Saat mendapat kesempatan mengajar di kota Pontianak, saya mulai googling di internet, tempat wisata budaya maupun wisata kuliner dan belanja di kota Pontianak, karena saya hanya bisa bepergian di sela-sela tugas. Kebetulan saya dan teman naik pesawat Garuda yang berangkat dari Jakarta jam 8.30 wib, sehingga ada banyak kesempatan mengunjungi tempat wisata hari itu, sebelum besoknya mengajar. Dari bandara kami dijemput oleh sopir dari klien, yang langsung mengantar kami menuju tugu Khatulistiwa, yang terletak di Pontianak Utara. Setiap tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September, setiap tahun diperingati sebagai hari kulminasi di tempat ini, karena matahari akan berada tepat di atas garis khatulistiwa, sehingga bayangan dan benda tidak ada.

Di tugu ini kami banyak memperoleh penjelasan dari petugas yang jaga, syukurlah tugu Khatulistiwa ini tetap buka pada hari Minggu. Saat itu mendung menggelayut, sehingga cuaca tak terlalu panas. Selesai mengelilingi tugu, memotret, kami istirahat dan minum air kelapa, sambil memandang sekitar. Di samping meja kami, ada wisatawan dari China, karena daerah Kalbar ini penduduknya sangat beragam, dari suku Melayu, Madura, China dan Arab. Selesai melihat tugu khatulistiwa, kami menuju keraton Kadriah, melewati toko Al Fajar, yang menjual bingke (makanan khas Pontianak, yang rasanya seperti kue prol).

Berderet toko penjual bingke, namun orang paling banyak berkerumun di toko Al Fajar. Saya mencoba membeli satu, untuk merasakan kue tersebut. Kue ini bisa dipakai untuk oleh-oleh, namun hanya tahan sehari, atau bisa 3-4 hari jika disimpan di kulkas.

Kami melanjutkan perjalanan dan melewati Vihara “Kwan Im”, saat berjalan-jalan di kota ini, kami menemukan berbagai vihara dan kelenteng.

Keraton Kadriah, menurut guide yang kami temui, berasal dari kata Alkadrie, sayangnya sedang direnovasi sehingga kami tak bisa masuk dan melihat Al Qur’an yang konon telah berumur ratusan tahun dan cermin seribu.

Syukurlah kami masih ketemu pak Abdurrahman, yang baru selesai menemani wisatawan China. Pak Abdurrahman menemani kami keliling keraton dari luar. Keraton ini dibangun oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang asal usulnya, saat Sultan menembakkan meriam untuk mengusir hantu kuntilanak (yang merupakan asal-usul kota Pontianak), jatuh di semak-semak dekat sungai Kapuas.

Di tempat inilah dibangun keraton Kadriah, yang desain arsitektur nya unik, gabungan dari Arab, Turki dan China. Keraton ini indah, sayang kurang terawat, syukurlah Pemda telah memutuskan untuk mulai merenovasi bangunan keraton ini.

Berseberangan dengan keraton ini, menyeberangi jembatan kecil, ada masjid Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan masjid Jamie, terletak ditepi sungai Kapuas, dibangun pada tahun 1771 Masehi.

Kami tak sempat memasuki masjid, namun kami melihat anak-anak yang ceria, sedang bermain di dermaga di tepi sungai Kapuas, yang terletak di depan masjid Jamie.

Anak-anak ini memakai kaos kuning, yang merupakan pemberian kontestan untuk pilkada walikota Pontianak, yang akan digelar 4 hari lagi. Di samping masjid, di cabang sungai Kapuas, terlihat perahu warna-warni milik para nelayan, yang mengangkut penumpang menyeberangi sungai.

Tak terasa waktu telah menjelang sore, karena keasyikan kami lupa makan siang, akhirnya kami mampir di Pondok Kakap. Syukurlah pilihan kami tak salah, ikan bakar dan cah kangkung nya sungguh enak …. sementara lupakan dulu asam urat.
Di kota ini terkenal juga jus Aloe Vera (lidah buaya), bahkan telah dibudidayakan secara luas, sayang kami tak sempat ke sana, karena hari telah menjelang sore dan kami harus melakukan persiapan untuk mengajar besok pagi. Kami kemudian check in di hotel Aston, mendapat kamar dengan view ruko-ruko. Kota Pontianak memang dikenal dengan nama kota seribu ruko, hotel Aston ini terletak di jalan kecil, di depan nya persis berjejer ruko-ruko. Kelebihannya, hotel ini terletak di tengah kota, sehingga jika ingin melihat suasana kota Pontianak, yang makin hidup di waktu malam, maka memilih hotel Aston sebagai tempat menginap tidak salah.
Selesai mengajar esok nya, kami langsung menuju pasar PSP (Persatuan Sepak Bola Pontianak) yang terletak di jalan Patimura. Sesuai namanya, pasar ini dulunya berdekatan dengan lapangan sepak bola PSP. Disini dijual berbagai jenis souvenir, batik khas Dayak, yang menurut saya hampir mirip dengan di Kalimantan Timur. Saya membeli kaos untuk oleh-oleh si mbak yang selama ini telah membantu di rumah kami. Pulangnya kami ingin membeli makan malam untuk di makan di kamar hotel, pilihan nya adalah masakan Minang, agar cepat … ternyata di Pontianak Rumah Makan Sederhana hanya tahan sebentar, yang masih ada adalah RM “Siti Nurbaya” dan RM “Beringin”. Karena yang dilewati adalah RM “Siti Nurbaya”, kami membeli nasi dan lauk pauknya disini, sekaligus membeli aqua untuk minum di hotel, karena persediaan yang free dari hotel hanya dua botol. Rasa makanan “Siti Nurbaya” cukup enak, setelah kenyang kami segera istirahat.

Besoknya kami mencoba makanan ikan di RM “Abang kepiting”, yang terletak di dekat hotel Aston. Saat itu masih jam 5 sore, pengunjung rela antri, walau pemilik rumah makan masih bersiap-siap, membersihkan meja, menyiapkan lilin untuk mengusir lalat, menyiapkan berbagai saus dan sambal. Kami hanya bisa memesan masakan ikan goreng, karena jika menunggu dibakar perapiannya memerlukan waktu lama. Selain ikan, kami memesan sayur daun pakis yang terkenal di Pontianak ini … dan sungguh tak salah memilih makanan dari RM “Abang kepiting” ini, rasanya sungguh sedap.

Malam terakhir di Pontianak, kami dan teman-teman makan di “Pondok 18”, pemiliknya pak Edi, yang awalnya berjualan di gang kecil di dekat jalan Gajah Mada 18. Saat pindah ke jalan Teuku Umar 58, dinamakan “Pondok 18”, ternyata angka 18 ini hoki, karena pak Edi saat ini telah mempunyai beberapa rumah makan di beberapa tempat dan dalam waktu dekat akan membuka cabang Pondok 18 di daerah Serpong.

Saat wawancara dengan pak Edi, rupanya sebulan sekali pak Edi terbang ke Kuching, untuk membeli bumbu … wahh mungkin ini rahasianya, kenapa masakan di “Pondok 18” rasanya enak. Ada masakan yang baru saya kenal, berupa talas dicampur dengan udang, diberi bumbu, dan digoreng, nama nya HEKENG … rasanya gurih dan renyah, bisa untuk camilan maupun untuk lauk nasi yang masih hangat.
Pagi-pagi kami check out dari hotel, agar masih punya kesempatan melihat berbagai tempat wisata, sebelum menuju bandara. Pertama-tama kami menuju museum Kalimantan Barat, sayang museum tutup karena bertepatan dengan pilkada Walikota Pontianak.


Di museum ini kami bertemu dengan rombongan mahasiswi Universitas Tanjungpura, dan sempat berfoto bersama. Apa boleh buat, kami hanya berkeliling di luar gedung museum, melihat berbagai rumah adat, ada lumbung Dango untuk menyimpan padi saat panen, ada miniatur rumah lanting, miniatur perahu Lancang Kuning, yang dulunya untuk kendaraan para anggota kerajaan. Desain dinding gedung museum ini diberi ukiran-ukiran khas Dayak. Juga ada meriam dari zaman VOC di depan gedung museum Kalbar dan patung Dayak.

Kami kemudian menuju rumah Betang “RADAKNG”, yang baru dibangun oleh Pemerintah Daerah, yang saat ini gubernur Kalimantan Barat adalah asli Dayak, yaitu bapak Cornelis. Yang saya perhatikan, burung enggang merupakan maskot kota ini, karena saya melihat ada di dekat tugu Khatulistiwa dan di depan rumah Betang. Atau mungkin maskot suku Dayak, karena di depan rumah adat suku Dayak Kenyah, di Samarinda, saya juga melihat patung burung enggang ini. Sayang pak sopir tak mengajak kami ke rumah betang yang lama, yang baru saya ketahui masih berdiri, saat kami sudah di bandara.

Kami melihat jam, memperkirakan apakah mungkin jika kami mengunjungi Muara Kakap, yang terletak di muara sungai Kakap, sekitar 15 menit dari kota Pontianak. Disini pengunjung bisa memancing dan kemudian meminta koki di rumah makan untuk memasakkan ikan tersebut. Saat kami datang, air sungai sedang surut, karena muara Kakap ini berbatasan dengan laut, namun pemandangannya tetap indah. Sayang halaman di tempat pemancingan merangkap rumah makan di Pantai Indah Kakap ini kurang terawat, rumputnya tinggi, sehingga saat mengambil foto agak kawatir kalau ada ularnya. Namun pemandangan pantai dan sungainya sungguh indah, cocok untuk istirahat sejenak, melupakan kemacetan dan keruwetan kota.
Bingkenya memang mantap Bu. Dan terima kasih atas info kepiting dan sayur pakisnya. Layak dicoba jika ke Pontianak kelak.
Bingke nya memang mantap….tapi harus mendadak belinya kalau mau dibawa untuk oleh-oleh karena nggak tahan lama.
Selamat mengajar bu En, berbonus jalan-jalan di Pontianak. Oh Abang Kepiting…belum sempat mencoba kelezatannya, dari postingan ibu wah kebayang maknyussnya. Salam
Iya mbak Prih….berdoa suatu ketika dapat proyek di Semarang dan bisa mampir ke rumah mbak Prih.
Ibuuu.. kapan ke Medan? 🙂
Doakan dapat proyek ke Medan ya Aldi.
terima kasih tulisannya, Bu… jadi sedikit tahu tentang wisata & kuliner di sana.. (dan berharap mudah2an suatu saat dpt sampai kesana juga..hehe) 🙂
Semoga suatu ketika, Mechta sampai ke sana.
Waktu beberapa hari tidak cukup untuk mencicipi kuliner khas Quntien, sayangnya banyak jajanan yang masuk dalam katagori non halal 🙂
menginap di mana waktu di Pontianak? hotel yg murah dan bagus ada referensi?