan gambaran riil perubahan yang dilakukan oleh DJP di lapangan. Pada umumnya orang akan berteriak kalau pelayanan buruk, tetapi akan diam saja kalau pelayanannya bagus.
Saya juga mengharapkan perubahan ini akan ditularkan ke instasi-instansi pemerntah yang lain. Semoga.
Dudi Wahyudi,
Justru saya menulis untuk menghargai perbaikan yang telah dilakukan kantor pajak. Saya sempat kenal seorang blogger yang nggak mengaku dari kantor pajak karena kawatir disinisi rekannya….tapi saat ketemu kopdar bisik-bisik mengaku kalau kerja di Pajak. Melihat ini, saya tergoda untuk menulis, apalagi saya mengalami bagaimana situasi awal pelaporan SPT sejak tahun 1984 sampai sekarang, sempat diperiksa dan stafnya ngomong rada nggak enak (saat itu saya kelebihan bayar…lha ya nggak tahu wong yang membayar kan kantor, gaji saya terima setelah dipotong pajak)….lha saya orang Jatim, langsung keras, minta ketemu pimpinannya, syukurlah terus sopan dan mau membantu. Sebetulnya bagi orang kayak saya, yang dibutuhkan adalah diskusi, didasarkan pada peraturan yang riil.
Semoga pelayanan kantor pajak makin baik, dan makin banyak yang punya NPWP.
salam kenal dari bandung
tulisan anda membuat saya terharu jangan tanya kenapa
http://esaifoto.wordpress.com
blog teman saya mau nebeng maaf yaa
http://puang07.blogdetik.com
Bangkitlah Negeriku
Harapan itu Masih Ada π
Achoey sang khilaf,
Semoga masih ada harapan.
wah bun , aku harus nyetor pajak secepatnya … makasih dah diingetin bun
Realylife,
Sama-sama…
Saya dengar juga dari rekan2 bahwa pajak udah semakin baik dan sistemnya juga makin rapi, semoga itu makin membuat kita rajin membayar pajak buat negeri tercinta
Andrias ekoyuono,
Betul, dan udah on line. Membayar PBB pun bisa melalui Bank, jadi tak harus datang ke Kantor Kecamatan.
hihihi g’ ngerti dirikuhhhh soal perpajakan
Zoel chaniago,
Kalau sudah bekerja dan penghasilan dalam setahun di atas batas PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), tetap harus melaporkan SPT nya, walaupun sebetulnya gaji yang diterima telah dipotong pajak oleh pemberi kerja.
saya sudah berencana mengurus npwp saya .. tapi terus terang, masih ada keraguan di diri saya .. is it the tax that i paid will go straight to where it should be .. or not ?
Putradi,
Sudah ada uu yang mengaturnya….
sama sama Bunda … loh, emang saya KPP π
Rindu,
Nggak apa-apa, semakin banyak yang sadar untuk membayar pajak, berarti pemasukan untuk negara yang dapat digunakan untuk perbaikan infrastruktur, dan perbaikan masyrakat miskin.
Makin hari memang pelayanan pajak semakin baik. Gencarnya promosi juga semakin meningkat. semoga kesadaran kita akan pajak juga meningkat.
π
Arul,
Memang seharusnya tiap warganegara yang mampu (mempunyai penghasilan tahunan di atas PTKP) bersedia membayar pajak. Dinegara maju, seperti menantu saya, gajinya langsung dipotong pajak. Dan ada negara yang mendorong warganya meningkatkan pendidikan, jika ada yang menyekolahkan anaknya ke Perguruan Tinggi, mendapat potongan pajak (Kompas, 15 Juli 2008).
kantor pajak termasuk salah satu tempat yang sering berurusan dengan publik. kehadirannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas, saya setuju dengan ibu, perlu ada perubahan paradigma: dari dilayani menjadi melayani. kalau birokrasi masih dipersulit, ya repot juga, apalagi ini menyangkut masalah keuangan. untung saja saya masih aktif sbg pns, bu, sehingga untuk pph sebagaian besar sdh ditangani oleh staf TU. walah, kalau harus ngurus sendiri, repot. pengalaman bu enny saat mengurus masalah oensiun bisa dijadikan sebagai bahan berharga utk saya kelak, bu, kalau dihadapkan pada masalah yang sama.
Pak Sawali,
Sebetulnya gaji saya juga telah dipotong pajak pak, demikian juga suami (PNS). Tapi kewajiban pelaporan SPT tetap harus dilakukan setiap tahun, karena ini ditetapkan oleh undang undang. Jika pemotongan oleh pemberi kerja telah sesuai, maka saat pelaporan SPT, hasilnya NIHIL (tak perlu menambah kekurangan bayar pajak), karena memang telah disetor sesuai ketentuan.
Kasus saya memang berbeda, saat masih aktif, besarnya gaji saya termasuk kategori yang dipotong pajak 35 persen…namun setelah pensiun (yang berkurang drastis), sesuai ketentuan hanya dipotong 5 persen. Masalah muncul, karena pelaporan SPT disetahunkan, sehingga gaji saat masih aktif dalam 10 bulan, digabung dengan uang pensiun 2 bulan, masih termasuk dalam kategori dibebani pajak 35 %. Karena ketentuan, apa boleh buat, ya saya tetap harus membayar kekurangannya. Namun tahun berikutnya tak ada masalah lagi, karena pendapatannya hanya dari uang pensiun dan tambahan gaji sesekali mengajar (yang diterima bersih, setelah dipotong pajak).
Berbicara masalah pajak, saya sedikit penasaran nih Bu dengan PPh21. Di sana disebutkan bahwa pengurang pajak di antaranya adalah istri dan anak.
Yang lucu, istri hanya mengurangi 1.200.000 per tahun atau setara dengan 100.000 per bulan.
Apa ya dasar pertimbangannya?
Kalau dibagi 30 hari maka per harinya sekitar Rp 3.333. Cukup apa uang segitu? Untuk makan sekali juga nggak?
Saya melihat ini sebagai ketidakadilan.
PTKP yang sedikit di atas UMR menurut saya okelah…
Dengan uang 1.100.000/bulan, meskipun mengusik rasa keadilan saya, saya anggap kita bisa hidup..
Tapi dengan uang 100.000 bisa untuk apa?
Menurut saya, idealnya pengurang untuk istri/anak ini sejumlah Rp 500.000/bulan.
Jadi, jika misalnya, seorang pegawai punya satu istri dan satu anak dan bergaji Rp 2.100.000/bulan, maka dia tidak kena PPh21.
Alangkah lebih baik, jika pemerintah mencari sumber keuangan negara dari pembersihan di BUMN, daripada memeras rakyat kecil….
Wah, saya jadi emosi nih..Bu.
Maaf nih, sudah nyampah…
Heryazwan,
Kalau sampai BUMN dianggap nggak bersih dan kurang efisien, yang salah banyak pak. Kan ada BPK, BPKP,auditor internal, auditor independent dsb nya. Di perusahaan swasta, tak ada pemeriksaan BPK lho…jadi ya belum tentu bagus juga.
Saya tak tahu cara perhitungan PTKP tersebut, namun kemungkinan dibandingkan untuk penghasilan masyarakat, dan karena masyarakat Indonesia masih miskin, maka dianggapnya uang sekian itu bisa untuk hidup…karena kenyataannya bisa hidup untuk rumah tangga miskin.
Nggak apa-apa pak, semoga keluh kesah bapak dibaca oleh orang dari pajak, untuk perbaikan, karena blogger banyak juga yang bekerja di perpajakan.
Makasih Bu Enny.. seneng banget dengernya akhirnya tercapai juga keinginannya untuk memperkecil angsuran, malah bisa nihil ya π
Apalagi pelayanan KPP yang bagus.. mungkin bisa langsung sebut nama KPP nya Bu.. sebab KPP Pratama Jakarta Selatan tidak ada π
@ Heryazwan
PTKP itu Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dan kayaknya bukan merupakan komponen pengurang sebagaimana yang bapak maksud. Jangan-jangan bapak berpikiran seperti Matching
Cost Again Revenue π
Dan kebetulan di RUU PPh yang baru, PTKP akan dinaikkan. Tentunya bapak juga sudah baca kalo PTKP kita secara prosentase paling tinggi sedunia. Negara lain paling besar 40% dari Pendapatan per Kapita, di Indonesia lebih dari 70%. Jika ada yg belum jelas silakan telpon ke 500200 pak. π
Nindityo,
Lha iya…mosok saya harus membayar angsuran yang jelas-jelas nggak ada…kan nanti berdasar pemasukan riilnya.
KPP nya Jakarta Cilandak…..awalnya sih ga enak menunjuk langsung, tapi kalau bagus nggak apa-apa kan.
Tulisan yg menyejukkan. Sebagai orang pajak, senang mambaca yg beginian. Matur sembah nuwun Ibu….
Ping-balik: Susahnya Jadi Orang Pajak « Catatan Seorang Tax Blogger