Obrolan Buku 15 Desember 2021: Titik Terendah dalam Hidupku

Pembahasan buku tentang “Titik Terendah dalam Hidupku” ini dipandu oleh mas Agus Yulian. Setelah memperkenalkan diri, mas Agus menceritakan kisahnya sendiri, bagaimana saat benar-benar berada di titik terendah dalam kehidupannya. Mas Agus saat itu bersama teman-temannya naik kendaraan menuju Pacitan. Acara selama di Pacitan berlangsung lancar, namun dalam perjalanan pulang mendapat kecelakaan, mobil yang ditumpangi 8 (delapan) orang terguling, beberapa kali berputar dan berhenti dengan kondisi terbalik. Saat itu sopir mencoba menghindari masuk jurang dengan membanting setir.

Mas Agus yang masih sadar, entah kenapa bisa membuka pintu mobil yang terbalik itu dan membangunkan teman-temannya agar segera keluar, khawatir mobil akan meledak. Saat itu, kepala mas Agus dalam kondisi berlumuran darah, sedang teman-teman lainnya tidak mendapatkan luka yang berarti, hanya sopir yang kakinya keseleo. Melihat luka yang parah tersebut, mas Agus segera dibawa ke rumah sakit, namun sayang rumah sakit terdekat tidak bisa menanggulangi luka yang berat tersebut, sehingga mas Agus kemudian dibawa dengan ambulance ke RS di Wonogori. Perjalanan yang sangat berat, mas Agus terus berzikir dan tidak berani memejamkan mata, berusaha untuk tetap sadar. Dokter yang menemani di ambulance, berkata…
“Sudah pak, tolong dihemat tenaganya agar tetap sadar saat sampai di RS Wonogiri.”

Susunan acara Festival Memoar dari Diomedia

Setelah dirawat di Rumah Sakit, dengan hanya ditunggu ibu yang sepuh, akhirnya diusahakan dirawat di rumah, dengan memanggil perawat. Di rumah, mas Agus dikunjungi teman-temannya, sayangnya justru orang yang sangat dihormati memberikan pernyataan yang membuat hati ibu mas Agus terpukul. Memang seharusnya, saat kita menengok orang sakit, harus hati-hati dalam berbicara. Gara-gara ini, mas Agus memutuskan untuk resign, padahal menjadi seorang Guru adalah impian yang dicita-citakan. Kondisi tubuh yang sakit memerlukan biaya perawatan yang mahal, jadi mas Agus mulai berusaha sambil berobat, di bidang perbukuan. Dengan berjualan buku…syukurlah justru rupanya di sini mas Agus mendapat hadiah karena merupakan penjual buku yang terbanyak. Keadaan ini mengubah kehidupan mas Agus, bahwa Tuhan akan selalu memberi jalan yang lebih baik bagi umatNya yang percaya.

Cerita selanjutnya oleh mbak RL, yang menceritakan bagaimana dia berjuang mengatasi depresi, pernah ingin bunuh diri dengan mengiris tangannya menggunakan beling. Syukurlah mbak RL mempunyai nenek, ibu dan teman-teman yang mendukung kesembuhannya. Oleh nenek sempat dibawa ke Rumah Sakit karena sempat teriak-teriak. Depresi ini menurut diagnosa dokter menjurus ke schizophrenia, akibat tekanan dan kesedihan yang sangat berat. Mbak RL sudah dilamar setelah pacaran 8 (delapan) tahun, namun menjelang pernikahan, menemukan sang calon suami berselingkuh.

Saat akhirnya sehat dan menikah, mbak RL pernah diajak suami tinggal di luar Jawa. Kehidupan pasangan muda, rumah tangga yang baru, biasanya mempunyai keterbatasan dalam finansial. Mbak RL yang lulusan S1 sempat merasa sedih, karena harus menambah pendapatan dengan mencuci piring di warung. Saat ini mbak RL telah mempunyai putra yang lucu, yang sesekali mengganggu mama saat diskusi dengan kami. Syukurlah mbak RL bisa mengatasi persoalannya, bisa mengatur kembali hidupnya dan bisa berbahagia menjadi seorang ibu.

Mbak Ning (nama singkatan) menceritakan titik nadir hidupnya dengan berkaca-kaca. Saya membayangkan betapa berat cobaan yang dihadapi mbak Ning. Namun mbak Ning bisa bangkit kembali karena mengingat ada 2 (dua) amanah yang harus dijaga, yaitu kedua putrinya. Hal inilah yang mengingatkan mbak Ning agar tidak terjatuh dalam kedukaan yang panjang. Saat ini mbak Ning telah menulis buku antologi dan buku tunggal (?), ternyata menulis memoar bisa menyembuhkan luka hati, serta siap berjuang menatap masa depan.

Selanjutnya mas Agus Yulian, sebagai moderator, mengatur jalannya diskusi. Pak IAC, yang merupakan sahabat saya saat kuliah, bercerita tentang pengalamannya, dan berpesan bahwa jangan pernah merasa malu bekerja kasar. Saat IAC kuliah di luar negeri, setelah lulus master degree, oleh Profesor disarankan melanjutkan program S3. Saat itu belum ada bea siswa karena sedang diusulkan, IAC bekerja serabutan apa saja, mencuci piring di restoran, mengupas kentang berpuluh kilogram di restoran cepat saja, dan mengerjakan apapun. Jadi pesannya, “jangan malu bekerja kasar, bahkan jika kita punya gelar tinggi, yang harus merasa malu jika meminta pada teman (alias mengemis).

Cerita ini disambung Bu NC (teman saya juga) yang bercerita saat mendapat beasiswa melanjutkan master degree ke luar negeri, yang mendapat beasiswa hanya bu NC. Namun bu NC mengajak suami, dan suami tentu saja harus juga melanjutkan kuliah S2. Biaya dari mana? Tentu saja, dengan membersihkan rumah orang lain, mencuci piring di restoran, segala pekerjaan yang penting halal dan bisa untuk membayar uang kuliah. Bu NC sendiri bekerja di rentoran milik orang Iran. Jadi prinsipnya, kita harus terus berjuang, lupakan ego dan rasa malu.

Setelah diskusi panjang lebar, pak MBS nyeletuk…”Ini kayaknya cerita sedih ya. Tapi seperti kata temanku, kalau kita puasa ya harus kuat, supaya kita nanti bisa Lebaran, makan sepuasnya. Jika bunuh diri, kan tidak sampai menikmati Lebaran.” Saya juga nyeletuk, syukurlah cerita di buku ini pada akhirnya happy ending. Jika tidak happy ending, atau sepanjang tulisan sedih terus, biasanya saya tidak akan melanjutkan membaca, karena membaca buat saya untuk menginspirasi dan menambah semangat.

Apa yang bisa kita petik dari diskusi ini? Bahwa kita semua pasti pernah mengalami titik nadir dalam kehidupan, namun kita harus berjuang dan berusaha untuk bisa mengatasi kesulitan tersebut. Jangan pernah kenal lelah.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s